Eksotisme Jawa

Surakarta atau dikenal sebagai Solo, belakangan sering menjadi tuan rumah acara-acara budaya. Tak ayal, kota yang selalu saya lewati berkali-kali semasa kuliah dulu di Yogyakarta, kembali menarik perhatian.

Berdirinya Solo tidak terlepas dari sejarah Mataram, karena kota ini pernah menjadi pusat pemerintahannya, setelah kepindahannya dari keraton Kartasura pada 1745. Setelah pembagian Mataram akibat perjanjian Giyanti, Surakarta menjadi pusat pemerintahan wilayah timur Mataram. Perjanjian Salatiga 1753 membuat kota ini dibagi menjadi dua: bagian selatan dan timur untuk Kasunanan Surakarta, dan bagian utara diberikan kepada Mangkunegaran. Penyatuan pemerintahan kota baru terjadi pada masa kemerdekaan Republik Indonesia.

Dulu saya tidak melihat sisi eksotisme kota yang sisi timurnya dilewati sungai yang terabadikan dalam sebuah lagu keroncong legendaris, Bengawan Solo. Tapi setelah sekian tahun tinggal di Jakarta, kota di Jawa Tengah yang merupakan kota peringkat kesepuluh terbesar (setelah Yogyakarta) di Indonesia ini mempunyai daya tarik sebagai kota yang menyimpan warisan budaya adiluhung. Di sana bengunan-bangunan kuno dan gedung-gedung masih terpelihara dengan baik, tidak seperti Jakarta yang setiap saat berubah.

Kebetulan, bersama beberapa teman, saya mendapat undangan dari Ibu Krisnina Maharani, atau yang juga dikenal sebagai Ny. Nina Akbar Tanjung, untuk menyinggahi hotel miliknya di Laweyan, yang ia sebut sebagai Roemahkoe Bed & Breakfast. Inilah kesempatan untuk melihat Solo dari sudut pandang yang berbeda.

Bayangkan, hotel yang terletak di di Jalan Dr Radjiman 501 Surakarta dan hanya mempunyai 13 kamar itu adalah eks bangunan kuno yang berdiri tahun 1938. Sebagai bangunan bergaya art deco, rumah yang didirikan Ny Poespo Soemarto, saudagar batik dari Laweyan ini, langsung menyergap perhatian siapa pun yang datang dengan keindahan ornamen kaca patrinya. Apalagi, setelah memasuki bagian dalam, terasa kehangatan keluarga, seperti keramahan warga kota ini di masa lalu.

Selayaknya rumah saudagar kaya di Solo, bangunan (yang dibeli Nina pada tahun 1997, yang kemudian direnovasi dan dibuka sebagai hotel pada 2000) menguasai 60% dari keseluruhan lahan seluas 2.000 m², dan terbagi menjadi beberapa ruangan, kamar-kamar, termasuk pendopo. Menurut Asep Kambali, General Manager Roemahkoe, bangunan tersebut masih asli, terutama bangunan induknya. Hampir tidak ada perubahan kecuali perubahan fungsi ruangan.

Meski diembel-embeli bed & breakfast, bukan berarti Roemahkoe berfungsi seperti motel atau hostel yang ada di Eropa, misalnya, sebagai tempat singgah sementara, tapi justru kesan “rumah” dengan kultur Jawa terasa sangat kental. Memang, awalnya, Roemahkoe hanya menyediakan kamar tidur dan sarapan, tapi dalam perkembangannya juga menyediakan menu makan siang dan makan malam.

Ternyata, para tamu menyambutnya dengan sangat baik. Sebab, Roemahkoe memang tidak sekadar menyajikan makanan tradisional yang jarang dijumpai di tempat-tempat lain, tetapi juga makanan asli Solo yang menjadi hidangan favorit para bangsawan tinggi di sana, seperti lodoh pindang yang merupakan makanan kesukaan Pakubuwono X dan nasi jemblung atau bestik Jawa. Bahkan tamu bisa memesan makanan lain khas Solo yang tidak tersedia di Roemahkoe, seperti serabi notosuman atau gudeg ceker. (Burhan Abe)

Appetite Journey, Januari 2009

Related Stories

spot_img

Discover

7 Tempat Nginep di Saudi yang Bikin Liburan Lo...

Saudi Arabia sekarang bukan cuma soal ziarah atau sejarah—negara ini lagi ngegas jadi playground...

Markette’s Sizzling Plate: Ketika Makan Jadi Sebuah Pertunjukan

Di tengah hiruk-pikuk Jakarta, di jantung Grand Indonesia yang sibuk dan berkilau, ada aroma...

Pantja Hospitality Group: Menyulam Kualitas, Keramahtamahan, dan Energi Baru...

Di tengah gemerlap Senopati, ada sebuah destinasi yang menjadi perbincangan di antara pecinta kuliner...

Autumn in the Mediterranean: An Invitation from Explora Journeys

Ada sesuatu yang magis ketika musim panas Mediterania mulai mereda. Pantai-pantai yang tadinya riuh...

Costa Jakarta: Menyelami Cita Rasa Catalan di Jantung Senopati

Bayangkan langkah pertama Anda memasuki sebuah restoran di Jalan Gunawarman. Aromanya hangat, kayu panggang...

Fairmont Jakarta Rayakan Negroni Week dengan Kreasi Eksklusif di...

Fairmont Jakarta mengundang para penikmat koktail untuk merasakan sensasi Negroni Week, perayaan global yang...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here