Transportasi umum selalu
menjadi persoalan di kota-kota besar, apalagi Jakarta yang infrastrukturya
belum terbentuk. Untunglah di era digital ini, hambatan tersebut sedikit
teratasi. Paling tidak, ada pengusaha transportasi yang memanfaatkan kemacetan
kota dengan menawarkan kemudahan pemesanan jasa taksi dan ojek lewat aplikasi di ponsel.
Setelah Go-Jek dan
GrabTaxi, muncul Uber, brand yang
sudah ada sejak 2009 di San Francisco. Jika Anda memesan via Uber, yang
menjemput bukanlah taksi atau ojek, tapi mobil pribadi sejenis Avanza, Xenia,
Innova, bahkan Alphard. Konsumen tentunya makin diuntungkan, mereka saling
bersaing dengan menawarkan promo menarik, salah satunya potongan harga. Saking
fantastisnya, sampai-sampai ada penumpang yang dikenai tarif nol rupiah alias
gratis!
Bukan Perusahaan Transportasi
Pada awalnya awam mengira
basis ketiga apps tersebut (Go-Jek, GrabTaxi, dan Uber) adalah perusahaan
transportasi, seperti Blue Bird dan Express, yang sebelumnya sudah meluncurkan
aplikasi pemesanan taksi sendiri. Sebenarnya yang ditawarkan perusahaan itu
bukanlah alat transportasinya.
Nadiem Makarim, founder Go-Jek, menekankan soal
kesalahan persepsi tersebut. Dikatakannya, “Kami bukan perusahaan transportasi.
Kami perusahaan teknologi yang ingin memudahkan kehidupan orang di perkotaan,
dengan menciptakan aplikasi semacam ini.”
Go-Jek, startup lokal
yang 100 persen asli produk Indonesia, merupakan layanan yang bergerak di
bidang transportasi dan kurir yang berbasis sistem teknologi. Pengguna cukup
mengunduh aplikasinya di smartphone,
lalu mengikuti petunjuk cara memesan ojek. Layanan ini menggandeng tukang ojek
bergabung sebagai mitra bisnisnya.
Begitu pun Uber, sejatinya
adalah perusahaan teknologi yang menghubungkan penumpang dengan pengemudi untuk
mendapatkan transportasi yang aman dan nyaman. Uber di Jakarta bermitra dengan
perusahaan layanan jasa rental mobil.
Di Australia dan Amerika,
pengemudi profesional dengan mobil yang berizin komersial dapat mendaftar
menjadi sopir Uber tanpa harus bernaung di bawah perusahaan rental. Hingga saat
ini, Uber telah tersebar di lebih dari 300 kota di 55 negara di seluruh dunia.
Begitu pula dengan
GrabTaxi, yang bermula sebagai MyTeksi di Malaysia pada Juli 2011, dan resmi
diluncurkan pada 5 Juni 2012. Anthony Tan dan Hooi Ling Tan, pendiri GrabTaxi,
adalah alumnus Harvard Business School yang tergerak menciptakan aplikasi ini
setelah mendengar cerita dari teman dan saudara mereka mengenai betapa
mengerikannya taksi di Kuala Lumpur. Banyak taksi yang tidak mau menyalakan
argometer, ada negosiasi tarif dengan penumpang, dan rute pun diputar-putar.
“Karena itulah mereka
membuat aplikasi mengenai transportasi di smartphone yang diikutkan dalam
kompetisi di Harvard dan berhasil menjadi juara kedua. Hadiah uang dalam
kompetisi itu kemudian dijadikan modal dasar pengembangan aplikasi tersebut,”
kata Kiki Rizki, Head of Marketing GrabTaxi, kepada MALE.
Negara-negara di Asia
Tenggara menjadi konsentrasi ekspansi GrabTaxi saat ini, dan akhirnya Juni 2014
merambah Indonesia sebagai negara keenam setelah beroperasi di Malaysia,
Singapura, Filipina, Thailand, serta Vietnam. Saat ini GrabTaxi sudah ada di 20
kota dan enam negara. Di Indonesia, ada di Jabodetabek, Padang, dan Surabaya.
Secara perlahan, di
wilayah urban terjadi pergeseran cara menggunakan moda transportasi umum. Dulu
penumpang cukup melambaikan tangan untuk menghentikan taksi atau ojek. Kini
gaya hidup serba sentuh membuat segalanya menjadi mudah.
No comments:
Post a Comment