Bepergian sekarang makin gampang saja. Bukan saja informasinya yang bejibun dan mudah diakses – apalagi dengan tersedianya fasilitas online, banyak maskapai penerbangan yang menawarkan tiket murah. Bepergian ke Singapura, misalnya, dengan dihapusnya biaya fiskal, kini jauh lebih murah ketimbang ke Bali, apalagi ke Papua meski masih dalam yurisdiksi wilayah Indonesia.
Bisa dipahami kalau orang Jakarta suka bepergian ke Singapura ketimbang ke Lhok Semauwe atau Merauke, misalnya. Juga jangan heran kalau di sepanjang Orchard Road sangat mudah dijumpai orang-orang Indonesia. Tidak hanya itu, Pemerintah Negeri Singa tersebut pandai mengemas negaranya menjadi tujuan wisata yang menarik.
Sewaktu menginap di The Fullerton, eks gedung kantor pos yang disulap menjadi hotel bintang lima, yang berada di dekat muara sungai, saya bisa menyaksikan sendiri betapa lokasi itu disulap menjadi tempat yang menarik – mulai pagi hingga malam hari tidak pernah sepi dengan atraksi wisata. Mulai dari wisata museum, wisata belanja, hingga wisata kuliner di malam hari.
Yup, Clarke Quay adalah salah satu kawasan yang saya sukai. Di situ kita bisa nongkrong pagi di salah satu kafe dengan secangkir kopi, atau hang out di malam hari di klub-klub yang bertebaran di situ. Sebagai kawasan pergudangan yang telah direnovasi seluas lima blok, Clarke Quay menawarkan suatu alternatif yang beda dari tempat wisata umum lainnya, dengan berbagai restoran dan toko barang antik, ditambah aneka pilihan makan minum yang istimewa. Saat senja, sejumlah pub akan menyapa dengan musik dari tahun 1960-an hingga musik masa kini.
Singapura yang cuma 704 km2 itu memang bukan apa-apa dibanding Indonesia luasnya. Tapi negeri (tepatnya kota) sekecil itu mampu menjadi magnet bagi para wisatawan Asia Tenggara, bahkan seluruh dunia.
Tercatat 2 juta jiwa wisman yang berkunjung ke negeri itu setiap tahunnya, bahkan dengan adanya event balap F1 September lalu, tahun 2008 ditutup dengan angka 10,3 juta jiwa. Bandingkan dengan Indonesia, yang lebih luas wilayahnya dengan beragam atraksi wisata, pada tahun yang sama, hanya bisa menjaring 6,4 juta jiwa turis asing.
Bandingkan pula dengan Malaysia, misalnya, jumlah wismannya bisa mencapai 3,8 juta jiwa (tahun 2008). Padahal Malaysia tidak punya Candi Borobudur yang katanya satu dari sepuluh keajaiban dunia, juga tidak punya Pulau Bali yang eksotis dan kaya tradisi.
Yang mereka punyai hanyalah kreatvitas yang tinggi dan upaya keras mewujudkannya, maka Malaysia pun membangun menara kembar tertinggi di dunia, membangun kawasan wisata Genting, dan seterusnya. Juga, jangan lupa, mengemas dan mempromosikan fasilitas pariwisata habis-habisan, termasuk ke Indonesia – negara serumpun yang dianggap sebagai gurunya.
Apa sebenarnya yang salah dengan Indonesia? Negeri yang indah pemandangan alamnya, kaya seni dan budayanya, banyak peninggalan sejarah, ramah penduduknya (meski belakangan sering dipertanyakan setelah banyaknya teror), dan seterusnya, tapi pertumbuhan wisawatan mancanegaranya selalu membuat banyak kalangan was-was, alias tidak stabil.
Indonesia memang tidak perlu meniru negara jiran, tapi sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, keanekaragaman budaya dan kekayaan alamnya yang tersebar di 17.508 kepulauan, seharusnya menjadi modal yang lebih dari cukup. Apa yang salah dengan program-program seperti Visit Indonesia Year 2009, World Ocean Conference, atau yang akan akan berlangsung Indonesia Travel & Tourism Fair 2 – 4 Oktober nanti.
Bisakah momentum tersebut mengembalikan Indonesia sebagai destinasi favorit di dunia dan mengembalikan citra pariwisata Indonesia yang sempat terganggu akibat peristiwa teror bom hotel JW Marriot dan Ritz Carlton beberapa waktu lalu? (Burhan Abe)