Berlaga tanpa Sejata

Saat Perang Dunia I Mas Panji sempat dianugerahkan dengan pangkat Mayor dan diberikan senjata oleh sekutu namun ia tidak pernah menggunakannya, “Saya tidak akan menyerang orang, karena itu saya pun tak akan diserang. Jadi apa perlunya membawa senjata?”

Saksi sejarah

Di zaman yang berbeda, Hendro Subroto, boleh dibilang wartawan yang punya pengalaman paling lengkap di medan perang. Ia ikut operasi penangkapan Kahar Muzakkar, menyusup ke Serawak saat konfrontasi dengan Malaysia, meliput perang Kamboja, Vietnam, Perang Teluk, juga misi kemanusiaan PBB. Ia mengikuti sejarah Timor Timur, yang pengalamannya ia tuangkan dalam Saksi Mata Perjuangan Integrasi Timor Timur.

Untuk mendapatkan pass meliput perang ternyata tidak mudah. Hendro mengatakan bahwa dibandingkan meliput perang, mengurus izin untuk dapat menembus berbagai birokrasi hingga akhirnya sampai pada lokasi liputan justru lebih sulit. Pada Perang Teluk, misalnya, AS memberlakukan seleksi ketat terhadap wartawan yang akan meliput.

Dari sekitar 1.300 pemohon, hanya 100 wartawan yang lolos, semuanya warga AS kecuali Hendro Subroto dan juru kamera Bambang Setyo Purnomo dari Indonesia (TVRI). ”Pemerintah AS tidak mau kecolongan, opini publik harus diamankan, jangan sampai kebijakan perang ditentang oleh warga AS sendiri,” ujar Hendro.

Tidak banyak wartawan yang mendapat keberuntungan seperti Hendro. Aalagi, Perang Teluk hanya berlangsung 100 jam. Banyak wartawan lain yang berbulan-bulan tertahan tak bisa masuk ke Irak karena masalah konsesi dan keketatan yang diberlakukan Pemerintah AS, dan tahu-tahu perang sudah berakhir.

Meliput Perang Teluk hanya salah episode pengalaman Hendro sepanjang kariernya menjadi wartawan selama 30 tahun, sejak masuk ke TVRI tahun 1964 sampai pensiun 1993, bahkan sesudah masa itu. Keberuntungan dan kesempatan, menurut Hendro, kebanyakan karena pengakuan individual. Setelah pensiun, ketika di Timor Timur dalam liputan untuk TV Australia, misalnya, ia diberi pinjaman helikopter oleh otoritas militer.

Timor Timur memang mendapat tempat khusus dalam hidup Hendro, karena ia mengikuti proses integrasi sejak awal. Tanggal 22 November 1975, di Fatularan, Timtim, Hendro tertembak. Serangan Fretilin begitu akurat, sehingga dari 100-an marinir yang dia ikuti, 22 orang di antaranya gugur. Dada kanan Hendro tertembus peluru, pipinya terserempet, dan ibu jari tangan kanannya remuk. Ia tak tewas karena masih dilindungi Tuhan, “Sama dengan pengalaman di tempat lain, saya tidak mati karena rasa optimis bahwa dengan menginjakkan kaki di wilayah peperangan, sang Pemberi Kehidupan pasti melindungi,” seperti yang diceritakan kepada Intisari.

Keyakinan seperti itulah yang membuat Hendro selalu rela menerima tugas jurnalistik ke medan perang. “Saya ingat ucapan seorang teman, wartawan Kamboja. Perang itu berwajah buruk, tapi kami datang ribuan mil untuk melihatnya,” katanya. Ketika perang meletus, orang berlari menjauh. Namun, manusia semacam Hendro justru mendekati. Mengabadikan, mencatat, dan menceritakan kepada orang di wilayah lain tentang keadaan yang ditinggalkan.

Tentu, tidak sekadar bermodalkan keberanian semata. Pengalaman dan persiapan yang matang sangat dibutuhkan sebelum terjun ke kancah peperangan. Kalau perlu ada pelatihan ala militer, sehingga tidak menjadi gagap ketika menghadapi situasi tertentu, sebut saja kontak senjata.

Tapi yang jelas, keberadaan wartawan sangat dibutuhkan dalam sebuah perang. Tidak hanya urusan pemberitaan dan hak masyarakat akan info, tapi seperti pendapat mantan Kepala Staf Gabungan Angkatan Bersenjata AS Jenderal Hugh Shelton, “Anda tidak akan memenangkan pertempuran bila CNN tidak menyatakan Anda menang.” (Burhan Abe)

ME, Agustus 2008

Related Stories

spot_img

Discover

Terus Mau Sampai Kapan Cuma Jadi Penonton? Ini Dua...

Iya, maaf kalau judulnya pedes. Tapi coba tanya diri sendiri:“Usahamu sekarang benar-benar berkembang, atau...

Catatan Seru Buat Kamu yang Lagi Bangun UMKM

Biar Nggak Cuma Posting, Tapi Jualan Beneran Laku Siapa sih yang nggak mau tokonya rame...

Mengubah AI dari Sekadar Tren Jadi Mesin Uang

Catatan untuk Mereka yang Ingin Kerja Lebih Cerdas Kita sedang hidup di masa paling unik...

Rasa yang Membara dan Penuh Elegansi: Cita Rasa Thailand...

Ada kalanya, pengalaman kuliner tak hanya soal rasa, melainkan juga soal suasana, cerita, dan...

Sebuah Gelas, Sebuah Gaya Hidup

Ada dua jenis pria di dunia ini: mereka yang memesan Martini dengan yakin, dan...

Slow Burn: Cerutu, Gaya Hidup, dan Maskulinitas yang Disadari

Cerutu itu bukan sekadar asap atau gaya. Ini soal sikap. Dan Slow Burn menyajikan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here