Senja di Tamansari

Senja di Tamansari. Inilah saat-saat yang paling romantis di pesanggrahan yang dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758. Bangunan ini dulunya tempat untuk bercengkrama dan berekreasi, terlihat dari bangunan-bangunan yang ada seperti lorong-lorong dengan taman-taman bunga, kolam pemandian yang luas dengan hiasan pohon di sekelilingnya.

Peninggalan sejarah ini tidak terawat. Temboknya berlumut, mengelupas, hingga bata merahnya terlihat. Suasananya yang seperti terasing, kontras dengan kepadatan rumah penduduk yang menempel di sekitar bangunan. Melalui kamera saya berusaha menangkap sisa-sisa kejayaan masa lalu. Dan ini sangat pas sebagai latar belakang Puri, sang model, yang memancarkan eksotisme Jawa. Dengan kebaya merah serta kain batik yang juga dominan merah, Puri yang berkulit gelap justru terlihat menonjol.

Salah satu bagian Tamansari yang saya sukai adalah Pulo Cemethi – ada juga yang menyebut Sumur Gantung – yang dulu konon berfungsi untuk peninjauan Sultan bila ada musuh yang datang. Bangunan ini bentuknya mirip bangunan menara yang bertingkat. Di sekitarnya dulu konon laut buatan. Matahari hampir tenggelam, dan di atap tertinggi Pulo Cemethi itu saya mengabadikan Lana dan Puri. Waktunya sangat pendek, karena karena terlambat sedikit saja, langit biru dengan rona merah senja tidak bisa terekam kamera secara sempurna.

Dari suasana menjelang malam itu saya munculkan warna yang terang. Ketika mendekati gelap, saya ambil supaya warna langit birunya muncul. Untuk kondisi seperti ini saya membutuhkan pencahayaan berdaya besar, membuat pilihan jatuh pada Broncolor Para yang jangkauannya juga luas. Dan yang terakhir coba saya terangkan lagi, dengan twilite filter, supaya warna oranyenya keluar. Saya cukup puas karena ambient light-nya dapat. Pose dan ekspresi model sangat mengesankan, dengan latar belakang bangunan tua serta panorama alam di waktu senja yang sangat menawan. Saya mendapatkan golden moments.

Memotret di outdoor kuncinya satu, kita harus menyatu dengan alam. Sementara dengan model, seorang fotografer harus bisa berkomunikasi dengan baik, sehingga tidak ada jarak antara fotografer dan objeknya. Memotret tidak sekadar menekan tombol, seorang fotografer yang baik harus mengerti benar apa dan siapa objeknya. Ketika memotret kita harus menggauli si objek, seolah-olah kita bersanggama dengan objek itu. (Darwis Triadi/Photo HL by NordWood Themes on Unsplash)

Yogyakarta, 16 – 19 April 2005

Previous article
Next article

Related Stories

spot_img

Discover

Retorika Gagah, Realita Masih Tertatih

Pidato Prabowo pada 15 Agustus 2025 memancarkan semangat “tak gentar pada yang besar dan...

PR 4.0: Mengelola Persepsi di Era Digital – Blueprint...

Di dunia bisnis modern, teknologi bukan lagi sekadar alat, melainkan lanskap tempat reputasi dibangun...

PR 4.0: Mengelola Persepsi di Era Digital – 7...

Di tengah ekonomi yang digerakkan oleh kecepatan informasi dan ekspektasi publik yang terus bergeser,...

Rayakan Kemerdekaan dengan Gaya di Byrd House Bali

Dua perayaan kuliner yang memadukan rasa, suasana, dan semangat kebangsaan. Bulan Agustus ini, pantai Sanur...

Thrivers: Bukan Sekadar Pintar, Tapi Tahan Banting

Ada teman saya yang punya putri nyaris sempurna di atas kertas. Ranking teratas di...

Banyan Group: Lompatan Mewah Menuju Perjalanan Penuh Makna

Merayakan Properti ke-100, Meluncurkan Gerakan Wellness Global, dan Membawa Keberlanjutan ke Level Seni Tinggi Dalam...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here