Bom Jakarta

Bom lagi, bom lagi. Kali ini sasarannya Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli lalu. Sejumlah korban sipil, di antaranya warga asing, berjatuhan.

Terorisme sungguh keji. Inilah kekerasan yang dirancang menciptakan ketakutan di masyarakat (Thorton, 2001) atau bentuk operasi psikologi (McEwen, 2001). Sementara Hrair Dekmejian mengatakan, mengapa para teroris berlaku keji atas nilai-nilai kemanusiaan adalah karena mereka dilanda sindrom kekalahan atas kehidupan. Kematian dipilih sebagai solusi atas ketidakberdayaan mereka, yang dalam istilah disebut sindrom rendah diri akibat kekalahan bertubi-tubi.

Kita belum tahu pasti siapa pelakunya dan apa motif serta latar belakang sesungguhnya, tapi ledakan bom itu merupakan serangan atas kemanusiaan dan peradababan manusia. Implikasinya pun bisa sangat luas. Tidak hanya Australia yang buru-buru mengeluarkan travel warning, tapi lebih dari itu investasi untuk menumbuhkan industri pariwisata menjadi sia-sia.

Indonesia dikenal sedang giat-giatnya membangun. Tidak hanya plaza-plaza megah, nama-nama hotel berbintang lima berjaringan global pun hampir semuanya ada di Indonesia – khususnya di Jakarta, Bali, dan beberapa kota besar lainnya. Sebutlah Hilton, Shangri-La, St Regis, Melia, Four Seasons, Kempinski, Nikko, Oakwood, Hyatt, dan lain-lain.

Ritz-Carlton dan JW Marriott tergolong new entries di Indonesia. Ritz-Carlton adalah jaringan hotel mewah di 23 negara dan bermarkas utama di Chevy Chase, Maryland. Sementara JW Marriott adalah jaringan perhotelan tersukses di dunia, dikembangkan dalam waktu relatif singkat, 20 tahun oleh JW ”Bill” Marriott Jr.

Apakah kedua hotel tersebut menjadi target teroris karena berbau Amerika, wallahu a’lam! Yang jelas, masyarakat industri perhotelan di Indonesia berduka. Bertahun-tahun membangun kepercayaan, hancur dalam sekejap. Tidak hanya kerugian fisik semata, tapi lebih jauh adalah kepercayaan asing, apakah Indonesia masih menarik sebagai tempat berinvestasi.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan majalah National Geographic edisi Traveler, saya dan beberapa undangan lain, di antaranya William Wongso dan Jay Subiyakto, sempat merumuskan tentang hotel yang paling OK di Indonesia. Jawabannya ternyata memang tidak mudah. Memang, banyak hotel-hotel mewah yang dibangun di Indonesia, bahkan dikelola oleh jaringan global, tapi yanga namanya “hotel Indonesia” itu susah ditemukan.

Hanya beberapa bangunan hotel di Indonesia yang peduli dengan kaidah arsitektur Indonesia. Yang paling banyak adalah ‘tempelan’ semata, dengan menambahkan unsur-unsur etnik Indonesia. Dan yang paling parah, demikian William Wongso, jarang hotel di Indonesia yang mampu menyajikan makanan Indonesia secara benar. Kebanyakan makanan kontinental. Kalau pun ada makanan tradisional, “Pada hari ketiga biasanya para tamu biasanya sudah bosan. Variasinya sangat sedikit, padahal kekayaan kuliner Nusantara sangat luar biasa,” katanya.

Apa boleh buat, penggagas pembangunan hotel di Indonesia adalah para investor yang cuma tahu untung-rugi di industri perhotelan. Tidak punya passion sebagai orang perhotelan yang basis bisnisnya adalah jasa atau hospitality. Demikian pula dengan makanan, yang dipandang semata-mata sebagai makanan, bukan the art of cooking, yang memberi karakter Indonesia pada hotel tersebut.

Industri jasa perhotelan di Indonesia memang belum berkembang secara matang – bahkan dibandingkan dengan Thailand, misalnya, yang jati dirinya sangat kuat. Proses belajar untuk tahap yang benar memang masih jauh, dan bom yang memporak-porandakan JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta makin memperburuk keadaan. (Burhan Abe)

Related Stories

spot_img

Discover

Malam Magis Penuh Pesona di Ubud: Primbon Night dari...

Bali selalu punya cara untuk menghipnotis kita. Kali ini, pesonanya hadir dalam balutan budaya...

📚 Buku Kilat Buat Kamu yang Mau Posting Tanpa...

"Karena feed yang rapi itu nggak harus ribet. Cuma butuh buku ini dan sedikit...

Villa Beatrice: Manifestasi Villeggiatura Modern di Liguria Bersama Belmond

Ada tempat-tempat yang tidak hanya sekadar destinasi. Mereka adalah panggung hidup, di mana waktu...

Your Cheat Sheet to Bali Bliss

Resensi Buku “Bali: The Little Black Book" Pernah nggak sih merasa overwhelmed pas mau liburan...

Jakarta After Dark: City of Sins & Dreams

Jakarta di malam hari itu semacam kekasih gelap. Menggoda, sedikit berbahaya, tapi bikin kamu...

Terus Mau Sampai Kapan Cuma Jadi Penonton? Ini Dua...

Iya, maaf kalau judulnya pedes. Tapi coba tanya diri sendiri:“Usahamu sekarang benar-benar berkembang, atau...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here