Reception Hotel Best Western Papilio Surabaya |
Surabaya terkenal dengan udaranya yang panas, mungkin
mataharinya ada dua, tapi hari itu, 12 April, untungnya mendung sedikit
menggelayut. Kami tiba di Hotel
Best Western Papilio Surabaya menjelang makan siang – ini adalah hari
kedua, yang masih dalam rangkaian acara staycation
di Best Western Hotel, Malang dan
Surabaya.
Untuk
wilayah selatan, hotel berbintang empat ini termasuk strategis, terletak di
kawasan terpadu di Papilio Tamansari Surabaya di kawasan bisnis jalan Ahmad
Yani, dan hanya 20 menit berkendara dari Bandara Internasional Juanda.
Aha, hotel ini sangat homey. Segelas welcome drink
cukup menghilangkan dahaga, bahkan menyegarkan tubuh, setelah lelah berkendara
dari Malang. Dalam rombongan blogger dan para PR yang menjadi tuan atau nyonya
rumah, kami terbagi menjadi dua mobil. Ups, ternyata rombongan yang satunya sudah langsung menuju ke TKP pertama; Rumah Makan Lontong Balap Rajawali!
Bersama GM Hotel Best Western Papilio, Anom Suroto |
Baiklah, kami pun segera menyusul, kebetulan perut terasa keroncongan, apalagi mendengar kata ‘lontong balap’. Memang, perjalanana dari hotel ke TKP, lumayan jauh, dari ujung selatan ke utara Surabaya, ditambah lagi lalu-lintas kota lagi padat-padatnya di jam tersebut.
Makanan
Khas Surabaya
Tapi apalah hidup, tanpa perjuangan. Jalanan Ibu Kota
saja bukan halangan, apalagi lalu-lintas Kota Buaya, yang kepadatannya hanya
sepertiganya (sombong!) dibandingkan Jakarta. Yang jelas, setelah sampai ke tujuan, Lontong Balap
Rajawali di Jalan Krembangan Timur 32A, terbayar sudah semua kesebelan akibat traffic jam.
Lontong balap adalah makanan wajib yang harus dicoba
selagi di Surabaya, dan kedai yang hadir sejak 1956 itu sangat memenuhi selera
lidah semua orang Indonesia, bahkan lidah turis asing sekalipun. Seporsi lontong balap rasanya kurang, wajib nambah, meski piring yang kedua tanpa
lontong.
Lontong Balap dan Sate Kerang |
Makan lontong balap kurang afdhol tanpa sate kerang. Sate Kerangnya disajikan dengan kecap manis dan bawang goreng yang membanjir. Kalau suka pedas, cukup tambahkan sambal, yang dijamin maknyus, meski kemringet.....
Jangan khawatir, setelah makan, cobain minumnya, es degan, alias es kelapa muda. Pairing yang sempurna!
Romantic
Dinner
Hari kedua itu, waktu lebih banyak kami habiskan di
hotel. Cukup nyaman, karena semua kamar dilengkapi dengan fasilitas televisi 32-inch
dengan program satelit internasional, Wi-Fi gratis, safe deposit, minibar, dan coffee
maker. Menjelajah seputar hotel juga tidak kalah serunya, apalagi di area
tersebut – bahkan di luar hotel, tapi masih di gedung yang sama, terdapat beberapa coffee shop dan resto fastfood.
Di
malam hari, kami dipertontonkan atraksi oleh bartender hotel ini membuat Mojito – untuk
tipe mocktail tanpa alkohol. Selain
hasil minumannya yang freshy, ada
juga demo juggling yang menarik. Tidak lupa, para blogger pun mencoba
melakukan hal yang sama, yang kompetisinya dimenangkan oleh blogger asal
Malang: Dewi Ratna.
Malam
itu ditutup dengan romantic dinner di
Bantimurung Sky Pool, di tepi kolam renang rooftop
tertinggi di Surabaya dengan pemandangan kota 180 derajat. Wow!
Memang
bukan romantic dinner, karena beramai-ramai hehehe... Yang jelas, dengan sajian
BBQ, termasuk seafood-nya yang juara,
makan malam itu membawa kesan tersendiri.
House of Sampoerna
Waktu
terasa cepat berlalu, tahu-tahu sudah memasuki hari ketiga. Artinya, ini hari
terakhir bagi kami menikmati acara ini, dan malamnya harus berakhir, saya
sendiri dan rombongan Jakarta harus kembali ke Ibu Kota.
House of Sampoerna |
Untungnya, ada satu tempat yang kami kunjungi di hari ketiga ini, House of Sampoerna. Inilah museum milik perusahaan rokok Sampoerna. Museum yang terletak di Surabaya lama, adalah sebuah bangunan bergaya kolonial Belanda yang katanya dibangun sekitar tahun 1862. Awalnya bangunan ini merupakan panti asuhan putra yang dikelola oleh pemerintah Belanda. Lalu, bangunan ini dibeli oleh Liem Seeng Tee pendiri Sampoerna pada tahun 1932 dan dijadikan tempat pertama produksi rokok Sampoerna.
Aroma tembakau yang khas memenuhi area museum ini, dan
dengan guidance petugas museum, Anda
bisa menghayati bagaimana sejarah perjalanan raksasa perusahaan rokok ini, yang
bermula dari warung kecil yang kemudian meraksasa -- meski endingnya dijual ke perusahaan asing Philip Morris. Benda-benda bersejarah ada di sini, mulai dari alat
produksi rokok itu sendiri hingga kemasan, papan-papan promosi dari dulu hingga
zaman kiwari.
Sejarah Rokok Kretek |
Di akhir kunjungan di museum ini, di lantai dua, para pengunjung bisa melihat langsung bagaimana rokok diproduksi oleh tangan-tangan pekerja yang cekatan. Sekitar 400 orang yang mayoritas perempuan berjejer rapi di depan mesin produksi (manual) untuk membuat rokok. Masing-masing dari mereka kabarnya bisa menghasilkan 300 batang rokok per jam!
House of Sampoerna adalah destinasi terakhir, tapi kami
yang dari Jakarta (saya dan Rian Farisa) harus menuju satu tempat lagi: Bebek
Sinjay. Meski tidak menyebrang ke Pulau Madura, tapi cukup mengunjungi
cabangnya di Surabaya, cukup menjawab rasa penasaran akan kelezatan produk
kuliner Jawa Timur yang populer ini.
Sinjay yang legendaris |
Wow seru vanget ya bung Abe. Kalo ke Malang tentu OJ akan jadi referensi ya, dan ke Surabaya tentu akan stay lagi di Papilio.
ReplyDeleteSmoga bisa ketemu di staycation yang lain. Boleh colak colek ya heke
Gile kecee ulasannya. Beda emang dah. Jadi pengen ke papilio lagi ngajak si ay ay lihat kolam renangnya. Aku kemarin mupeng bebek nya.. pengen ikutan makan
ReplyDeleteMakan Bebek Sinjay di pool side Papilio, kali ye
Delete