Nongkrong di warung kopi sungguh menyenangkan, apalagi kalau lokasinya di bandara. Bukan karena kopi di sana enak – lagi pula saya bukan coffee lover sejati, tapi suasana bandara memberikan sensasi psikologis. Bagi saya bandara adalah simbol kebebasan, pintu gerbang menuju “dunia luar tempurung”, akses untuk terbang ke mana saja.
Apalagi, bandara masa kini ini bukan lagi sekadar tempat pesawat terbang dapat lepas landas dan mendarat. Bandara kelas dunia pastilah juga sebuah tempat rekreasi. Banyak coffee shop, kafe, atau duty free yang menjual barang-barang dengan kualitas tidak kalah dengan mal dan kafe, juga toko-toko
Bandara Soekarno – Hatta, Cengkareng, memang bukan contoh yang baik dalam cerita ini. Meski sempat mendapat Aga Khan Award th 1995, bandara yang dibangun tahun 1985 ini belum sempat direnovasi secara total, dan keadaannya kini makin seperti terminal bus saja.
Bandara adalah gerbang sekaligus kesan pertama sebuah negeri. Dan saya sangat iri dengan Pemerintahan Malaysia yang sangat serius membangun dan meremajakan bandaranya. Pemerintahan Thailand juga tidak mau kalah, baru saja meresmikan bandara internasional Suvarnabhumi, Bangkok dua tahun lalu. Arsitekturnya sangat masa kini, melampaui era modernisme.
Yang paling saya suka sebetulnya bandara Changi, Singapura, salah satu bandara paling ramai di dunia. Bukan apa-apa, bandara inilah yang paling sering saya kunjungi ketimbang bandara yang lain. Fasilitasnya lengkap, kebutuhan rekreasi juga tersedia. Tapi aktivitas kesukaan saya, lagi-lagi, nongkrong di warung kopi. Sambil menunggu 2-3 jam menjelang boarding tidak jadi masalah. Bisa browsing sambil cuci mata.
Banyak orang yang jenuh dengan perjalanan jauh yang melelahkan. Tapi bagi saya malah sebaliknya, mungkin karena frekwensinya yang bisa dihitung dengan jari, sangat menikmati traveling, melihat-lihat hal-hal baru di luar keseharian. Setiap tugas ke luar kota atau luar negeri, saya selalu menambah jatah hari – meski terpaksa dengan fasilitas yang minim.
Hal yang sama terjadi ketika saya mendapat tugas mewawancarai bos Motorola untuk wilayah Asia Tenggara di Singapura, beberapa waktu yang lalu. Sehabis bertugas untuk kantor, saya melanjutkan dengan tugas pribadi alias memperpanjang masa tinggal barang sehari dua. Jatah menginap di Hyatt Hotel sudah habis, saya pun mencoba ”keajaiban” bandara.
Begitulah, kopor bisa saya taruh di tempat penitipan, sehingga saya bisa bepergian dengan bebas di downtown Singapura. Sarapan pagi di Little India, siang jalan-jalan ke Orchard Road, sore ke Esplanade, dan malamnya naik kereta (di Singapura disebut MRT, Mass Rapid Transit) terakhir jam 00.03 ke … bandara!
Meski malam tinggal separuh, beberapa kafe di bandara Changi ternyata masih buka, tak terkecuali Starbucks yang buka 24 jam. Banyak anak-anak muda (tampangnya seperti mahasiswa) yang nongkrong di sana, ada yang browsing di notebook yang menjadi barang bawaan mereka sehari-hari, ada yang ngobrol, ada yang berdiskusi. Saya bergabung dengan mereka, di bangku lain tentunya. Niat untuk masuk hotel transit terpaksa batal, karena saya tahu kursi-kursi tunggu di bandara Changi ternyata empuk juga. Hmm…
Film The Terminal yang berkisah tentang Victor Navorsky (diperankan oleh Tom Hanks) yang terjebak di Bandara JFK, sedikit banyak memberi inspirasi. Yang jelas, inilah salah satu petualangan menarik sebagai backpacker penggemar bandara. (Burhan Abe)