Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob
Setiap orang pernah merasakan bedanya: dilayani pemilik usaha yang berapi-api menawarkan solusi, versus pegawai yang sekadar menjalankan SOP. Yang satu membuat kita merasa didengar, yang lain membuat kita ingin segera cari tempat lain. Perbedaannya? Sederhana: sense of ownership.
Ownership bukan cuma milik pengusaha. Itu sikap mental. Itu soal mau berdiri di garis depan, meski jabatan Anda bukan di puncak hierarki. Seorang asisten rumah tangga di Taiwan memilih tetap menjaga majikannya saat gempa. Risiko nyawanya sendiri dipertaruhkan. Sebaliknya, ada kisah orang tua yang meregang nyawa sendirian karena anak-anaknya tidak peduli.
Hari Gini Gak Punya Web: Website Bukan Lagi Opsi, Tapi Kebutuhan
Di dunia bisnis, Colleen Barrett membuktikan hal ini. Ia memulai sebagai sekretaris pendiri Southwest Airlines, Herb Kelleher. Pekerjaannya administratif, tapi Colleen tidak berhenti di situ. Ia turun ke lapangan, menyalakan semangat karyawan, bahkan ikut melayani pelanggan. Loyalitasnya membentuk kultur Southwest yang tangguh, dan akhirnya Colleen naik jadi Presiden—perempuan pertama yang memimpin maskapai besar AS. Herb menyebutnya sebagai the soul of Southwest.
Inilah inti ownership: tidak bersembunyi di balik alasan. Tidak lempar tanggung jawab. Orang dengan rasa memiliki rela bergulat mencari solusi, entah dengan berdiskusi dengan tim, mencari mentor, atau bahkan mengetes ide lewat ChatGPT.
Bacaan Wajib tentang PR 4.0: Mengelola Persepsi di Era Digital
Jenis Ownership
Ownership bisa lahir dalam banyak bentuk:
- Psikologis – saat seseorang merasa perusahaan ini bagian dari dirinya. Kalau gagal, ia ikut sakit. Kalau berhasil, ia ikut bangga. Itu yang disebut skin in the game.
- Budaya – ketika tim lebih penting daripada ego. We over me.
- Struktural – aturan main yang memberi ruang pada partisipasi nyata.
- Kolektif – seperti koperasi atau employee-owned company, di mana kepemilikan benar-benar dibagi.
Semua bentuk ini, kalau diramu, akan menumbuhkan rasa memiliki yang solid.
Cara Mengencangkan Rasa Memiliki
- Transparansi. Warren Buffett terkenal karena surat tahunannya. Ia bukan hanya menulis laporan angka, tapi mengakui kesalahannya dengan jujur. “Keputusan ini adalah blunder saya,” tulisnya. Sikap ini membuat pemegang saham merasa bukan sekadar penonton, tapi partner sejati.
- Keterlibatan. Jangan biarkan tim hanya jadi “pencatat masalah”. Latih mereka jadi pengambil keputusan. Tanyakan: “Apa yang sudah kamu coba?” atau “Kalau kamu di posisi saya, apa langkahmu?” Itu memaksa mereka berpikir layaknya pemilik.
- Rayakan keberhasilan tim. Bukan hanya pencetak gol, tapi seluruh tim. Dr. Imamu Tomlinson menyebutnya culture of brilliance. Hasilnya: motivasi tinggi, loyalitas, dan prestasi internasional.
- Kepemilikan nyata. GoTo meluncurkan program People Shares yang memberi saham ke seluruh ekosistemnya. Pesannya jelas: pertumbuhan perusahaan = pertumbuhan kita bersama.
- Makna besar. Patagonia bahkan mengalihkan kepemilikan perusahaan ke organisasi nonprofit lingkungan. Pesannya jelas: bisnis bukan sekadar uang, tapi perjuangan menyelamatkan planet. Itu memberi karyawan alasan lebih besar untuk bangun pagi.
UMKM Naik Kelas? Cara Sederhana Go Digital dan Cuan Maksimal