Beeing Single

Asset or Liability?

Sementara di Indonesia orang masih mengganggap sebelah mata, tapi tidak demikan dengan yang terjadi di negara maju. Tidak perlu jauh-jauh, di Singapura, misalnya, generasi mudanya enggan menikah atau berkeluarga, sampai-sampai pemerintahnya membuat program “kapal cinta” supaya muda-mudinya ketemu jodoh.

Memang banyak alasan yang mendasari mereka hingga enggan menikah. Alasan yang paling utama adalah alasan finansial, dan persaingan hidup yang semakin ketat. Seseorang, terutama perempuan, begitu memutuskan menikah, maka peluang untuk melanjutkan kariernya rada tersendat-sendat. Pilihannya adalah mengejar karier atau mengurus keluarga. Kalau di Negeri Barat ada istilah mempunyai anak itu, dalam istilah neaca keuangan, bukan asset tapi liability alias beban.

Tidak heran memang kalau di Inggris, misalnya, gaya hidup melajang saat ini tengah menjadi tren. Menurut sensus terakhir, terdapat 14,2 juta orang lajang (berusia 16-64 tahun) di Inggris. Ketika ditanya ”Apa yang membuat hidup mereka lebih baik?”, sepertiga orang tersebut menjawab ”banyaknya uang”, dan bukan ”teman hidup”.

Mereka melihat, masa bujangan adalah masa yang tepat untuk menjalankan hobi, kesempatan untuk memerhatikan diri sendiri, kesempatan untuk bersikap spontan, serta memiliki lebih banyak teman dekat. Kalau demikian halnya, mengapa juga harus menikah? 

Memang, kesuksesan tidak selalu identik dengan kebahagiaan. Paling tidak, menurut kajian terbaru Departemen Keluarga Berencana dan Pelayanan Masyarakat dan Pribumi Australia, seperti dikutip harian Inggris, Daily Telegraph (12 Agustus 2008), kelompok lajang mapan justru merasa tidak bahagia. Mereka berada di peringkat teratas kelompok yang paling tidak bahagia, mengalahkan kelompok penduduk miskin yang hidup tersisih dan tak berduit.

Kajian itu melibatkan 6.000 responden yang ditanya soal pekerjaan, status hubungan, keuangan, keadaan kesehatan, dan perlakuan yang berisiko. Kelompok bujang yang terlibat rata-rata berusia 33 tahun, pekerjaan tetap, berpendapatan rata-rata melebihi ukuran sederhana, dan puas dengan pekerjaan mereka.

Tapi yang menarik, kelompok lajang pula yang mewakii kelompok paling bahagia – tapi lajang tak berduit alias ”miskin”, diikuti pasangan suami-isteri yang bekerja dan berkecukupan uang. Jadi, tingkat kebahagiaan tidak berhubungan langsung dengan status lajang atau tidak, tapi ada hal-hal lain di luar itu yang ikut memengaruhi. (Burhan Abe)

ME, Oktober 2008

Related Stories

spot_img

Discover

Terus Mau Sampai Kapan Cuma Jadi Penonton? Ini Dua...

Iya, maaf kalau judulnya pedes. Tapi coba tanya diri sendiri:“Usahamu sekarang benar-benar berkembang, atau...

Catatan Seru Buat Kamu yang Lagi Bangun UMKM

Biar Nggak Cuma Posting, Tapi Jualan Beneran Laku Siapa sih yang nggak mau tokonya rame...

Mengubah AI dari Sekadar Tren Jadi Mesin Uang

Catatan untuk Mereka yang Ingin Kerja Lebih Cerdas Kita sedang hidup di masa paling unik...

Rasa yang Membara dan Penuh Elegansi: Cita Rasa Thailand...

Ada kalanya, pengalaman kuliner tak hanya soal rasa, melainkan juga soal suasana, cerita, dan...

Sebuah Gelas, Sebuah Gaya Hidup

Ada dua jenis pria di dunia ini: mereka yang memesan Martini dengan yakin, dan...

Slow Burn: Cerutu, Gaya Hidup, dan Maskulinitas yang Disadari

Cerutu itu bukan sekadar asap atau gaya. Ini soal sikap. Dan Slow Burn menyajikan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here