Halimin, warga Desa Rinding Allo, Kecamatan Limbong, Kabupaten Luwu Utara, Selawesi Selatan, terkejut mendengar dering telepon genggamnya dari balik lemari. Sejak kepala seksi pemerintahan desa itu membeli ponsel tahun 2007, baru awal Agusus lalu bisa berdering di dalam rumah.
Itulah ilustrasi yang diceritakan Kompas, 25 Agustus 2008. Akses komunikasi memang selalu menjadi masalah bagi 743 warga Rinding Allo, yang berjarak 64 kilometer dari ibu kota Kabupaten Luwu Utara, Masamba. Jalan nasional yang menghubungkan Rinding Allo dengan Masamba rusak parah sehingga jalan itu hanya bisa dilalui mobil bergardan ganda. Waktu tempuh pun lima jam, cukup membuat penat siapa pun yang menempuh perjalanan itu.
Yang lebih parah, tidak ada sarana komunikasi di desa itu. Pada tahun 2007, pemerintah memang memasang radio SSB, tapi radio itu sering tidak tembus dengan radio SSB lainnya. Tidak ada koran yang masuk karena jalan buruk. Itu sebabnya ketika jaringan Telkomsel masuk Agustus lalu, jelas merupakan berita gembira. Ini terkait dengan program pemerintah dalam rangka membuka akses telekomunikasi di daerah tertinggal dan pulau terdepan.
Rinding Allo hanya salah satu. Di tengah derasnya arus informasi di jagat ini, puluhan ribu desa di Indonesia tidak memiliki akses komunikasi dengan dunia luar. Buruknya sarana jalan membuat perekonomian masyarakat jalan di tempat. Sejak tahun lalu, Menteri Komunikasi dan Informatika Mohammad Nuh melontarkan wacana pembangunan saluran sambungan telepon di 38.000 desa di seluruh Indonesia.
Proyek ini sempat terkatung-katung. Beruntung persaingan bisnis telepon seluler makin ramai. Selain perang tarif yang menguntungkan konsumen, operator seluler mulai menggarap cerukan pasar yang belum terlayani, termasuk bagian dari daftar panjang 38.000 desa program USO (Universal Service Obligation) — program pungutan pemerintah senilai 0,75 persen pendapatan kotor setiap perusahaan jasa telekomunikasi yang menggunakan frekuensi sebagai media jasa mereka.
Apakah ini pertanda bahwa kelak ponsel memang untuk semua orang di Indonesia, tentu butuh waktu. Yang jelas, operator-operator kini mulai menggarap pasar kota-kota kecil serta perdesaan. Bukan karena adanya program pemerintah, tapi dengan pasar perkotaan yang padat dan persaingannya sangat ketat, investasi untuk membangun BTS di wilayah pinggiran dan menggarap pasar masyarakat perdesaan tentu bukan pilihan yang salah.
Sementara dari sisi gadget ponsel, para produsen kini juga mulai melirik pasar yang lebh massal ini. Ponsel untuk kelas atas dan sebagai produk untuk memenuhi gaya hidup modern memang sudah ada target pasarnya, tapi ponsel sebagai perangkat fungsional jutsru mempunyai peluang yang lebih besar.
Itu sebabnya, sebagian produsen ponsel dunia sekarang berinovasi melahirkan ponsel-ponsel murah, bahkan dengan harga jual sekitar Rp 300.000 cukup untuk digunakan sebagai perangkat komunikasi, baik suara maupun pesan singkat SMS.
Fenomena yang kita tangkap sekarang adalah sebuah ponsel dengan harga Rp 1 – 1,5 juta juga sudah memiliki berbagai kemajuan dan fitur teknologi mutakhir, seperti ponsel-ponsel buatan China yang lengkap, bukan lagi hanya sebagai perangkat teleponi, melainkan gabungan sebuah kesatuan fitur lengkap, baik personal digital assistant (PDA), kamera digital, teve dengan penerima analog, maupun fitur lain yang jauh lebih lengkap dibandingkan yang ditawarkan ponsel dibuat merek-merek dunia, seperti Nokia, Sony Ericsson, Motorola.
Untuk produk murah Cina memang jagoannya. Mereka meluncurkan beberapa merk ponsel sekaligus, sebut saja ZTE, D-One, atau K-Touch. Khusus untuk yang terakhir di Cina memiliki nama asli Tianyu. Ada juga yang barangnya masuk Indonesia memakai brand Indonesia (Hi-Tech). Selain desain yang umumnya menarik, hal lainnya yang sangat menonjol dari ponsel-ponsel ini ialah harganya yang sangat murah.