Mereka, para single parents, harus mampu berperan ganda yaitu sebagai ayah yang fungsinya mencari nafkah, dan sebagai ibu yang berperan membesarkan serta mendidik anak. Sebagai orang tua tunggal, mau tak mau, mereka dituntut untuk bisa mengatur segalanya seorang diri. Beberapa di antaranya mengatur keuangan, bekerja dan menyediakan waktu untuk anak.
Fase paling menyedihkan adalah kala sedang ditimpa masalah – di mana saat itu membutuhkan pasangan untuk berbagi cerita dan mencurahkan semua perasaan. Apa boleh buat, lantaran menyandang status single parent semuanya harus diselesaikan sendiri. Belum lagi apabila jatuh sakit, siapa yang akan mengurus? Tetap saja diri sendiri.
Menurut beberapa single parent, kondisi paling menyedihkan bukan saat sakit, tapi ketika anak bertanya tentang keberadaan ayahnya. ”Ayah ke mana bu? Kok tidak pulang-pulang? Saya rindu ayah, saya mau ketemu ayah.” Dengan berbagai alasan, sang ibu berusaha memberikan jawaban yang menyenangkan perasaan anak.
Harus diakui, untuk menjalani hidup seperti ini, membutuhkan kekuatan hati dan daya juang nan tinggi. Mengikis perasaan dendam kepada si lelaki yang notabene adalah ayah dari anaknya sendiri. Sedangkan bagi perempuan yang pernah menikah, harus siap menerima predikat janda.
Banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi single parents. Pertama, karena pasangan meninggal dunia. Kedua, karena perceraian. Ketiga, karena bekerja di luar kota atau luar negeri. Single parent yang terpisah karena ditinggal bekerja di luar negeri akan merasa kesepian. Kebutuhan biologis tak terpenuhi, padahal, secara hukum punya hak untuk melakukan hubungan seks. Hal serupa juga dialami oleh single parents yang disebabkan suami meninggal dunia. Tidak sedikit dari mereka yang pergi ke konseling rumah tangga untuk meringankan beban hidup karena ditinggal suami.
Hal ini diakui oleh Dian Estiandari, Marketing Manager PT Aksara Tanjung Wisata, “Saya sangat terpukul saat suami “pergi”. Hidup terasa hampa. Bahkan saya sempat gamang dan bingung. Tidak tahu apa yang akan terjadi bila hidup tanpa suami,” tutur perempuan yang akrab disapa Dian ini.
Keadaan serupa juga dialami oleh Verni Santi, Purchasing and Budget Controll Manager, di sebuah perusahaan teknologi dan informatika. Perempuan yang akrab disapa Santi ini menjadi single parent suami meninggal dunia, namun ia tetap tegar dan cepat menerima keadaan. Santi menjelaskan, ia tidak mau larut dalam kesedihan.
Sekarang masuk pada single parent yang disebabkan bercerai. Secara psikologis, beban mental yang dihadapi single parent bercerai lebih berat dari mereka yang ditinggal ”pergi” suami. Single parents yang disebabkan bercerai harus menghadapi masalah hukum (hak asuh anak), masalah hubungan dengan mantan suami, mendidik dan membesarkan anak, masalah lingkungan serta keuangan. Masalah emosional juga menerpa. Mereka akan dirundung rasa kecewa, marah, mencari kambing hitam, membenci mantan suami, cemburu terhadap rival serta kerap mudah marah pada anak. Bukan hanya itu, mereka juga akan merasakan luka batin, trauma, kesepian, tak berharga dan teraniaya.
Hal seperti ini pernah dialami oleh Lena Tan, artis dan presenter. Meski sempat kecewa atas kegagalan perkawinannya, tapi ia cepat bangkit, berusaha melupakan masa lalu, dan terus mengembangkan karir di dunia entertaiment. Dengan cara seperti itu, lukanya bisa cepat terobati. “Kesibukan memberikan semangat baru dan membuat hidup terus bergairah,” ujar janda beranak satu ini.
Mendidik dan Menatap Masa Anak
Selain hidup sendiri, persoalan lain yang dihadapi para single parent adalah masalah mendidik anak. Belajar pada kasus yang telah ada – sebagian ada yang pasrah dengan cara menyerahkan anak pada orangtua, mertua atau keluarga terdekat. Sebagian lain tegar dan mengambil alih semua peran suami yang telah tiada.
Santi misalnya, semenjak suaminya meninggal dunia ia langsung mengambil alih peran suaminya. Dengan cara tetap bekerja, merubah semua ritme hidup dan pola mendidik anak. Ia menerapkan dua kepribadian yaitu sebagai bapak dan ibu.