PRESIDEN Ekuador Rafael Correa mengusulkan agar surat kabar di negaranya diterbitkan dalam bentuk digital saja untuk menghemat kertas dan mengurangi penebangan pohon. Terlepas dari masalah pribadi, hubungannya yang renggang dengan surat kabar milik kelompok oposisi Ekuador, pesan Correa di Twitter (19 Agustus 2013) itu sebetulnya tidak mengejutkan.
Bicara tentang pelestarian lingkungan hidup, tidak terlepas dari pohon, yang salah satu manfaatnya selain berfungsi sebagai paru-paru kota, juga sebagai bahan dasar kertas. Dengan mengonsumsi banyak kertas otomatis ikut mempercepat deforestasi (pengurangan hutan). Sebuah fakta menunjukkan, 1 ton kertas ternyata membutuhkan 13 batang pohon, 400 liter BBM, 4100 Kwh listrik, dan 31.780 liter air. Jika koran dan majalah membutuhkan berton-ton kertas setiap hari untuk penerbitannya berapa pohon yang harus kita tebang?
Digitalisasi adalah pengurangan penggunaan kertas. Surat-menyurat tidak perlu pakai kertas, tapi cukup via email, atau yang lebih personal via SMS, BBM, WhatsApp, WeChat, Hangout, atau aplikasi chatting yang lain di komputer dan ponsel. Media pun, majalah, tabloid, dan surat kabar, seharusnya tidak memerlukan kertas lagi, karena sudah tersedia iPad dan PC tablet.
Lalu, akan matikah media cetak? Boleh saja ada beragam jawaban, tergantung dari sudut mana memandangnya. Tapi yang jelas, saat dunia terus bergerak menuju digitalisasi. Kehidupan kita semakin dipenuhi oleh hal-hal yang serba digital – mulai dari pemakaian komputer, tablet, ponsel, hingga peralatan rumah tangga.
Revolusi digital sejatinya tidak lahir dari imbauan Presiden Ekuador Rafael Correa, tapi lebih banyak dari perubahan gaya hidup manusia yang semakin serba digital. Pada akhirnya, demikian analisis Yodhia Antariksa, revolusi digital bukan lahir dari gemuruh sorak sorai massa, tapi datang dari sekeping ponsel pintar atau mini tablet. ”Screen mini yang hanya berukuran 3 atau 5 inch telah mengubah secara dramatis gaya hidup jutaan umat manusia di seluruh penjuru jagat,” tulisnya di detikinet.
Pada awal 1995, dunia memang bergerak ke arah digital secara masif. Era itu kemudian melahirkan ‘digital generation’ atau mereka yang sejak remaja sudah fasih dengan dunia digital dan online. Sementara generasi yang lahir setelah tahun 1995 disebut sebagai ‘digital natives’ atau mereka yang sejak usia 3 tahun sudah biasa pencet-pencet iPad atau tablet, dan usia 5 tahun sudah akrab dengan Google dan YouTube.
Menurut Yodhia, generasi digital yang terus membesar juga melahirkan digital lifestyle, pola hidup yang bertumpu pada interaksi digital. Merebaknya gaya hidup digital itu pada akhirnya juga melahirkan sejumlah implikasi serius, salah satunya menyurutnya media atau buku yang berbasis cetak. Tutupnya mingguan Newsweek, dan pengelolanya memutuskan menerbitkan edisi digital akhir 2012 lalu, adalah salah satu contoh korban gelombang digitalisasi informasi.
Yup, pelan namun pasti, gelombang digital tersebut pasti akan sampai ke Indonesia. Penerbit media di Tanah Air mau tidak mau harus melakukan transformasi digital kalau ingin tetap survive dan tidak ditinggalkan pembacanya. Welcome to digital world, everyone is invited. (Burhan Abe)