JAKARTA adalah rimba bangunan modern, tapi siapa nyana hanya satu jam perjalanan dengan mobil, terdapat resor alami dengan pemandangan alam yang sungguh asri. Di kawasan Gunung Geulis, menjelang Puncak, Bogor inilah saya dan beberapa teman media menemukan Amalina, nama resor ini yang sebetulnya belum sempurna, karena belum menerima tamu untuk menginap, tapi hanya untuk function tertentu saja.
Memasuki Amalina serasa back to nature, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan Metropolitan Jakarta. Bangunan tradisional, dengan fasilitas modern, membuat kami bisa berlama-lama di sini. Tidak perlu AC, karena udara sekitar sungguh sejuk alami. Ditemani dengan makanan ‘desa’ – nasi putih, sayur asem, ikan goreng, tahu, tempe, dan sambal tentu saja, lengkap sudah kenikmatan siang itu, Kamis, 26 Juli 2011.
Amalina berasal dari kata dari bahasa Arab yang berarti “berkah yang terus menerus mengalir”. Konsep yang diterapkan di Amalina adalah pelestarian lingkungan dan budaya yang diaplikasikan dalam bentuk rumah-rumah tradisional warisan leluhur bangsa Indonesia yang akrab dan menyatu dengan alam sekitar.
Saat ini Amalina memiliki tiga rumah tradisional Indonesia, yaitu Rumah Bali, Rumah Jawa tipe Joglo dan Rumah Banjar tipe Bubungan Tinggi. Ketiga rumah tradisional ini dibangun dengan tetap mempertahankan keaslian dan karakteristik daerahnya, namun dengan mengakomodir kebutuhan kehidupan moderen.
Ketiga bangunan di Amalina dibangun tanpa merusak lingkungan. Setiap batu yang ditemukan saat pembangunan diletakkan ditempatnya atau dijadikan ornamen bangunan. Bangunan juga didirikan di lahan yang tidak ditumbuhi pohon-pohon besar agar kelestarian lingkungan dapat terjaga.
Danau yang ada di kawasan Amalina ini dahulunya adalah sawah milik pribadi yang kemudian dialihfungsikan menjadi sumber pengairan bagi penduduk sekitar karena di luar area ini sumber air tidak mudah didapat. Air yang mengisi danau berasal dari 9 mata air yang berada di kawasan sekitar Rumah Bali.
Rumah Bali – Amaputri
Kompleks rumah Bali yang diberi nama “Amaputri” adalah bangunan yang pertama kali didirikan di Amalina, yaitu tahun 2004 – 2005. Konsep arsitektur Bali sengaja pertama kali dipilih karena Bali telah dikenal luas, baik dalam skala nasional maupun internasional. Oleh karenanya dari mulai gerbang depan Amalina, konsep Bali sudah diterapkan.
Ada tiga bangunan Amaputri, yaitu “Wantilan” yang merupakan bangunan tempat berkumpul, kamar tidur dan mushalla. Semua bangunan didominasi material alami, yaitu alang-alang, bambu, rotan, kayu dan batu, yang semuanya merupakan kekayaan alam Indonesia. Atap bangunan menggunakan alang-alang dengan buluh bambu yang diikat dengan rotan. Alang-alang merupakan tanaman sejenis rumput liar yang dikeringkan dan kemudian dijalin untuk disusun menjadi atap.
Wantilan
Struktur bangunan Wantilan menggunakan kayu ulin dari Kalimantan Selatan. Pemilihan kayu ulin dikarenakan curah hujan di area Amalina sangat tinggi dan sifat kayu ulin, semakin terkena air, akan semakin kuat. Sedangkan untuk lantai, menggunakan kayu Bingkirai, juga dari Kalimantan Selatan.
Lapisan dinding Wantilan menggunakan batu paras Bali. Sedangkan ornamen Bali di belakang “gebyok” menggunakan batu candi dari Jawa Tengah dan dindingnya menggunakan batu “Krobogan” dari daerah Krobogan – Bali. Keunikan batu “Krobogan” ini adalah, batu ini ditumbuhi sejenis lumut tertentu yang tidak hidup di batu lainnya dan lumut ini akan memperindah tampilan batu tersebut hingga kelihatan antik. Pemandangan ini banyak dilihat pada bangunan-bangunan di Bali.
Area toilet menggunakan material batu terazzo, yang dikerjakan dengan cara “polished finishing” maupun “rough finishing”.
Sebagian besar furnitur terbuat dari kayu. Topping untuk Coffee Table merupakan kayu jati tua bekas bantalan kereta api jaman Belanda yang dipadu dengan kaki pohon. Papan bangku berasal dari Timor, Nusa Tenggara; sedangkan meja lampu yang ada di Wantilan dulunya merupakan lesung untuk menumbuk padi yang diberi topping kaca.