Fashion, Merek, dan Pencitraan

Ninik bercerita bahwa pelanggan On Pedder sebetulnya bisa dengan mudah dikenali. “Karena biasanya orangnya itu-itu juga.” Meskipun demikian, toh Pedder Group tetap merasa perlu mengikat loyalitas mereka dengan kartu VIP yang bisa berfungsi sebagai kartu diskon.

Memang tidak mudah mengelola merek-merek ternama. Jatuh bangun itulah yang dialami Dewi Moran dari Mahagaya Group, pemegang sejumlah merek, seperti Prada, Aigner, Hugo Boss, dan lain-lain. “Tahun 1990 kami menjadi distributor beberapa merek fashion. Sebetulnya sih sejak 1984 kami sudah merintis, sebelum ada banyak mal, cuma ada Ratu Plaza,” tuturnya.

Memang tidak mudah menjual branded fashion kepada masyarakat Indonesia. Untungnya, komunitas pecinta fashion di Indonesia yang memang terbatas itu sudah akrab dengan fashion merek-merek global, karena sebelumnya mereka sudah belanja ke luar negeri, Singapura atau Hongkong, misalnya. Jadi, ketika merek-merek itu hadir di Indonesia, mereka sudah tidak asing lagi. Menurut Dewi, pelanggannya adalah orang-orang yang tahu mode. “Kebanyakan suka yang serba praktis, tapi tidak jarang ada yang lebih berani, lebih fashionable, mengikuti tren terbaru,” katanya.

Dewi mengaku bahwa persaingan di industri fashion makin ketat, apalagi konsumen yang benar-benar loyal pada satu merek hampir tidak ada. “Mereka membeli apa yang mereka suka. Pilihannya sangat beragam,”ungkapnya.

Hanya saja, Dewi yakin kalau perekonomian makro Indonesia membaik, industri fashionnya juga tumbuh dengan baik. Memang, kata Dewi, untuk kelas premium pembeli barang-barang branded fashion hampir tidak terpengaruh dengan goncangan ekonomi – paling tidak kalau dibandingkan dengan kelas menengahnya, apalagi bawah. Tapi tetap saja, ketika terjadi krisis moneter di Indonesia beberapa tahun yang lalu sejumlah gerai merek tertentu terpaksa gulung tikar, sebutlah V2 Classic atau Isey Miyake.

Pelajaran berharga seperti itu barangkali yang membuat Lolita Lempicka lebih berhati-hati ketika masuk Indonesia Juni tahun lalu. Merek asal Prancis itu diluncurkan 11 Juni di rumah Adityawarman, Jakarta, dan dihadiri oleh sang pemilik merek, Lolita Lempicka itu menawarkan koleksi baju, ada aksesoris yang kami namakan custom jewelleries, kemudian ada parfum untuk laki-laki dan wanita.

Di kantor pusatnya, Paris, Lolita pertama kali buka tahun 1984. Butik Lolita di Plaza Indonesia merupakan yang pertama di Asia Tenggara. “Tadinya, kami mau buka di Singapura, tapi investornya lebih memilih buka dulu di Jakarta, karena pasarnya lebih besar,” ungkap Ria Juwita, sang general manager.

Menurut Ria, di Singapura itu tantangannya lebih besar karena orang Singapura itu lebih menerima hal-hal yang sudah pasti dan sudah eksis. Sedangkan, Jakarta rasa penasarannya lebih besar, sehingga potensi pembelinya lebih besar. Dan belakangan memang terbukti, pasar premium pecinta mode terus tumbuh. “Bisa dilihat dari banyaknya branded fashion luar negeri yang masuk ke Indonesia,”tukas Ria.

Photo by Kitti Incédi on Unsplash

Mantan peragawati tahun 1980-an itu menjelaskan bahwa Lolita menyasar wanita kelas A dan A+ dengan usia 30 – 50 tahun. Niece market-nya adalah ibu-ibu yang senang dandan, mengikuti mode, dan cenderung bereksperimen dengan warna. Lolita memang bercirikan mempunyai warna-warna yang berani, mulai dari pink, orange, merah, dan sebagainya, sementara style-nya pun amat feminin dan girly. “Lolita diciptakan untuk perempuan yang benar-benar confidence dalam berbusana,”katanya sambil menambahkan bahwa customer based Lolita sekitar 500-an orang.

Kalau dideskripsikan lebih lanjut, kondisi psikografis pelanggan Lolita adalah ibu-ibu muda, eksekutif muda, bankir, lawyers, atau siapa pun yang masuk kalangan platinum society. Maklum, Lolita yang mengeluarkan tak kurang dari 85 koleksi setiap musimnya, menjual produknya dengan harga Rp 4 -5 juta bahkan ada yang Rp 22 juta per potong. (Burhan Abe/Lis, Bintari, dan Dwi Wulandari)

Platinum Society, 2004

Related Stories

spot_img

Discover

Colin Dodgson dan Kecanduan Akan Ketidaksempurnaan

Di dunia fotografi mode yang penuh kilau, Colin Dodgson adalah pembangkang yang datang dengan...

PRU x Penfolds: Malam Mewah Bareng Tiga Dekade Anggur...

Luangkan satu malam buat hal yang enggak biasa: makan malam bareng Grange, sang legenda...

Colin Dodgson: Melihat yang Tak Terlihat

Di balik lensa analognya, Colin Dodgson menangkap dunia bukan sebagaimana adanya, tapi sebagaimana seharusnya...

Ekonomi Indonesia 2025: Krisis Double Trouble yang Bikin Was-Was

Oleh Burhan Abe Pertumbuhan ekonomi kita di awal 2025 ini mirip orang sakit yang susah...

Update Properti Jakarta Kuartal 1 2025: Stabil Tapi Tetap...

Kuartal pertama 2025 menunjukkan kalau pasar properti Jakarta lagi berada di fase yang cukup...

LW Design Group Bawa Oase Bergaya Bali ke Jantung...

One & Only One Za’abeel Hadirkan F&B Podium Spektakuler yang Menyatukan Ketangguhan Urban dengan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here