Era Web 2.0 sekarang ini punya ciri yang menarik, yaitu interaksi. Salah satu fenomena yang menjamur adalah social media. Facebook adalah “negara” terbesar ke-3 di dunia dengan 500 juta lebih “penduduk”. Twitter adalah “rumah” yang dihuni jutaan netizen dengan jutaan aspirasi dan opini.
KETIKA Presiden Amerika Serikat Barrack Obama berkunjung ke Indonesia 9 – 10 November lalu ada kejadian kecil tapi menjadi pergunjingan global. Yakni momen ketika Menteri Komunikasi dan Informasi Tifatul Sembiring dengan bersalaman dengan isteri Obama, Michelle.
Menteri dari Partai Keadilan Sejahtera yang dikenal penganut Islam ortodoks itu sebenarnya enggan menyalami Ibu Negera AS itu, karena bukan muhrimnya. Tapi entah mengapa hal itu tak terelakkan, jadi, “Kena, deh!” tulisnya dalam Twitter.
Kontan saja kejadian lucu tersebar di dunia maya, khususnya social media yang bernama Twitter itu. Bisa diduga, berita itu pun lalu menyebar ke penjuru dunia dengan cepat. Salah satu kantor berita Amerika, The Associated Press (AP), ikut melaporkan soal kejadian tersebut dengan judul “Minister admits reluctant Michelle Obama hand shake“.
AP pun lalu mengutip tweet Tifatul soal salaman tersebut, juga tak lupa menaruh sejumlah latar belakang sejumlah sensasi yang dimunculkan Tifatul, mulai dari soal komentarnya soal bencana alam disebabkan moral dan guyonannya soal kepanjangan dari penyakit AIDS.
Sejumlah blogger di AS juga mengulas peristiwa itu di situs ternama seperti Washington Post dan Huffington Post. Sejumlah media lokal seperti Chicago Tribune, kota asal Obama, juga menulis. Di Australia, Daily Telegraph, juga menurunkan laporan soal insiden salaman Tifatul dengan Michelle tersebut.
Sementara Yahoo! News juga menurunkan berita tersendiri di segmen Upshot-nya. Portal berpengatu ini melampirkan tayangan video yang menunjukkan salaman itu. Meski Tifatul membantah sengaja menyalami Michelle, Yahoo! menulis, “video peristiwa itu terlihat bertentangan dengan penjelasan Tifatul, namun Anda hakimnya.”
Betapa berpengaruhnya Twitter, yang kini akunnya mencapai 102 juta lebih. Tidak seperti era sebelumnya di mana para pengguna Internet lebih banyak bersikap pasif, kini di era Web 2.0, yang ditandai dengan hadirnya social media – sebutlah Facebook, Twitter, Kaskus, Plurk, Koprol, Foursquare, dan lain-lain, pengguna Internet makin interaktif saja. Apalagi pemakaiannya tidak sebatas via desktop dan notebook saja, tapi juga perangkat lain yang lebih mobile, mulai dari BlackBerry, iPhone, hingga iPad.
”Tak ada waktu tanpa social media,” tulis Hasnul Suhaimi, CEO PT XL Axiata, dalam blognya untuk menggambarkan fenomena masyarakat global saat ini, terutama penggiat Internet.
Memang, kalau kita hitung aktivitas kita dalam sehari, saat mulai bangun pagi, yang kita buka adalah ponsel, mengecek SMS, halaman Facebook dan Twitter, dan mungkin beberapa link-link yang menarik di Internet. Mungkin saja sambil nonton TV, media vetal mungkin dibaca sekilas, terutama yang menjadi favorit saja, atau minimal headline. Tapi begitu di jalanan, kalau memakai sopir, mata kembali ke layar ponsel, menge-tweet kejadian-kejadian sepanjang jalan, misalnya jalan yang macet, atau demo di wilayah tertentu.
Sesampai di kantor, pertama-tama yang dibuka PC atau notebook, mengecek email, browsing, ngeblog, ngetweet dan lain-lain. Begitulah aktivitas kita dalam selama 24 jam sehari, yang semuanya berhubungan dengan digital, fenomena dunia flat saat ini yang telah mengubah gaya hidup manusia di seluruh dunia.
