Nasionalisme dalam Kabut Digital: Sebuah Refleksi atas Karya Denny JA

Oleh: Burhan Abe

Di tengah derasnya arus globalisasi dan kemajuan teknologi digital, Denny JA melalui puisinya, Nasionalisme di Era Algoritma,” mengusung pertanyaan mendasar: bagaimana konsep nasionalisme tetap bertahan dalam dunia tanpa batas fisik, di mana algoritma mengatur kehidupan dan identitas sering kali berada dalam ancaman perubahan. 

Puisi ini tidak hanya menjadi eksplorasi estetika, tetapi juga sebuah kritik reflektif yang mendalam terhadap dinamika globalisasi dan digitalisasi dalam kaitannya dengan identitas nasional.

Pertanyaan yang diajukan Darta, tokoh sentral dalam puisi ini, “Apakah arti tanah air, di zaman tanpa batas ini?” menyuarakan keresahan generasi digital yang tumbuh di dunia yang semakin terhubung secara global. Dalam era di mana batas-batas geografis kehilangan maknanya, nilai-nilai lokal dan identitas nasional menghadapi tantangan besar. 

Penelitian oleh Benedict Anderson dalam bukunya Imagined Communities (1983) menjelaskan bahwa konsep bangsa sebagai “komunitas yang dibayangkan” sangat tergantung pada narasi bersama yang mengikat masyarakat. Namun, di era digital, narasi tersebut menghadapi fragmentasi akibat masuknya pengaruh lintas budaya melalui media sosial dan algoritma global.

Sebagai ilustrasi, algoritma yang mendasari platform digital sering kali dirancang untuk mengutamakan konten yang populer secara global, sehingga nilai-nilai lokal atau nasional dapat dengan mudah terpinggirkan. 

Penelitian oleh Zuboff (2019) dalam The Age of Surveillance Capitalism menunjukkan bahwa algoritma tidak hanya mengatur akses informasi, tetapi juga memengaruhi pola pikir dan persepsi masyarakat terhadap identitas mereka sendiri. Dalam konteks ini, pertanyaan Darta menjadi sangat relevan: apakah nasionalisme masih memiliki tempat di dunia yang didominasi oleh kode dan piksel?

Puisi Denny JA juga menggambarkan dialog yang menghubungkan masa lalu dan masa kini, sebuah upaya untuk menemukan relevansi nasionalisme di era digital. Melalui gambaran tentang bisikan dari tahun 1928—saat Sumpah Pemuda diikrarkan—Denny mengingatkan bahwa nasionalisme Indonesia tidak lahir dari keseragaman, melainkan dari keberagaman yang dirajut menjadi kekuatan kolektif. 

Narasi ini sejalan dengan pandangan Hobsbawm dalam Nations and Nationalism Since 1780 (1990), yang menegaskan bahwa nasionalisme adalah konstruksi sosial yang dibangun untuk menjawab kebutuhan zaman.

Namun, di era digital, di mana arus informasi tidak lagi dibatasi oleh wilayah geografis, tantangan baru muncul: bagaimana menjaga narasi nasional tetap relevan tanpa terjebak dalam isolasi budaya. 

Denny JA, melalui puisi ini, mengusulkan bahwa cinta tanah air bukanlah tentang garis di peta, melainkan ikatan emosional yang meresap hingga ke akar jiwa. Dalam hal ini, puisi tersebut mengingatkan kita bahwa nasionalisme tetap memiliki ruang, bahkan di tengah derasnya arus globalisasi, asalkan ia mampu beradaptasi dengan konteks zaman.

Related Stories

spot_img

Discover

Amanzoe Bangkit Lagi, Liburan 2025 Bakal Makin Gila

Bayangin lo berdiri di atas bukit sunyi Peloponnese, Laut Aegea membentang sejauh mata memandang,...

Keindahan Tak Tersentuh: Sebuah Pelarian Mewah di Garrya Mu...

Di utara Vietnam, tersembunyi di antara deretan pegunungan berselimut kabut dan sawah bertingkat yang...

La Piscina, Tempat Nge-Chill Paling Panas di Amalfi Coast

Bro, kalau kamu lagi mikir liburan sambil nunggu gajian turun, catat nama ini baik-baik:...

20 Tahun Java Jazz: Barisan Musisi Kelas Dunia Siap...

Tak terasa, dua dekade sudah Jakarta International BNI Java Jazz Festival menjadi panggung utama...

Ketika Kemewahan Menyatu dengan Alam

Alila Dong’ao Island Resmi Dibuka di Tiongkok Hyatt Hotels Corporation baru saja meresmikan Alila Dong’ao...

10 Best Places to Visit in Abu Dhabi

Abu Dhabi, a city brimming with life welcomes you with its top-notch infrastructure, a...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here