Kian banyak saja pesta
yang digelar kaum urban di Jakarta dan kota-kota besar di Indonesia. Tidak
hanya di klub-klub, tapi juga di area terbuka – yang terkini adalah Dreamfield salah
satu festival musik terbesar di Asia, yang digelar di Garuda Wisnu Kencana
(GWK) Cultural Park, Bali, 15 Agustus 2015.
Boleh dibilang,
pergerakan scene dance music di
Indonesia bisa berkembang pesat. Selain Dreamfield, ada juga Djakarta Warehouse
Project dan Ultra Music Festival Indonesia.
Keriaan boleh sama, tapi
sebetulnya ada semacam pergeseran kultur dalam scene musik dansa tersebut. Dulu orang lebih mengenal keriaan
seperti rave party ketimbang festival
besar dengan bintang tamu sejumlah DJ tenar internasional. Awalnya rave party merupakan pengembangan dari
konsep warehouse, yakni ketika orang
jenuh mulai menggunakan gudang-gudang untuk tempat berpesta.
Selanjutnya perkembangan
terjadi sedemikian rupa hingga keriaan itu dibawa ke ruang terbuka dengan
penyelenggaraan yang lebih besar. Puncaknya, muncullah berbagai festival musik
elektronik. Bila dilihat lebih jauh, festival tersebut merupakan gabungan rave party yang dipadatkan dalam satu
kesempatan. Tentunya jumlah panggung dan pengisi acaranya lebih berlimpah.
Istilah rave sebetulnya berasal dari genre musik
pada 1980-1990-an. Pergerakan generasi rave berawal dari London pada
1950-1960-an. “Dulu lebih tepatnya bermula pada zaman psychedelic. Yang terjadi
di London, dipicu oleh The Stone Roses, yang membuat film Spike Island,” ujar Rully
Annash dari majalah Juice Indonesia.
Adapun pelaksanaannya di
Indonesia merupakan hasil berbagi pengalaman DJ ketika itu, yang sebagian besar
memang tumbuh di luar negeri. Dan, hanya kalangan tertentu yang memiliki
informasi tentang hal ini. Bisa dibilang keriaan semacam ini dulu diselenggarakan
dengan cara bergerilya. Maka tidak mengherankan jika tempat yang dipilih cukup
unik, seperti stasiun, terowongan, dan lain-lain.
Di Indonesia rave party mulai bergema pada 2002-2003,
kata Alibudi dari The Beat Magazine.
Kondisi itu dipicu oleh penyelenggaraan pesta di Suluban, Bali, pada 2001.
Konsep tersebut kemudian dibawa ke Jakarta sehingga bermunculan agenda keriaan
di luar ruangan. Sepanjang 2002, rave
party dengan muatan lokal, dengan DJ Indonesia, yang terhitung masih baru
pun menjadi tren.
Maka DJ Anton Wirjono dan
Sinto dari Javabass pun membuat Jakarta Cream Festival, yang mulai memilih
pengisi acara dari luar negeri. Namun mereka tetap menampilkan muatan lokal
dengan membuat acara bertajuk Jakarta Movement. Acara itu seolah menjadi pemicu bagi penggiat
keriaan lain membawa orang berbakat dan brand acara dari luar negeri, seperti
Godskitchen dan Gatecrasher.
Pergerakan scene dance music kala itu memang tidak
segencar sekarang. Informasinya pun masih dari mulut ke mulut, dan bentuk
komunikasi model lama, tidak seperti sekarang di era digital. Juga, ada
komunitas yang sifatnya kurang-lebih sama dengan pergerakan kaum hippie. Pada era tersebut, party hanya digelar di klub, itu pun
tergolong sulit mengumpulkan massa. Kecenderungan bosan dengan suasana klub
membuat pemuja keriaan sangat menunggu-nunggu diadakannya pesta di luar
ruangan.
Ada yang hilang, tapi tak surut
Bukanlah sesuatu yang
buruk ketika pesta diisi lineup DJ
lokal, karena pada masa itu hal tersebut terjadi dalam berbagai keriaan yang
digelar. Yang menarik, justru pesta-pesta ini meninggalkan kesan mendalam bagi
yang pernah mengalaminya. Tidak mengherankan jika nama seperti Anton, Riri,
Romi, Naro, dan Remy Irwan akan selalu mengesankan pemuja keriaan kala itu.
Para DJ tersebut agaknya meninggalkan jejak yang signifikan dalam dance scene Indonesia.
Dibanding kondisi
sekarang, ketika berbagai festival besar kerap digelar, Rully dan Alibudi dari
The Beat Magazine sependapat, pemuja keriaan kurang memahami arti pergelaran
yang ada. “Bahkan dilihat dari harga tiket pun berbeda, sekarang bisa mencapai
jutaan rupiah, dulu paling Rp 200.000-an,” ucap Rully.
Kultur yang sama juga
terjadi pada penonton konser musik. Esensi berpesta atau menonton menjadi
berkurang karena penggunaan gadget.
“Setiap orang selalu memegang telepon seluler untuk merekam jalannya show. Hal itu sangat berbeda dengan masa
rave party, ketika orang lebih
memilih dance sebebas-bebasnya,” ujar
Ali.
Kategori umur pun kini
tidak menjadi batasan, sedangkan pada akhir 1990 hingga awal 2000-an, hanya
pemuja keriaan berusia dewasa yang datang ke klub. Bukan cuma itu, tujuan utama
pengunjung melihat penampilan DJ dan menikmati pesta diiringi lagu-lagu dari disc jockey. Dulu bukan sembarang orang
yang menggagas acara seperti rave dan
festival. Biasanya yang menggelar event
tersebut orang yang mengerti, memiliki kualitas, dan punya link serta background
yang bagus dalam dance music. Salah
satunya Rini Noor dengan Nepathya-nya.
Harus diakui ingar-bingar
rave party sempat teredam. Bahkan
bagi orang awam, kegiatan itu seperti ditelan bumi. Gerakannya yang sempit
membuat penyebaran informasi tentang keriaan seperti ini minim. Namun Ali yakin
rave party tidak hilang, tapi
keberadaannya makin terjaga. “Mungkin setahun cuma ada satu atau dua, tapi
kualitas pelaksanaannya terjaga,” katanya.
Tapi bagaimanapun
kemajuan scene dance music Indonesia
tetap membawa kegembiraan siapa pun yang terlibat di dalamnya. Justru dengan
perkembangan yang pesat, hal seperti itu bisa ditemukan kembali. Terbukti
beberapa komunitas mulai naik ke permukaan: Trance dengan Indotrance, drum dan
bas dengan Javabass, techno dengan Jakarta Techno Militia, house dengan Solid
House Community, begitu juga dengan genre yang lain akhirnya keluar sebagai
identitas. So, pilihan berpesta
menjadi semakin banyak.
No comments:
Post a Comment