Fenomena Social Media
Memang beberapa tahun belakangan ini, kita dikejukan dengan fenomena situs jejaring atau social media terutama Facebook, yang disusul dengan kemunculan Twitter. Social media sangat diminati oleh para penggiat Internet, bahkan terpilihnya Obama sebagai Presiden AS, tidak terlepas dari kemampuan pria berkulit gelap ini memanfaatkan social media. Di dalam negeri ada fenomena dukungan gerakan sosial “Cicak versus Buaya” dan “Coin for Prita”, yang semuanya berawal dari dunia maya yang bernama social media.
Pengaruhnya yang besar itulah banyak personal atau perusahaan memakai social media sebagai sarana untuk memperkenalkan diri atau lebih jauh memasarkan diri atau produknya. Sedangkan orang awam belum dianggap “eksis” kalau belum bergaul di social media tersebut. Kalau Facebook membatasi diri berteman hingga 5.000 saja, atau lebih dari itu menggunakan fun page. Maka kalau di Twitter, yang disebut follower, tidak ada batasnya, meski untuk mem-follow orang lain tentu sesuai dengan selera – artinya kalau kebanyakan yang diikuti pasti akan pusing sendiri.
Asal tahu saja, para selebriti, karena dikenal banyak orang, maka pengikutnya pun otomatis juga banyak. Penyanyi Sherina, misalnya, follower-nya lebih dari 700.000, juga tokoh-tokoh yang lain, sebutlah penyair Goenawan Mohamad, ahli kuliner Bondan Winarno, sutradara Joko Anwar, dan lain-lain, pengikutnya di atas 50.000.
Sementara artis-artis hiburan global pasti lebih banyak lagi fansnya, sebutlah Lady Gaga hampir 6,5 juta follower, sehingga dijuluki sebagai “Queen of Twitter”. Lalu ada Britney Spears 6 juta follower lebih, Ashton Kutcher (5,9 juta), Justin Bieber (5,4 juta), Kim Kardashian (4,9 juta), Oprah Winfrey (4,3 juta), dan seterusnya.
Seperti disebut di muka, fenomena tersebut tidak cuma di AS atau Eropa saja, pertumbuhan pengguna social media di Asia juga tergolong cepat. Beberapa negara seperti Indonesia, Jepang, Singapura, Malaysia, India kini menduduki lima bahkan sepuluh besar dalam beberapa social media terkemuka, seperti Facebook dan Twitter.
Fenomena social media di Indonesia, dengan jumlah 26 juta lebih, Indonesia menempati peringkat ketiga negara dengan jumlah pengguna Facebook terbanyak di dunia, di bawah AS dan Inggris. Indonesia juga menempati jumlah pengguna terbesar Twitter di Asia. Jakarta ibukota negara Indonesia bahkan telah diklaim sebagai ibukota Twitter di Asia, bukan karena jumlah pengguna tetapi juga kontribusi trending topic di Twitter dari Indonesia. Beberapa contoh topik asal Indonesia yang menduduki trending topic global: ‘Ariel Peterporn’, ‘Mbah Surip’, ‘Bondan Prakoso’, ‘Keong Racun’ dan lain-lain.
Rene S. Canoneo, salah seorang penggagas SITTI, sebuah mesin pencari ala Indonesia yang berkemampuan untuk membaca dan memaknai lebih dari 600 juta halaman web berbahasa Indonesia, menggambarkan fenomena gaya hidup digital, terutama kehadiran social media yang menghebohkan ini.
“Social media bukan sekadar media. Begitu banyak perubahan dramatis yang menyentuh setiap aspek kehidupan manusia telah, masih dan akan terus dikontribusikan oleh dunia digital, termasuk social media di dalamnya. Google tumbuh dari perusahaan berpendapatan Rp 2 miliar menjadi Rp 230 triliun dalam waktu 10 tahun. Facebook adalah “negara” terbesar ketiga di dunia dengan 500 juta lebih “penduduk.” Twitter adalah “rumah” yang dihuni jutaan broadcasters dengan jutaan aspirasi dan opini.
Social media bukan saja jejaring sosial, tapi juga bisnis. Tidak heran, berbagai perusahaan dan individu menggunakan media ini sebagai alat untuk meningkatkan pertumbuhan bisnis dan popularitas. Penggunaan social media secara efektif merupakan strategi yang ampuh untuk strategi pemasaran dan public relations. (Burhan Abe)
Majalah ME Asia, Desember 2010
Artikel yang menarik. Twitter sangat mendukung pertumbuhan bisnis, ini disadari dng baik oleh perusahaan menengah-atas dan entah karena alasan apa,justru tidak dianggap serius oleh perusahaan menengah-kecil. Padahal pertumbuhan internet cukup bagus:(