Baju Koko SBY, Kaftan Syahrini, dan Kopiah Said Aqil

”Di bulan Ramadhan, yang naik tidak hanya harga, tapi juga kejahatan, pengemis jalanan, uang palsu.” Inilah olok-olok seorang remaja putri sambil sibuk browsing serba-serbi fashion Ramadhan, mencarikan untuk orangtuanya tren baru motif bordir baju koko ala SBY. Ia sendiri mencari motif baru kaftan Syahrini, yang serba ”blink” di aksen leher, dada, hingga perut.

Ramadhan memang serba ”blink”. Diperkirakan uang yang berputar senilai Rp 64 triliun. Bahkan, mal-mal menaikkan jumlah penjualan produk mereka hingga 40 persen. Hal ini mencerminkan hasrat-hasrat konsumerisme yang dilegitimasi oleh kebutuhan rohani dan dikapitalisasi oleh industri. Inilah ”industrialisasi puasa”.

Sesungguhnya, puasa bukanlah sekadar tidak makan dan minum selama sebulan penuh, tetapi merujuk perilaku manusia ”muttagin”, yakni nilai keutamaan manusia, seperti tidak tamak, toleran, sabar, berbagi, dan lain-lain. Dengan kata lain, puasa adalah sebuah perlawanan terhadap hasrat-hasrat konsumerisme.

Hasrat konsumerisme adalah cermin sebuah perilaku fashion, layaknya mengonsumsi kaftan Syahrini, tidak lagi sekadar berkehendak, tetapi mengalami, memiliki, serta mengejar, yang tidak pernah berhenti mengikuti tren, sebuah nihilisme yang terus dibarukan dan diremajakan. Inilah kerja kapitalisasi. Celakanya, kapitalisasi sering mengambil jalan pintas, serba vulgar, dan tidak esensial yang menjadi daya hidup era ini.

”NU mengajarkan bahwa kita harus mewarisi tradisi, tetapi terbuka pada inovasi. Sesungguhnya kita banyak mengalami lompatan yang luar biasa, tetapi juga kehilangan yang luar biasa.” Demikian KH Said Aqil, Ketua NU sekaligus Ketua Majelis Wali Amanah UI, menyambut berdirinya Abdurrahman Wahid Center di Universitas Indonesia. Kiai ini mengenakan kopiah ala kiai desa, meski tentu saja kopiahnya tidak sepopuler fashion ala Ustaz Jefry.

Memang benar, negeri ini telah banyak mengalami kehilangan luar biasa. Termasuk kehilangan sebuah kerisauan Gus Dur, yakni hilangnya ruang komunikasi bagi keteladanan kiai-kiai kampung, justru di tengah industrialisasi pesan-pesan agama. Kiai kampung dengan sarung dan kopiah sederhana, yang menghidupi desa-desa dengan bekerja bersama rakyat, mengajar dan menemani daya hidup desa yang beragam. Merekalah yang menghidupi sejarah toleransi Islam serta kebangsaan di sudut-sudut Indonesia.

Oleh karena itu, di bulan Ramadhan yang serba ”blink” ini, saya memilih mendengarkan tembang-tembang santi suaran, tembang Islami dengan iringan gamelan, yang dalam sejarah Islam menghidupi masjid-masjid sebagai bagian dari Islam kultural.

Simaklah cuplikan tembang ”Ilir-ilir” yang digunakan Sunan Kalijogo untuk menumbuhkan Islam di tanah Jawa (terjemahan bebas):

Lir-ilir tandure wis sumilir

Bangunlah, saatnya menanam benih pikiran dengan kejernihan

Tak ijo royo-royo tak senggah temanten anyar

Suburkanlah nilai manfaat, inilah nilai membawa kegembiraan baru

Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi ….

Gembalakan hati kamu, hidupkan dirimu dengan rukun Islam

(Catatan: belimbing dengan lima sisi adalah simbol rukun Islam)

(Oleh Garin Nugroho – Kompas, 23 Juli 2012)

http://ramadhan.kompas.com/read/xml/2012/07/23/15452815/Baju.Koko.SBY.Kaftan.Syahrini.dan.Kopiah.Said.Aqil

Related Stories

spot_img

Discover

Menemukan Ketenangan: Koleksi Secluded Villa Dari Nakula

A Gentleman’s Escape, Bali Style Bali mungkin terkenal dengan beach club yang ramai, pesta sampai...

Start Small, Scale Big: Buku yang Bikin Kita Ingin...

Saya harus jujur, awalnya saya pikir buku tentang bisnis startup itu pasti rumit, penuh...

PR 4.0: Mengelola Persepsi di Era Digital – Blueprint...

Di dunia bisnis modern, teknologi bukan lagi sekadar alat, melainkan lanskap tempat reputasi dibangun...

Dari Bandung ke London: Adhi, Anak Indonesia di Jantung...

Di balik layar kecerdasan buatan yang hari-hari ini mengubah cara manusia bekerja, belajar, bahkan...

“Behind The Stage”: Buku Paling Rock Tentang Bisnis Musik...

Kalau lo pikir industri musik itu cuma soal panggung, sound system, dan lighting keren,...

Slow Burn: Saatnya Menikmati Hidup Pelan-Pelan Lewat Cerutu, dari...

Kalau selama ini Anda mengira cerutu hanya milik kalangan pria tua berperut buncit yang...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here