Bicara tentang digitalisasi memang tidak pernah basi. Di sektor media, misalnya, digitalisasi adalah sebuah keniscayaan. Apalagi, terbukti bahwa industri media cetak sudah masuk sebagai kategori sunset industry. Menutup tahun 2014, banyak media cetak yang menghentikan penerbitannya, tak terkecuali Indonesia.
Memang, perpindahan pembaca yang luar biasa dari cetak ke digital, tidak serta merta diikuti perpindahan iklan, karena masih ada kendala secara teknis, dan terutama mindset para pemegang kuasa penempatan iklan yang masih merasa comfort dengan dunia cetak. Artinya, ada masa transisi antara dunia cetak dan digital.
Tapi yang menarik, dengan segala kekurangannya, Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, adalah pasar digital yang diperhitungkan semua kalangan. Kalau tidak mana mungkin platform digital sekelas Google, Yahoo, Facebook, dan belakangan Twitter, tertarik menggarap pasar Indonesia.
Menurut eMarketer, Indonesia bakal memimpin pertumbuhan iklan digital di kawasan Asia Pasifik. Situs itu memperkirakan bahwa belanja iklan digital di kawasan tersebut tumbuh 18,3% tahun 2014. Hal yang mengejutkan adalah Indonesia akan memimpin pertumbuhan dengan angka 75%. Menurut eMarketer, Indonesia bakal memimpin pertumbuhan iklan digital di kawasan Asia Pasifik. Situs itu memperkirakan bahwa belanja iklan digital di kawasan tersebut tumbuh 18,3% tahun 2014.
Hal yang mengejutkan adalah Indonesia akan memimpin pertumbuhan dengan angka 75%. Memang, pertumbuhan pendapatan iklan digital di Indonesia tersebut, masih di kisaran single digit untuk periode 2013 – 2018. Redwing Asia menyebutkan, pada 2013 pendapatan iklan digital di Indonesia mencapai U$ 300 juta atau tumbuh 3,1%.
Pada 2014 omzet iklan digital diperkirakan bisa mencapai US$ 500 juta atau naik 5,1%. Dalam tiga tahun berikutnya berturut-turut diperkirakan akan membesar menjadi US$ 800 juta (2015), US$ 1,2 miliar (2016), dan 1,6 miliar (2017), atau tumbuh 8,8%.
Sedikit berbeda, ZenithOptimedia dan Magna Global meramalkan, tahun 2015 porsi iklan digital di Indonesia akan mencapai US$ 950 juta (sekitar Rp 12 triliun). Nilai tersebut, yang mengambil porsi 7,3% dari total belanja iklan, masih belum menembus angka psikologis US$ 1 miliar, meski terjadi peningkatan 80% ketimbang tahun sebelumnya.
Asal tahu saja, saat ini kue iklan terbesar di Indonesia masih didominasi media televisi yang mencapai lebih dari 60%. Ada pun perkiraan total belanja iklan di semua lini di Indonesia hingga tahun 2017 tumbuh 15-17% per tahun.
Yang jelas, cepat atau lambat, iklan digital tumbuh secara positif, bahkan eMarketer memperkirakan, kalau tahun 2015 porsinya cuma 7,3%, maka tahun 2018 bisa mencapai 20% dari total belanja iklan. Membesarnya pasar iklan digital tersebut didorong oleh munculnya kelas menengah baru, persaingan antarmerek, dan maraknya pemakaian teknologi baru dalam industri telekomunikasi seluler. (Burhan Abe)
Sumber: Editor’s Note – MALE 117
Yang menyebabkan masih nyamannya di dunia cetak salah satunya adalah penetrasi internet di Indonesia tahun 2014 menurut beberapa sumber adalah sekitar 20-23% dari jumlah penduduk Indonesia. Inipun masih dikuasai di daerah urban, daerah rural masih sulit untuk dijangkau, Maka dari itu media tradisional seperti TV, Radio dan cetak masih menjadi pilihan. Satu barrier lagi adalah dikarenakan kendala jangkauan internet.
Sementara iklan untuk penyedia jasa internet selalu menggembor-gemborkan jangkauan luas dan stabil, ironisnya di daerah seperti Jakarta saja terkadang untuk sekedar chat saja terasa lemot, bahkan jika di dalam rumah sinyal sepertinya raib. Dari barrier semacam inilah dunia iklan digital mulai merambah ke mobile, baik melalui SMS broadcast ataupun UMB code (contoh: cek pulsa),
Dunia iklan di Indonesia untuk saat ini belum menjadi pilihan utama hanya sebagai supporting saja. Baru beberapa brand internasional yang sudah mengalokasikan biayanya lebih besar di digital daripada media tradisional. Ini dikarenakan iklan di digital lebih mudah diukur nya karena bisa memberikan data secara real time dibanding tradisional yang kadang perlu 1 bulan untuk proses hasilnya dan itupun sulit untuk pengukurannya dengan penjualan langsung
Jadi pilihannya buat semua pelaku iklan digital adalah menjadi support untuk iklan tradisional atau berdiri sendiri? Overall, pendapat saya adalah, iklan haruslah efektif dan efisien jangan sampai alokasi budget menjadi terbuang