Berkat novelnya Andrea Hirata bisa menjadi ikon baru di industri kebudayaan pop Indonesia. Tapi pemuda yang memilih hidup sebagai single ini enggan disebut sebagai selebriti. Kendati clubbing, minum wine, “saya tetap orang kampung,” katanya. (Burhan Abe)
Tak pelak lagi, Andrea Hirata adalah penulis paling populer saat ini. Novelnya, Laskar Pelangi, yang bercerita tentang perjuangan sepuluh anak kampung dalam meraih cita-cita, seolah memberi setitik kesegaran di tengah-tengah dahaga pembaca terhadap karya-karya berkualitas.
Laskar Pelangi adalah fenomena. Novel yang pertama kali diterbitkan Bentang, Yogyakarta, September 2005, tidak hanya menjadi best seller (Mei 2008 memasuki cetakan ke 22), tapi ikut melejitkan nama penulisnya bak selebriti yang kehadirannya selalu ditunggu-tunggu. Dalam setahun tak kurang dari 200 acara yang harus ia hadiri, baik sebagai pembicara dalam bedah buku atau pun sekadar “jumpa fans”.
Andrea sendiri tidak pernah menyangka, sambutan publik atas novelnya begitu tinggi. Padahal, ”Saya menulis buku itu hanya sekadar mencurahkan isi hatinya tentang perjuangan guru saya semasa saya bersekolah di SD Muhammadiyah, Belitong Timur, Bangka Belitung,” ujar anak kelima dari pasangan Seman Said Harun Hirata dan Masturah ini.
Siapa nyana, novel yang mungkin tidak akan pernah sampai ke tangan pembaca jika tidak ada seorang temannya yang diam-diam mengirimkan karyanya ke sebuah penerbit ini, nyatanya memang mendapat tempat di khasanah sastra Indonesia, sekaligus sukses secara bisnis.
Tapi tentu, tak adil jika kelarisan novel ini disebut hanya karena faktor keberuntungan semata. Pujian dari sejumlah kalangan di atas sudah menjadi bukti bahwa novel ini sanggup meninggalkan kesan yang mendalam di benak para pembaca.
”Saya larut dalam empati yang dalam sekali. Sekiranya novel ini difilmkan, akan dapat membangkitkan ruh bangsa yang sedang mati suri,” komentar Ahmad Syafi’i Maarif, mantan Ketua PP Muhammadiyah.
Pujian lain datang dari Sapardi Djoko Damono, sastrawan dan Guu Besar Fakulas Ilmu Budaya UI. ”(Buku ini adalah) ramuan pengalaman dan imajinasi yang menarik, yang menjawab inti pertanyaan kita tentang hubungan-hubungan antara gagasan sederhana, kendala, dan kualitas pendidikan.”
Komentar memang bisa datang dari mana saja, apalagi kenyataannya tulisan Andrea tidak sekadar pengalaman masa kecil, tapi sebuah memoar yang sulit dicari tandingannya dalam khasanah sastra kontemporer saat ini.
Tidak heran kalau buku ini pun ramai diperbincangkan, diresensi, diulas di berbagai milis, dan akhirnya laris manis di pasaran. Buku ini bahkan sudah diterjemahkan dalam bahasa Melayu dan diterbitkan di sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Malaysia, Thailand, Singapura, dan Myanmar. Dan tak lama buku Laskar Pelangi akan diterbitkan di Eropa dan Amerika Serikat, tentu dalam terjemahan bahasa Inggris.
Mimpi Backpacker
Tidak berhenti pada novel ternyata, Laskar Pelangi kini masuk ke industri film, yang tentu mempunyai potensi sebagai film laris. Film yang diproduksi Miles Production dengan sutradara Riri Riza ini sound track-nya digarap dan dinyanyikan ramai-ramai oleh para musisi top saat ini – mulai dari Ipank, Nidji, Sherina, hingga Gita Gutawa.