Seorang teman protes, gara-gara membaca Appetite Journey ia bertandang ke sebuah restoran ala Timur Tengah. “Gambar-gambar makanan di majalah yang bikin ngiler, lengkap dengan atmosfer restoran yang menawan, ternyata tidak seindah dengan warna aslinya,” ujarnya bersungut-sungut.
Tidak bisa dimungkiri, ada review yang kadang-kadang berlebihan. Tapi percayalah, tidak ada unsur ‘penipuan’ apalagi pembohongan publik. Yang terjadi mungkin adalah perbedaan angle.
Bagi orang tertentu, candle light dinner akan menerbitkan efek yang romantis. Tapi bagi yang lain, makan yang hanya ditemani dengan nyala lilin tersebut tidak hanya temaram, tapi tidak memunculkan ‘kilau’ makanan tersebut. Tergantung sudut pandang masing-masing, dari mana melihatnya.
Soto betawi pinggir jalan yang sering kita temui sehari-hari di Jakarta, mungkin terasa biasa-biasa saja. Tapi di lidah Bondan Winarno yang jago mengapresiasi makanan menjadi luar biasa. Mak nyuss…
Memang, bagi sebagian orang, sebutlah orang-orang Surabaya, lebih suka soto ambengan ketimbang soto betawi, misalnya. Tapi ini adalah masalah selera dan kebiasaan. Teman saya dalam cerita di atas, selidik punya selidik, ternyata memang tidak atau belum akrab dengan makanan Timur Tengah.
Sementara seleranya, yang terbentuk sejak kecil di Yogyakarta dan sekitarnya, setengah menolak ‘makanan asing’, termasuk makanan dari Negeri Sheik itu.
Pengalaman teman saya tersebut mirip dengan pengalaman saya pada awal 1990-an (jadul banget ya). Ketika itu saya berkesempatan untuk meliput launching seri baru sebuah mobil bergengsi yang dipusatkan di Australia. Acaranya sih sangat exciting, tapi yang bikin sebel adalah makanannya.
Maklum, lidah saya yang ‘ndeso’ ini setiap hari harus berhadapan dengan makanan Negeri Kangguru yang notabene jarang memakai bahan nasi. Padahal kalau belum makan nasi kan belum makan, kata orang Melalyu.
Alhasil, selama di Aussie – yang tidak lebih dari dua minggu, ada sedikit perjuangan kalau ingin makan selayaknya. Kalau ingin makanan ala Indonesia, terpaksa saya pergi ke restoran chinese food yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, kecuali di China Town. Lumayan, kerinduan terhadap nasi dan sejenisnya bisa terpenuhi.
Tapi itu dulu. Kini, setelah lidah mencecap berbagai makanan – apalagi semuanya tersedia di Jakarta, “gap rasa” sudah tidak ada. Paling tidak, dengan sedikit empati kita pun bisa mencicipi berbagai menu makanan dari mana pun. Makanan Nusantara oke, menu dari negara lain pun, hayo! Tinggal di Eskimo pun, ibaratnya, no problemo!
Saya mengikuti tip seorang teman, yang suka berpetualang rasa. Jika ingin menikmati makanan baru, sebaiknya me-reset dulu lidah kita menjadi nol. Jangan mempunyai bayangan rasa dengan mindset yang sudah terbentuk lama.
Misalnya mencoba sup tom yam ala Thailad, tapi yang di otak adalah sayur asem. Menikmati nasi bryani tapi yang dibayangkan adalah nasi goreng kambing Kebon Sirih. Gak nyambung, dan mungkin berakhir dengan kekecewaan…. (Burhan Abe)
Appetite Journey, November 2007