Kemajuan Istri, Dorongan Suami

Kata orang, suami berperan penting bagi karier isteri. Tapi sampai batas mana perempuan boleh berkarier? Benarkah isteri yang terlalu maju, merupakan “ancaman” bagi suami? Ditulis oleh Burhan Abe.

Beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja saya nonton sebuah talkshow di TV. Temanya “perempuan dan karier”. Memang tema klise sih, dan terkesan jadul (jaman dulu), seolah-olah hidup kita hidup pada jaman Siti Nurbaya, yang kaum perempuannya tidak bisa memilih dan menentukan sendiri jalan hidupnya. Tapi berhubung dipandu oleh host yang cantik dengan seorang bintang tamu selebriti yang juga cantik, mata saya tertahan dan tidak jadi memencet remote control, pindah ke channel lain.

Ada juga pembicara lain, seorang pria eksekutif muda, bapak dari dua orang anak, yang tergolong sukses. Juga serta seorang pengamat, tepatnya, perempuan aktivis dari YLBHI yang baisa memberikan bantuan hukum kepada kaum perempuan yang bermasalah, baik dalam lingkungan pekerjaannya maupun dalam rumah tangga.

Pembicaraan tersebut tergolong lancar, bahkan tidak ada gejolak-gejolaknya. Jayus banget, istilahnya masa kini! Tidak seperti acara talk show dari luar sono yang dipandu Oprah Winfrey, apalagi Ricky Lake yang selalu seru, bahkan kadang-kadang tidak jarang terlontar umpatan kasar dari para pembicara. Apakah karena orang Indonesia orang-orangnya kurang ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya, atau bahkan pandangan orang bule kita budaya Timur terkesan introver, sehingga acara yang saya saksikan tersebut rada monoton, jauh dari konsep modern tontonan talk show masa kini.

Itu sebabnya, tidak semua pembicaraan bisa menancap di benak saya dengan baik. Tidak ada pertentangan yang berarti. Hampir semua pembicara sepakat, tidak ada perdebatan, bahwa perempuan berkarier itu wajar dalam jaman modern seperti ini, bahkan ketika ia sudah berstatus menjadi isteri. Saya cuma menggarisbawahi ketika sang pria berpendapat, kira-kira begini, “Isteri saya adalah seorang ibu rumah tangga, tapi saya memberikan kebebasan kepada dia kalau dia ingin bekerja.”

Tidak ada yang salah, seorang perempuan memang tidak harus bekerja, tapi juga punya hak untuk menjadi ibu rumah tangga saja – yang menurut saya tidak kalah mulianya dengan pekerjaan publik. Tapi kalimat suami tersebut bahwa akan “memberikan kebebasan” kepada isteri, justru menerbitkan tanda tanya bagi saya. Bukankah kebebasan itu milik semua orang? Sejak kapan kebebasan hanya monopoli suami, dan isteri hanya mendapatkan kebebasan jika diberi izin oleh suami?

Pendapat tersebut memang sering disuarakan oleh kaum feminis, dan saya hanya mengiminya saja. Apalagi, saya termasuk suami yang sangat mendukung kemajuan isteri. Cielah! Saya bukan tipe suami yang takut jika karier isteri melesat, bahkan jauh melebihi suami. Bukankah sejauh-jauh bangau terbang, pulangnya ke kubangan juga. Emang nggak nyambung!

Yang jelas, setelah isteri saya agak lama vakum, sayalah yang mendorongnya untuk bekerja kembali. Sama sekali bukan karena merendahkan pekerjaannya sebagai isteri dan pengasuh anak, tapi perempuran harus mempunyai kegiatan yang positif di luar rumah. Dengan demikian wawasannya menjadi luas, juga mempunyai angle yang juga positif dalam memandang dunia.

Tidak hanya berkutat di rumah, nonton TV, mengasuh anak, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang melekat pada perempuan, sebutlah memasak, mencuci, menyetrika. Padahal pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “perempuan” seperti itu menurut saya adalah tanggung jawab bersama, tidak berdasarkan gender. Bahwa pekerjaan tersebut diberikan kepada baby sitter dan pembantu rumah tangga, karena kita tidak bisa mengerjakannya sendiri, itu soal lain.

Pernikahan itu menurut saya semacam kontrak sosial, perjanjian antara suami dan isteri yang mengikatkan diri dalam sebuah ikatan rumah tangga. Suami dan isteri tidak harus melebur menjadi satu, tapi masing-masing individu mempunyai kehidupan pribadi sendiri-sendiri. Masing-masing mempunyai kesenangan sendiri, hobi, temen-teman, network, pendeknya masing-masing individu harus berkembang. Tidak hanya suami, isteri pun berhak untuk mempunyai kegiatan sendiri di luar rumah.

Related Stories

spot_img

Discover

Terus Mau Sampai Kapan Cuma Jadi Penonton? Ini Dua...

Iya, maaf kalau judulnya pedes. Tapi coba tanya diri sendiri:“Usahamu sekarang benar-benar berkembang, atau...

Catatan Seru Buat Kamu yang Lagi Bangun UMKM

Biar Nggak Cuma Posting, Tapi Jualan Beneran Laku Siapa sih yang nggak mau tokonya rame...

Mengubah AI dari Sekadar Tren Jadi Mesin Uang

Catatan untuk Mereka yang Ingin Kerja Lebih Cerdas Kita sedang hidup di masa paling unik...

Rasa yang Membara dan Penuh Elegansi: Cita Rasa Thailand...

Ada kalanya, pengalaman kuliner tak hanya soal rasa, melainkan juga soal suasana, cerita, dan...

Sebuah Gelas, Sebuah Gaya Hidup

Ada dua jenis pria di dunia ini: mereka yang memesan Martini dengan yakin, dan...

Slow Burn: Cerutu, Gaya Hidup, dan Maskulinitas yang Disadari

Cerutu itu bukan sekadar asap atau gaya. Ini soal sikap. Dan Slow Burn menyajikan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here