“Music doesn’t lie. If there’s something to be changed in this world, it can only happen through music.” —Jimi Hendrix
Musik tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Bahkan banyak yang menyatakan tidak bisa hidup tanpa musik. Lalu, bagaimana industri musik di era digital? Sejak Internet berkembang, musik memiliki lahan tersendiri di dunia maya, tak terkecuali di media sosial. Ketika Friendster berjaya, musik memiliki tempat tersendiri, seperti di MySpace dan Last.fm. Bahkan, menyadari pentingnya keberadaan musik, media sosial seperti Twitter sempat berusaha mengambil alih SoundCloud.
Fin Leavell adalah orang pertama yang mengunggah karya musik pribadinya ke MySpace, yang kemudian menjadi tren yang cukup luas. MySpace pun berkembang semakin besar sebagai media sosial musik, setelah Rupert Murdoch, pemilik Fox News dan 20th Century Fox, membeli MySpace dan mendirikan MySpace Records pada 2005.
MySpace Records merupakan label yang siap menerbitkan bakat terpendam yang ada di seantero MySpace. Beberapa nama yang sukses melalui MySpace adalah Lily Allen, Owl City, Hollywood Undead, Sean Kingston, dan Arctic Monkeys.
Ketika Facebook muncul dengan berbagai fitur, yang membuat banyak pengguna MySpace beralih pada 2008. Runtuhnya MySpace pada 2011 bisa jadi merupakan penyebab pengguna akun media sosial mencari alternatif lain. SoundCloud, yang ditemukan pada 2007, tampaknya bisa mengisi kekosongan tersebut. Pada Juli 2013 media sosial ini mampu menjaring 40 juta pengguna dan 200 juta pendengar.
Selain dua platform tersebut, bermunculan media sosial yang mengedepankan musik sebagai andalannya, mulai Google+, Spotify, 8tracks, Reverbnation, OurStage, hingga Fanbridge. Bahkan beberapa media sosial besar akhirnya memasukkan fitur musik dalam platform mereka. Facebook hingga Twitter pun melakukan hal itu.
Media sosial memang membantu pelaku seni musik lebih dekat dengan pencinta karyanya. Setiap orang di seluruh penjuru dunia selalu berusaha update informasi tentang artis idolanya, terutama yang berkaitan dengan karyanya. Jumlah view di YouTube dan downloader menjadi nilai jual sang musikus. Hal ini yang terjadi pada Psy, penyanyi asal Korea Selatan, yang kemudian mendunia berkat lagu Gangnam Style-nya. Begitu juga yang terjadi pada Justin Bieber.
Belum lagi fenomena trending topic di Twitter, yang juga menjadi ajang jualan bagi musikus. Dulu, ketika sebuah televisi swasta di Indonesia memiliki program tayangan langsung pertunjukan band, trending topic menjadi salah satu hal yang dikejar para pengisi acara tersebut. Bukan hanya di Indonesia, hal itu juga berlaku dalam acara internasional, seperti MTV Video Music Awards, yang mampu menghasilkan 306.100 tweet per menit melalui hashtag #VMA-nya.
Musik tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupan sosial manusia. Dalam bentuk apa pun, musik akan selalu memiliki tempat yang signifikan. Jauh hari Eve Shepherd, dalam tulisannya yang bertajuk “How Social Media Has Redefined the Music Industry”, mengatakan musik itu sendiri merupakan media sosial.
Sejak dulu orang primitif berkumpul dan menyaksikan tarian persembahan dengan mengelilingi api unggun. Pada era berikutnya, musik membuat anak muda bertukar kaset dan mixtape. Bahkan, dalam setiap konser, orang pun akan berkumpul menonton pertunjukan. So, yes, music is social.
Perkembangan era digital yang sangat pesat akan mempengaruhi semua jenis kegiatan dan industri, termasuk industri musik. Saat ini setiap pelaku seni musik dapat dengan mudah berinteraksi dengan penggemar karyanya. Hal ini terjadi karena perkembangan teknologi dan media sosial dari hari ke hari yang semakin banyak jenisnya.