Memadukan keju dengan wine memang sudah pakemnya.
Termasuk memadukan wine dengan steak ataupun main course lain. Lantas, bisakah
memadankan wine dengan makanan lokal?
WINE and cheese is a good
marriage, while beer is the mistress. Begitulah pernyataan yang dilontarkan
maestro keju Neil Willman dalam kunjungannya ke Jakarta tahun lalu. Dikatakan
Neil, hal yang perlu diperhatikan saat memadankaan wine dengan keju, jangan
memilih keju berkarakter strong dengan segelas wine yang full body. “Sebab,
karakter keduanya berbeda, perlu perpaduan yang harmonis,” kata Neil.
Sebagai contoh keju cheddar,
cocoknya dengan Chardonnay atau Semillon. Bisa juga dengan Cabernet Sauvignon.
Di sisi lain, blue cheeseakan terasa pas disantap dengan Riesling atau
Gewurztraminer. Pada dasarnya, ide menyerasikan wine dengan keju ini semata-mata
untuk keseimbangan rasa dan tekstur. “Kuncinya adalah bereksperimen sendiri
untuk mencari pilihan winedan keju yang sesuai dengan selera,” kata Neil. Bukan
hanya aturan dalam memadukan keju dengan wine, rupanya untuk menikmati berbagai
jenis keju pun ada rambu-rambunya. Semakin “kuat”r asa atau karakter keju,maka
sebaiknya Anda memilih wineyang lebih manis.
Dengan begitu, karakter asli keju
ataupun wineyang dipilih sama-sama bisa tetap terasa. Taruhlah di hadapan Anda
ada camembert, cheddar, blue cheese, dan parmesan. Mana yang akan dinikmati
dulu? Menurut Neil, jika ada beberapa pilihan keju di depan Anda, mulailah
dengan keju yang berkarakter lebih lembut dahulu, kemudian meningkat ke keju
yang lebih strong. Jadi, sebaiknya Anda memilih camembert, parmesan, cheddar,
dan terakhir blue cheese. Ya, keju dan wine memang sudah pakemnya.
Termasuk memadukan wine dengan
steak ataupun main course lain. Pertanyaannya sekarang, bisakah memadankan wine
dengan makanan lokal? Bisa. Beberapa penikmat wine melakukan padu-padan makanan
ini atau dikenal dengan wine pairing,sebagai pengalaman tersendiri. Burhanuddin
Abe misalnya, mencoba menyandingkan masakan khas Padang seperti gulai kambing
dengan jenis yang light seperti riestling.
“Rasanya yang segar matching
dengan karakter gulai yang kaya bumbu,”kata penikmat wine itu. Dia bahkan
berani mengatakan, semua makanan pada dasarnya bisa dipadankan dengan segelas
wine selama makanan tersebut tidak terlalu strong karakternya. Benang merahnya
adalah daging merah disantap bersama red wine, sementara daging putih seperti
ikan dan ayam dengan anggur putih.
“Yang penting, antara makanan dan
winerasanya tidak saling bertentangan,” kata Abe lagi. Sebaliknya, William
Wongso malah berpendapat wine tidak diciptakan sebagai padanan masakan Asia,
apalagi Indonesia. Bila masakan
Indonesia dipadankan dengan wine mahal, rasanya amat mubazir, kecuali mengejar gengsi.
“Tapi, karena selama ini wine sudah menjadi bagian dari gaya hidup, ada
keinginan dari penikmat wine kalau makan harus dengan wine,” kata pakar kuliner
Indonesia itu.
Alhasil, terjadilah eksperimen
memadankan wine dengan masakan tradisional. Dia mencontohkan, white wine yang
tidak terlalu dry cocok untuk menemani bersantap gulai, kari, atau makanan lain
yang tidak terlalu pedas. Sementara Champagne cocok untuk makanan yang digoreng
karena gelembung gasnya seolah menyapu residu minyak. Adapun red wine yang juga
tidak terlalu pekat, bisa dinikmati dengan aneka jenis sate.
Tapi, yang pasti jenis pepesan tidak bisa masuk dengan semua
karakter wine. Lantas, apa sebenarnya kunci wine pairing ini? Antara logika dan
dipaksakan. Contohnya, apakah kalau makan fine dining sebanyak lima masakan
utama juga harus memesan lima jenis botol wine yang berbeda? “Yang ada ya sang
chef menyajikan wine and food pairing. Jadi, hanya satu wine untuk semua
masakan,” tutup William. (Sri Noviarni)
Seputar Indonesia, 24 Januari
2012
No comments:
Post a Comment