Memanfaatkan Gaya Hidup Menjadi Ladang Bisnis

Kalau Upstairs khusus barang second hand, maka butik seluas 600 meter persegi berloksi di bilangan Jalan Hang Tuah ini mengkhususkan diri pada barang-barang baru. Dan tidak cuma tas saja, yang terdiri berbagai merek – mulai dari LV, Prada, Dior, Fendi, Guci, dan lain-lain – kini pilihan Anda juga bertambah sampai ke berlian, mutiara, dan baju muslim. Butik ini juga dilengkapi dengan salon dan kafe. “Hanya saja, busana yang kami utamakan. Kafe hanya buka kalau dipakai untuk acara khusus saja,” jelas Yulfi, lulusan ekonomi dari California, AS, yang pernah bekerja di bank di Jakarta itu.

Pola belanja masyarakat kosmopolitan perlahan mulai bergeser. Setelah bermunculan banyak mal besar di seantero kota, kini belanja pakaian di pusat perbelanjaan itu oleh sebagian orang dinilai tidak lagi eksklusif, lantaran busana yang dipajang adalah hasil buatan pabrik yang diproduksi massal. Maka, kehadiran Upstairs dan Socialite, misalnya, menjadi penting. “Barang-barang kami tergolong eksklusif,” kata Nia, sambil menambahkan bahwa barangnya bisa ditawar dan bayarnya bisa dicicil, “Karena itu naluri ibu-ibu sih.”

Setiap dua bulan sekali mereka berbelanja ke Paris, Milan, New York, dan London. Sambil menyelam minum air, sambil berjalan-jalan, juga berbisnis. Yang menarik, mereka bisa hemat sekitar 30% dibanding dengan harga yang pemegang merek resmi, sehingga harga jualnya pun jadi lebih lebih murah ketimbang di butik resmi. “Hanya saja, belinya kami terbatas. Kalau terlalu banyak, pasti dicekal, karena dicurigai akan dijual lagi,” kata Nia sambil tertawa.

Gaya hidup kota besar yang orang-orangnya senang berdandan dan mengikuti mode, diakui Nia, menjadi penopang utama bisnisnya. Sasaran mereka adalah ibu-ibu kelas atas, yang tidak segan-segan mengeluarkan koceknya lebih dalam untuk tampil treendi. Hanya saja, baik Nia maupun Yulfi, yang didukung penuh para suami mereka, tidak ingin merambah ke bidang lain dalam waktu dekat kalau tidak benar-benar menguasai bidangnya.

“Begitu terjun ke bisnis, kita harus serius, harus sepenuh hati dan sekuat tenaga menjalankannya. Begitulah konsekwensinya kalau ingin sukses,” ujar Nia yang hampir setiap hari menunggui gerainya, hal yang sama juga dilakukan Yulfi.

Yang jelas, fenomena berkembangnya kebiasaan tertentu yang sering diberi label sebagai gaya hidup metropolitan, demikian pakar pemasaran Rhenald Kasali, menjadikan ladang bisnis yang subur. Betapa tidak, kaum kelas atas yang hedonis yang tidak sayang untuk menikmati barang dan makanan yang dicitrakan dengan gengsi tertentu, adalah potensi pasar yang sangat menjanjikan.

(Her World, 2005)

Related Stories

spot_img

Discover

Wine Not? — Ketika Segelas Anggur Menyimpan Cerita

Apa yang ada di benak Anda saat mendengar kata “wine”? Mewah? Barat banget? Atau...

Bermimpi Jadi Unicorn? Mulai dari 3 Buku Ini

Ingin membangun startup tapi bingung mulai dari mana? Atau sedang dalam fase tumbuh tapi...

Gaya Kepemimpinan Efektif: Antara Power, People, dan Playbook

Oleh Maureen ASD, Rizkiana Shadewi, & Eileen Rachman Di dunia kerja, bos keren bukan cuma...

Bikin Startup di 2025, Masih Menarik? Banget—Asal Tahu Celahnya!

Setelah dunia startup sempat gonjang-ganjing dengan gelombang PHK dan isu “bakar uang” yang tak...

Nyari Cuan di Internet: Dari Rebahan Jadi Uang Beneran

Siapa bilang cari duit harus pergi pagi pulang malam, kena macet, terus gaji habis...

Meet Burhan Abe

Meet Burhan Abe — a sharp-minded storyteller and digital architect with journalism in his...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here