Kalender meninggalkan lembaran terakhir, tepatnya 31 Desember. Detik jarum jam tepat di angka 12 atau pada jam digital menunjukkan kombinasi angka “00.00″. Inilah momen istimewa yang selalu dirayakan orang seluruh dunia. Ada yang membuat pesta besar-besaran, ada yang merayakan dengan khidmat – merenungkan kembali perjalanan hidup, berdoa, dan merancang langkah ke depan.
Dulu, saya mempunyai kebiasaan untuk selalu merayakan pergantian tahun: old and new, dengan mendatangi 3-4 acara yang menarik. Bukan apa-apa, sebagai jurnalis, saya memperoleh akses yang baik untuk mengunjungi tempat-tempat tersebut, kemudian menuliskannya untuk pembaca. Belakangan kegiatan tersebut mulai berkurang, saya hanya menyeleksi satu acara saja yang ingin saya hadiri.
Atau kalau tidak, saya lebih suka melewatkan waktu untuk kepentingan personal saja – tanpa embel-embel “tugas sebagai wartawan”. Bentuknya tak jauh dari kumpul bareng dengan keluarga di depan TV yang acaranya pasti istimewa, bergembira bersama teman-teman, atau rame-rame berbaur dengan tetangga di seputar tempat tinggal sambil menikmati kambing guling!
Begitulah ritual yang terjadi setiap tahun. Merayakan pergantian waktu, bergembira, melupakan sejenak beban hidup, tidak ada salahnya kan?
Memang tidak ada salahnya. Tapi seorang teman mengingatkan, apa yang istimewa dengan tahun baru, itu toh hanya tanda pergantian waktu, yang lebih penting adalah sejauh mana kita menyikapi waktu dengan bijak. Apalagi, lagi-lagi menurut dia, merayakan tahun baru Masehi jauh dari tradisi Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim.
Menurut catatan Encarta Reference Library Premium 2005, orang pertama yang membuat penanggalan kalender adalah seorang kaisar Romawi yang bernama Gaisus Julius Caesar. Itu terjadi pada tahun 45 SM (Sebelum Masehi) jika menggunakan patokan tahun yang dihitung mundur dari kelahiran Yesus Kristus.
Pada perkembangan selanjutnya, Paus Gregory III kemudian memoles kalender tersebut, memodifikasi dan kemudian mengukuhkannya sebagai sistem penanggalan yang harus digunakan oleh seluruh bangsa Eropa, bahkan kini di seluruh dunia.
Pada zaman Romawi, pesta tahun baru adalah untuk menghormati Dewa Janus (yang digambarkan bermuka dua, merupakan dewa pintu dan semua permulaan). Perayaan ini kemudian menyebar ke Eropa dan menjadi tradisi di benua tersebut pada abad awal Masehi. Seiring lahir dan berkembangnya agama Nasrani, akhirnya perayaan ini diwajibkan oleh para pemimpin gereja sebagai satu perayaan suci, satu rangkaian dengan perayaan Natal. Itu sebabnya ucapan Natal dan Tahun Baru selalu satu paket: Merry Christmas and Happy New Year!
Well, tradisi bisa dari mana saja, tapi yang penting kita bisa mengambil nilai-nilai baiknya. Faktanya, pada old & new, sebagian besar teman-teman merayakan kegembiraan tersebut dengan pesta. Tapi tidak sedikit yang menjadikan momen tersebut dengan mengunjungi dan berdoa di mesjid, atau yang lebih dikenal dengan i’tikaf. Merenungi kembali apa yang telah mereka lalui, serta memantabkan berbagai rencana ke depan, yang dalam bahasa masa kini disebut sebagai resolusi. Ini juga sesuai dengan tuntunan Quran, “Wahai orang-orang yang bertaqwa, dan hendaklah kalian melihat diri kalian sendiri, apa-apa yang telah berlalu (telah diperbuat), untuk masa yang akan datang.” (Al Hasyr 18).
Tapi resolusi tentu bukan monopoli orang (atau yang merasa) bertaqwa saja, kan? Semua orang berhak membuat resolusi pribadi. Mereka boleh mencanangkan rencana, keinginan, niat, dan aktivitas baru yang akan dilakukannya tahun depan.