Di dunia fotografi mode yang penuh kilau, Colin Dodgson adalah pembangkang yang datang dengan kamera analog dan kantong berisi ketidakteraturan.
Ia bukan fotografer yang memoles. Ia pengintai. Penguntit cahaya natural yang tak bisa diprediksi dan momen yang nyaris luput. Dan dari semua itu, ia menyusun dunia yang ganjil, intim, dan nyaris surealis.
Lahir dan besar di California, Colin Dodgson tumbuh di tengah lanskap absurd: langit yang terlalu biru, jalan raya yang terlalu lebar, dan impian yang terlalu Amerika. Tapi dari semua itu, ia memilih realitas yang lebih pelik—yang kasar, tidak simetris, dan lebih jujur.
MELAWAN DIGITALISME


Saat dunia tergila-gila pada megapiksel, Dodgson kembali ke kamar gelap. Ia menolak sensor, memilih butiran film. Hasilnya? Foto-foto yang tampak seperti lukisan mimpi: kabur sedikit, gelap sedikit, dan justru karena itu terasa lebih hidup.
Fotonya telah menghiasi Vogue, i-D, WSJ Magazine, The New York Times Style Magazine, hingga AnOther. Tapi jangan kira ia menjilat industri. Ia tetap jadi dirinya sendiri: sinis, spontan, dan tidak tertarik pada estetika yang terlalu halus.
GUCCI, KENTANG, DAN PATAGONIA


Ia pernah memotret untuk Gucci. Pernah juga mengangkat kentang sebagai objek utama. Dodgson memang tidak punya filter visual yang konvensional. Segalanya bisa jadi sakral dalam frame-nya—termasuk sampah plastik dan wajah-wajah lelah di kereta tidur menuju pegunungan Andes.

Dalam pameran Safety, Service and Security (2018), ia bicara tentang ketakutan dan absurditas hidup modern lewat foto-foto lingkungan rumahnya sendiri. Di Ciento por Ciento (2022), ia pindah ke Patagonia, membidik sisi manusiawi dari upaya konservasi alam.
Hasilnya bukan kampanye. Bukan propaganda. Hanya keheningan yang penuh makna.