Terungkapnya pembobolan dana nasabah bank oleh Inong Melinda Dee menunjukkan bahwa kejahatan kerah putih bukan isapan jempol belaka. Bagaimana mengantisipasinya?
BINTANG iklan sebuah produk rokok, dengan tato lumayan penuh di tangan, nampak celingukan di kantor reserse kriminal Mabes Polri. Andhika Gumilang, nama bintang iklan itu, seringkali menundukkan wajahnya. Tidak seperti yang sering terlihat di layar kaca saat ia membintangi iklan atau main sinetron dengan segudang aksi yang penuh percaya diri, pria berusia 22 tahun itu sesekali menatap sesuatu dengan pandangan kosong.
Segala macam rasa, seperti sedih, menyesal, takut, juga malu, agaknya menumpuk jadi satu. Beberapa waktu sebelumnya, ketika ditanya wartawan tentang status hubungannya dengan Inong Melinda Dee, ia mengaku hanya sekadar anak angkat. Tapi siapapun tahu, bagaimana mungkin seorang ”anak angkat” menerima aliran dana yang lumayan gede, bahkan dihadiahi sebuah mobil mewah, Hummer V3.
Gara-gara Melinda Dee, 47 tahun, mantan Relation Manager Citibank yang menjadi istri sirinya itu, pemilik 6 (enam) Kartu Tanda Penduduk (KTP) – salah satunya menggunakan nama Juan Ferero – kini meringkuk di tahanan Mabes Polri, karena dijerat pasal pencucian uang dan pemalsuan identitas.
Melinda Dee memang fenomenal. Dalam posisinya, ia bisa membobol sedikitnya Rp 17 milyar dana para nasabah private banking Citibank, hanya bermodalkan keahliannya dalam melakukan komunikasi personal dan approachment (pendekatan) kepada nasabah. Bahkan, saking percayanya, para nasabah mau memberikan blanko kosong yang sudah ditandatangani kepada dirinya.
Fasilitas private banking memang biasa digunakan oleh orang-orang kaya yang tidak memiliki banyak waktu untuk datang ke bank melakukan transaksi. Peluang inilah, rupanya, yang dimanfaatkan oleh Melinda untuk memperkaya diri sendiri. Kerjasama dengan teller Citibank pun dilakukan. Bermodalkan blanko kosong yang sudah ditandatangani nasabah tadi, mulailah Melinda main ‘pat-gulipat’ mentransfer dana-dana nasabah ke beberapa rekening hasil rekayasa dirinya.
Belakangan, cerita kebobolan nasabah bank kembali berlanjut. Kini yang tengah pusing tujuh keliling adalah PT. Elnusa, salah satu anak perusahaan PT. Pertamina (persero). Bagaimana tidak. Depostio perusahaan yang bergerak di sektor energi hilir ini sebesar Rp 111 miliar di Bank Mega Cabang Jababeka, Bekasi, digasak oleh mantan Direktur Keuangannya sendiri, Santun Nainggolan, melalui pencairan deposito on call. Lho, kok bisa?
Elnusa, sebagaimana banyak perusahaan lain, menempatkan dana cadangan mereka dalam berbagai bentuk, salah satunya deposito berjangka di Bank Mega. Elnusa menaruh dana Rp 161 miliar di bank milik Chairul Tanjung itu mulai 7 September 2009, di kantor cabang Jababeka-Cikarang, Bekasi. Total deposito terbagi menjadi lima bilyet, dengan jangka waktu beragam, mulai satu bulan hingga jangka tiga bulan. “Seluruh dana telah ditransfer Elnusa dan diterima baik oleh Bank Mega,” jelas Manajemen Elnusa, dalam keterangan tertulisnya.
Dokumen penempatan deposito telah ditandatangani oleh pejabat Elnusa yang berwenang, serta Kepala Cabang Bank Mega Jababeka-Cikarang. Pada periode tersebut hingga saat ini perseroan melakukan perpanjangan penempatan, pada saat jauh tempo dari masing-masing bilyet. Bank Mega juga terus membayar bunga deposito setiap bulannya.
Terhitung sejak 5 Maret 2010, total deposito Elsa menjadi Rp 111 miliar karena ada pencairan Rp 50 miliar secara resmi atas perintah manajemen perseroan.
Masalah mulai muncul saat Selasa (19/4/2011), kepolisian bertandang ke kantor Elnusa dan menanyakan perihal penempatan dana deposito di Bank Mega. Manajemen Elnusa mengakui ada penempatan dana perseroan di Bank Mega. Pada hari itu juga, secara bersama-sama, manajemen Elnusa dan polisi melakukan mengecekan ke kantor cabang Bank Mega Jababeka Cikarang. Namun hasilnya sungguh mencengangkan. Dari keterangan lisan Kacab Bank Mega, deposito perseroan ternyata telah dicairkan!