Oleh Maureen ASD, Rizkiana Shadewi, & Eileen Rachman
Di dunia kerja, bos keren bukan cuma soal seberapa tinggi jabatan di kartu nama. Tapi tentang seberapa mampu dia bikin timnya nyala terus, target tercapai, dan semua tetap waras.
Nah, gaya kepemimpinan itu ibarat playlist: salah pilih genre bisa bikin suasana jadi hambar atau malah chaos. Tapi kalau pas? Dijamin, tim bisa perform kayak band papan atas—kompak, kreatif, dan produktif.
Kenalan Dulu Sama Enam Gaya Utama
Menurut Hogan Assessment, ada enam gaya kepemimpinan utama yang bisa lo pahami lewat konsep Leader Focus. Nggak ada yang paling benar, tapi yang paling pas buat situasi dan karakter lo.
- Result Leader – Fokusnya? Target, target, dan target! Tipe ini cocok buat yang doyan tantangan dan nggak takut ngasih tekanan.
- People Leader – Si empatik. Bikin suasana kerja kayak rumah sendiri. Peduli mood tim dan tahu kapan harus jadi pendengar.
- Process Leader – Tipe yang rapi jali dan taat aturan. Cocok di organisasi yang butuh stabilitas dan minim risiko.
- Thought Leader – Si pemikir. Penuh ide segar dan strategi. Biasanya yang kayak gini sering dilabeli “visioner”.
- Social Leader – Ahli ngegaet orang. Jejaring luas, tahu siapa harus dihubungi buat tiap masalah.
- Data Leader – Si logis. Keputusan harus pakai angka. Intuisi? Nanti dulu.
Dua Pemimpin, Dua Cerita: Barra vs Hsieh
Sekarang kita intip dua tokoh beda gaya, tapi sama-sama bikin sejarah: Mary Barra (General Motors) dan Tony Hsieh (Zappos).
Mary Barra datang ke GM saat perusahaan lagi “berdarah-darah”—skandal ignition switch yang fatal. Tapi dia nggak cuma beresin masalah teknis. Dia rombak budaya perusahaan! Aturannya disimplifikasi, komunikasi dibuka, dan semua orang didorong buat speak up. Hasilnya? GM nggak cuma bangkit, tapi juga tumbuh jadi lebih sehat secara kultur.
Tony Hsieh, di sisi lain, bikin Zappos jadi role model happy workplace. Dia bahkan buang sistem hierarki lewat konsep holacracy. Di awal, semua happy. Tapi makin ke sini, sistem ini bikin bingung siapa ngapain. Akhirnya, bisnis pun jadi kurang fokus.
Dari dua cerita ini, kelihatan banget: gaya kepemimpinan harus sesuai konteks. Barra tahu kapan tegas, kapan mendengar. Hsieh terlalu fokus ke vibes, lupa soal struktur.
Baca juga: Nyari Cuan di Internet Sambil Rebahan?