Anda kenal dengan nama-nama ini: Raymond, Aldrin, Miko, Winky, Milinka, Tammy, Adit, atau Dree? Tidak semua tahu, tapi bagi pada clubber, nama-nama tersebut tentu tidak asing lagi. Ya, merekalah para bintang di dunia malam, para disc joeckey (DJ) yang selalu meramaikan suasana dengan kepandaiannya meramu musik.
Para DJ itulah yang dipercaya untuk mengisi acara penutupan Embassy, klub ternama yang berlokasi di Taman Ria Senayan Jakarta beberapa waktu yang lalu. Closing party perlu digelar untuk menandai berakhirnya klub tersebut pertengahan Januari lalu.
Tapi klub di Jakarta bak pepatah, tutup satu tumbuh seribu. Klub yang satu berakhir, segera muncul yang baru. Saat ini pada partygoers Jakarta sedang dibuat terpesona oleh klub-klub yang muncul belakangan, mulai dari Dragonfly, Blowfish, X2, atau yang terbaru Indochine dan Immigrant. Yang disebut terakhir mungkin yang paling istmewa saat ini, bahkan boleh disebut sebagai sebagai Jakarta’s newest hot spot. Berlokasi seluas 1400 meter per segi di lantai paling atas Plaza Indonesia Extension yang baru, dari lounge venue tersebut para pengunjung bisa menikmati pemandangan Jakarta, khususnya di sekitar jalan Thamrin dan Bundaran HI, karena sebagian area memang dibuat open air.
Kota Jakarta selalu bergerak, orang-orangnya adventurous, selalu mencoba hal-hal baru, maka klub-klub yang hadir harus memberikan sesuatu yang baru bagi mereka. Itu pula yang ingin dihadirkan oleh Immigrant, yang mempunyai tagline “Becoming One for Many”.
Ya, penduduk Jakarta yang super sibuk selalu membutuhkan hiburan untuk melepaskan kepenatan, para clubber membutuhkan keriaan yang sesuai dengan jiwa mereka yang dinamis. Suasana gembira, kilatan lampu, dan dentuman musik techno yang dimainkan oleh para DJ.
Dunia gemerlap (dugem) memang kagak ade matinye. Budaya clubbing sebetulnya lahir pada akhir dekade 1980-an di Eropa yang dengan kemajuan teknologi musiknya melahirkan house music. Klub-klub di Ibiza, Italia dan London menjadi surga berdenyutnya musik jenis ini. Seiring berjalannya waktu, musik ini juga berevolusi – dari house ke trance, lalu hardcore, jungle, progressive dan drum & bass.
Dari Benua Eropa budaya ini mulai mewabah ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Klub-klub musik dan tempat-tempat hiburan malam di kota-kota besar, sebutlah Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Bali, bermunculan.
Di Jakarta kita ingat ada Zodiak, Terminal One, M Club, B1 atau Poster Café. Bengkel adalah satu yang terbesar pada masanya kendati sekarang berubah konsep menjadi tempat karaoke. Masih banyak klub di wilayah Kota yang beberapa di antaranya masih eksis, sebutlah Hailai, Sydney 2000, Gudang, 1001, Millenium, Bvlgari, V2, dan juga Sands di Mangga Dua Square. Yang paling “angker” apalagi kalau bukan Stadium, yang kabarnya akan membuka cabangnya di luar Kota, tepatnya di Menara Imperium Kuningan. Dengan pengunjung yang membludak venue-venue tersebut menghasilkan rupiah yang berlimpah.
Selama ada massanya dunia clubbing di Jakarta tampaknya akan terus hidup. Entah itu di kawasan barat dengan musik yang lebih ritmenya lebh cepat, atau pun gaya selatan yang lebih stylish, bahkan cenderung “jaim” (jaga image). Selamat datang di dunia gemerlap malam! (Burhan Abe)
Appetite Journey, July 2009
informasinya menarik, kapan2 mampir ya ke blog saya http://graharancangbangun.blogspot.com