Berjuang tidak harus memanggul senjata. Apalagi, masa perang memang telah usai, meski ”perang dingin” dalam arti yang lebih luas, selalu menghantui kehidupan berkebangsaan kita. Bersamaan dengan peringatan Kemerdekaan RI, berikut cerita dari medan perang.
Cerita seputar wartawan, apalagi wartawan perang, memang menarik. Sudah banyak film yang mengangkat kehidupan mereka, di antaranya The Hunting Party, film produksi The Weinstein Company yang dibuat tahun 2007.
Film dengan bintang utama Richard Gere ini berkisah seputar dunia wartawan, yang berlatar negara Bosnia Herzegovina. Dengan sudut pandang yang unik, horor dan humor bercampur menjadi satu, ini memang merupakan film satir politik internasional. Tidak hanya dunia jurnalistik, film ini justru yang lebih banyak sindiran keras kepada lembaga-lembaga internasional seperti PBB, NATO dan CIA karena kegagalan mereka menangkap penjahat perang yang paling bertanggung jawab atas pembersihan etnis Muslim Bosnia.
Bertugas sebagai pewarta di tengah desingan peluru pertaruhannya adalah nyawa. Itu tidak hanya dialami Richard Gere dalam film tersebut, tapi cerita nyata juga dijalani Rien Kuntari, wartawan yang sering mendapat tugas untuk terjun ke negara-negara yang sedang bergolak, mulai dari Irak, Afganistan, Rwanda, Kamboja, hingga Timor-Timur.
Wartawan perang, itulah julukan yang sempat bahkan sampai kini melekat pada Rien, padahal perempuan Jawa itu mengaku benci dengan kekerasan termasuk peperangan. ”Inilah profesionalisme yang harus saya jalani,” ujarnya.
Mendapatkan berita yang eksklusif, apalagi dalam area konflik, memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dalam memburu berita tidak jarang wartawan harus mempertaruhkan segalanya; nurani, kehormatan, hujatan, cercaan, kemungkinan gugatan, ancaman, bahkan nyawanya sendiri. Tapi semua dikalahkan demi idealisme dasar kewartawanan itu sendiri, bahwa masyarakat berhak mendapatkan segala informasi yang benar.
Pekerjaan yang dijalani Rien memang tidak dengan senjata, namun risikonya yang tak kalah seramnya dibandingkan tentara yang bertugas di garis depan medan perang. Risiko yang nyata sudah dialami, sekadar menyebut beberapa nama, oleh David Pearl (terbunuh setelah lama diculik di Afghanistan), Robert Capa (tewas di Vietnam), Ersa Siregar (wartawan RCTI, tewas di Aceh), Ernie Pyle (tewas di Okinawa 1945), atau Larry Burrows (tewas di Vietnam). Bahkan di Irak pasca pendudukan AS, konon 70 orang lebih jurnalis meninggal dunia (independent.co.uk).
Risiko kematian boleh menghantui, tapi profesi wartawan memberi kesempatan menjadi saksi sejarah perjalanan umat manusia. Itulah yang membuat para jurnalis terpanggil untuk selalu berada di garda depan dalam konflik kekerasan antar bangsa yang disebut perang.
Jauh sebelum Rien Kuntari, ada Raden Mas Panji Sosrokartono. Dialah wartawan perang asal Indonesia pertama yang meliput Perang Dunia Pertama di Eropa. Setelah menjadi menjadi koresponden – dan menjadi satu-satunya calon yang lulus tes – pada harian The New York Herald, ia ditugaskan di beberapa negara, Belgia, Jerman, Prancis, Swiss, dan Austria, selama kurun waktu empat tahun (1914 – 1918).
Ia berhasil menurunkan artikel tentang proses penyerahan Jerman kepada Prancis. Perundingan antara Stresman yang mewakili Jerman dan Foch yang mewakili Prancis itu berlangsung secara rahasia dalam sebuah gerbong kereta api di hutan Campienne, Prancis, dan dijaga sangat ketat.