Tulisan tentang makanan di media apakah termasuk karya jurnalistik? Wacana ini pernah mengemuka dan sempat menjadi polemik serius. Teman saya, wartawan senior, berpendapat bahwa tulisan yang berkaitan dengan kuliner, khususnya review tentang makanan tertentu di sebuah warung atau restoran bukanlah karya jurnalistik, karena nadanya selalu positif.
Tidak ada kritik, yang ada adalah “enak” dan “enak sekali”. Pokoknya, maknyus! Atau, dalam terminologi jurnalisme, tulisan seperti itu cenderung “satu arah”, tidak ada unsur cover both side story yang menjadi jiwa tulisan jurnalistik. Benarkah?
Bondan Winarno, pembawa acara Wisata Kuliner di Trans TV, tentu mempunyai pendapat yang berbeda. Menurut mantan Pemimpin Redaksi Suara Pembaruan ini, rumah makan yang akan dia review di acaranya, sudah melalui proses screening terlebih dulu. Sudah ada pra-penilaian, baik oleh Bondan pribadi maupun oleh Tim Jalansutra, komunitas pecinta kuliner di mana Bondan menjadi kepala sukunya. Dengan kata lain, restoran yang kurang OK sudah pasti dihindari, sehingga makanan yang dicicipi pun dijamin maknyus.
Bodan menepis bahwa tidak ada kritik sama sekali terhadap makanan yang dicicipinya. Meski tidak pernah mengatakan “tidak enak”, bukan berarti penilaian selalu positif. Dugaan bahwa media dibayar – yang merupakan pantangan terbesar dalam dunia jurnalistik – juga ditepis Bondan.
Sebagai pengelola majalah food & entertainment Appetite Journey tentu saya mengamini pendapat Bondan Winarno – yang secara personal menjadi inspirasi saya ketika memutuskan menjadi wartawan. Tapi saya tidak ingin larut dalam polemik ini dan berdebat tentang keberadaan jurnalisme kuliner – yang pijakannya menurut saya sama dengan jurnalisme pada umumnya, yakni: to inform, to educate, dan to entertaint.
Yang jelas, info seputar kliner saat ini makin dibutuhkan. Media-media umum, apalagi yang kusus, perlu memberitakannya. Bahkan majalah gaya hidup pendatang baru dari Grup Tempo, U, menjadikan topik kuliner sebagai cover story.
Ya, siapa yang bisa menyangkal bahwa gerai-gerai yang menjual makanan (baca: restoran, kafe, food court, coffeeshop, dan sejenisnya) sudah menjamur di Jakarta, dan kota-kota besar lainnya di Indonesia. Kalau awal tahun 1990-an kita hanya mengenal beberapa kafe serta restoran yang kebanyakan berlokasi di hotel-hotel, kini sudah tidak terhitung jumlahnya. Di Jakarta saja tak kurang dari 10.000-an. Belum termasuk yang kelas kaki lima jumlahnya sudah tidak terbilang lagi.
Karena kebutuhan informasi tentang tempat makanan (untuk kelas menengah perkotaan yang bukan sekadar bertanya hari ini “makan apa” tapi “makan di mana”) itu pula, media yang menampilkan dunia kuliner juga makin marak. Tidak hanya hanya media cetak, stasiun TV pun pasti punya tayangan seputar kuliner.
Situ-situs atau pun blog-blog pribadi, pun tidak sedikit yang mengkhususkan diri kepada topik makanan. Sebutlah jalansutra.or.id, ada sendokgarpu.com, budiboga.blogspot.com, pennylanekitchen.blogsome.com, dan tentu saja appetitejourney.com.
Jadi, apakah jurnalisme kuliner itu juga jurnalisme? Gak penting-penting amat, gitu loh! Pokoknya, meminjam motto komunitas Jalan Sutra, sekali jalan-jalan terus makan-makan… (Burhan Abe)
iya juga sih