“Tanpa ada lobi, bisnis belumlah valid,” ujar seorang managing director sebuah perusahaan periklanan. Ya, bisnis dan lobi ibarat dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Lobi bisa mendekatkan perusahaan dengan klien. Berkat lobi klien akan lebih percaya kalau mereka mengenal lebih personal, di samping track record perusahaan tentunya.
Fenomena seperti ini memang bukan barang baru dalam urusan bisnis. Melobi pada dasarnya merupakan usaha yang dilaksanakan untuk mempengaruhi pihak-pihak yang menjadi sasaran, agar terbentuk sudut pandang positif terhadap perusahaan. Kegiatan melobi pada intinya dapat diartikan sebagai aktivitas untuk menyodorkan ide sedemikian rupa sehingga memiliki arti dan nilai yang positif bagi sasaran lobi.
Tapi yang menarik, urusan lobi pun tidak sekadar urusan bisnis, tapi menyangkut hal-hal di luar bisnis yang tak jarang berisiko tinggi, mulai dari sekadar komisi hingga urusan syahwat. Bahkan untuk urusan lobi, duit US$ 800 juta bukan apa-apa. Paling tidak, sebesar itulah belanja industri farmasi Amerika untuk melobi anggota Kongres dan pengambil keputusan, di pemerintah pusat dan negara bagian, dalam kurun waktu tertentu beberapa tahun yang lalu.
Tidak hanya itu, untuk memuluskan jalan, mereka juga melibatkan 3.000 kaki tangan sebagai pelobi, yang sepertiganya adalah bekas pegawai pemerintah federal. Para pelobi itu bekerja keras, agar peraturan-peraturan yang keluar tidak merugikan industri farmasi.
Itu adalah sekadar contoh bahwa lobi bukan masalah sepele. Dalam ranah politik lobi memang bukan salah satu pilar demokrasi, tapi secara faktual mempunyai kedudukan yang sangat strategis – meski pun lobi sulit dibedakan dengan sogokan.
Elizabeth Drew dalam The Corruption of American Politics: What Went Wrong and Why (1999), menyebutkan bahwa dari tahun ke tahun semakin banyak pelobi bergentayangan di kantor Kongres, terutama setelah 1980-an, ketika orang berpolitik bukan lagi untuk memperjuangkan ideologi, melainkan untuk alasan yang sangat rasional; uang dan kekuasaan.
Lobi memang tidak hanya populer di dunia bisnis, tapi sudah memasuki berbagai wilayah kehidupan, tak terkecuali ranah poltik. Kemenangan Barack Obama sebagai Presiden AS tentu bukan hanya karena popularitasnya serta euforia rakyat Amerika yang menginginkan perubahan.
Di balik itu ada peran para pelobi, baik yang informal maupun yang secara resmi tergabung dalam tim sukses. Mereka tidak hanya merancang campaign strategy yang cerdas dan terencana, tapi juga rajin melakukan lobi-lobi kepada pihak-pihak tertentu yang bisa memuluskan jalan Obama ke Gedung Putih.
Cerita tersebut tidak hanya terjadi di Negeri Paman Sam, tapi sebetulnya juga berlangsung di negara kita. Kita sering mendengar untuk menggolkan rancangan undang-undang tertentu, beberapa anggota DPR pun kerap kecipratan dana yang cukup besar dari pihak tertentu. Selain suap, lobi tersebut tak jarang melibatkan perempuan – yang membuat seorang penyanyi dangdut pun dalam sebuah kasus yang belum putus, meminta cerai dari anggota DPR tersebut.
Dalam urusan lobi, ingatan kita juga masih segar terhadap Artalyta Suryani. Wanita pengusaha ini sangat populer di kalangan pejabat, anggota parlemen, hingga petinggi kepolisian dan kejaksaan. Nama wanita berusia 47 tahun ini menjadi sorotan pers ketka skandal transaksi jaksa bantuan likuiditas Bank Indonesia (BLBI) terkuak.