Membangun Citra, Memperkuat Merek

Banyak orang terperangah ketika PT Philip Morris Indonesia mengakuisisi PT HM Sampoerna Tbk., yang antara lain memproduksi rokok merek Djie Sam Soe yang legendaris dan A Mild yang sangat populer, senilai US$ 5 miliar atau lima kali nilai aset yang tercantum dalam pembukuannya, Mei lalu. Sebelumnya, PT Unilever Indonesia Tbk. membeli hak atas merek Kecap Bango, dan Coca-Cola Company membeli merek air minum dalam kemasan AdeS dengan harga yang sangat menggiurkan.

Betapa digdayanya sebuah merek. Bahkan merek, para pakar pemasaran pasti sepakat, adalah sebuah kekuatan dalam strategi pemasaran. Tidak hanya barang mewah atau sekunder, tapi kebutuhan primer pun, seperti produk makanan dituntut memiliki merek. Konsumen ke mal tidak untuk mencari celana jins tapi Levi’s, mereka tidak membeli sepatu olah raga tapi Nike, bukan ponsel tapi Nokia. Mereka tidak membeli produk, tapi merek.

Merek memang bukan sekadar nama atau pun logo, tapi indikator value dari sebuah produk yang ditawarkan kepada konsumen. Merek, demikian Stephen King, CEO WPP Group, menjadi pembeda suatu produk dari produk lainnya di kerumunan komoditas, sekaligus menegaskan persepsi kualitasnya. Dengan kata lain, produk adalah barang yang dihasilkan pabrik, sementara merek adalah sesuatu yang dicari pembeli. Sesuatu ini bukan sekadar barang, melainkan juga persepsi akan kualitas dan gengsi yang diraih.

Keuntungan branding adalah kemungkinan untuk mengontrol upaya pemasaran suatu produk dalam dimensi yang terukur. Pemilik merek bisa menghitung market share, meningkatkannya dengan mendongkrak brand share, serta mempunyai kesempatan untuk mematok harga premium dan memperoleh sedapnya marjin tinggi jika mereknya unggul.

Membangun Ekuitas Merek

Membangun ekuitas merek hingga menjadi kuat memang bukan perkara mudah. Dalam ekonomi pasar modern yang semakin sophisticated, upaya branding melibatkan teknik-teknik yang sangat complicated. Kegiatan branding tentu bukan sekadar beriklan, apalagi hanya melakukan program diskon atau potongan harga buat distributor, dan sejenisnya, tapi semua langkah yang kita lakukan terhadap produk dan perusahaan. Ketika menentukan STP (segmentation-targeting-positioning) dan diferensiasi, serta mendukungnya dengan marketing mix (strategi 4P; product, price, placement, dan promotion) dan melakukan strategi pemasaran yang solid, sebenarnya kita sedang membangun dan mengembangkan sebuah merek.

Membangun merek sebenarnya adalah membangun persepsi. Bahkan, persepsi adalah realitas itu sendiri, demikian Sally Falkow dalam “Your Brand of Expansion”. Sama dengan yang ditawarkan Kevin Lane Keller bahwa pertama-tama yang harus diingat bahwa membangun merek adalah membangun identitas (brand identity). Dalam belantara produk, merek harus dirancang agar bisa menonjol, salah satunya harus memiliki identitas yang kuat.

Dalam membangun merek semuanya harus direncanakan dengan matang, mulai dari memilih nama, logo, simbol, tipografi, warna korporat, karakter – pria atau wanita, bahkan tagline, dan jingle iklannya. Pendeknya, semua elemen merek harus mencerminkan karakter produk itu sendiri.

Dalam “The 22 Immutable Laws of Branding” Al Ries dan Laura Ries melakukan pendekatan kepada soal ini, misalnya, bagaimana seharusnya memilih warna, bentuk, dan seterusnya. Jika sebuah merek memilih warna yang kurang kontras, katanya, tidak gampang diingat konsumen. Begitu pun dengan logo, akan mudah menancap di benak pelanggan kalau, bentuknya proporsional, dan seterusnya.

Kedua, membangun asosiasi merek, terkait dengan citra produk yang ditawarkan kepada konsumen, bisa berupa atribut merek, simbol, atau bahkan endosernya. Asosiasi adalah elemen yang menempel di benak konsumen pada saat melihat atau mendengar nama merek, sebagai akibat dari eksposur iklan dan pengalaman menggunakan produk tersebut. Asosiasi merek yang kuat akan membentuk citra merek yang kuat pula. Volvo, misalnya, tidak sekadar kendaraan, tapi diasosiasikan dengan safety dan kemewahan.

Sementara Nokia tidak hanya ponsel (functional benefit), tapi juga fashion (emotional benefit). Produk Conecting People dengan “teknologi yang mengerti Anda” itu terkenal mudah dioperasikan, user friendly.

Ketiga, mencapai respons positif terhadap merek. Setelah produk dilempar ke pasaran, dan konsumen mengonsumsi produk tersebut, harus segera dicari umpan baliknya, apa yang konsumen pikirkan (brand judgement) dan rasakan (brand feeling) terhadap merek tersebut. Reaksi konsumen yang positif terhadap merek tersebut tentu merupakan nilai plus yang harus dijaga, bahkan perlu dibangun customer relations agar konsumen tetap membeli. Contoh yang baik adalah yang dilakukan Matahari Department Store yang mengikat konsumennya dengan Matahari Customer Club.

Related Stories

spot_img

Discover

Merayakan Imlek 2024 Lebih Semarak di The Langham Jakarta 

Masuki tahun baik dengan energi positif dan pesta meriah yang lezat di T’ang Court  Perayaan...

Understand Digestive Imbalances During the Festive Season at RAKxa 

What are the Factors that Can Disrupt the Balance of Your Gut  During the winter...

Rocka Reopens at Six Senses Uluwatu, Bali

Rediscovering Sustainable Culinary Dining  Rocka Restaurant & Bar at Six Senses Uluwatu reopens its doors...

COAL Menghidupkan Suasana Bar di Jakarta Pusat

COAL adalah bar terbaru di Jakarta yang menyajikan koktail khas dengan sentuhan cita rasa...

Sunday Folks Luncurkan Aneka Pilihan Es Krim Artisanal di...

Merek asal Singapura ini menghadirkan pilihan es krim premium dan hidangan pencuci mulut di...

Rediscovering Bhutan: New Perspectives on the Last Buddhist Kingdom

Amankora reveals the heart of Bhutan with ever rarer and more awe-inspiring cultural experiences...

Popular Categories

Comments