Dunia game mempresentasikan kehidupan atau fantasi, dengan kuasa dan kontrol berada di tangan gamer.
SIAPA yang tidak kenal game? Di masa ini, lebih-lebih masuk ke era digital, hampir semua anak – bahkan orang dewasa sekali pun – menyukai game, apa pun bentuknya, mulai dari yang sederhana sampai yang sophisticated.
Game merupakan hiburan berbentuk multimedia yang dibuat semenarik mungkin agar pemain bisa mendapatkan sesuatu sehingga mendapatkan kepuasaan batin. Pong boleh dikatakan pelopor video game, berbentuk sederhana dua dimensi menjadi alternatif hiburan yang menarik bagi generasi muda sejak kehadirannya pada 1972.
Kesederhanaan gameplay dan grafis pun mengalami transisi pesat hingga hadirlah sensasi gaming yang lebih luas serta genre yang kian beragam. Teknologi yang semakin baik membuat para developer game menghasilkan game yang lebih berkualitas dan menarik. Bahkan, berkat tampilan yang lebih baik, tidak sedikit yang kemudian berhasil menjadikan tokoh game sebagai ikon (MALE Zone, MALE edisi 86).
Sebenarnya, game bisa dimanfaatkan sebagai sarana pembelajaran. Game edukasi ini biasanya dibuat dengan tujuan spesifik sebagai alat pendidikan. Sang desainer sudah memperhitungkan berbagai hal agar game benar-benar dapat mendidik, menambah pengetahuan, dan meningkatkan keterampilan yang memainkannya. Tapi di atas itu, dunia game mempresentasikan kehidupan atau fantasi, dengan kuasa dan kontrol berada di tangan gamer.
Yang jelas, game semakin berkembang luas dengan genre tak terbatas, bahkan bisa disandingkan dengan genre yang ada dalam film. Contohnya, Mario Bros, yang merupakan karakter game perdana yang hadir dalam film. Karakter yang dibuat oleh produsen game asal Jepang, Nintendo, itu sangat mendunia.
Memang, dalam perkembangannya, kesuksesan Mario Bros dalam game tak membuat filmnya mendulang nasib yang sama. Pada 1993, film Mario Bros justru menemui kegagalan dan mendapat respons negatif. Padahal pemerannya cukup terkenal, yakni Bob Hoskins dan John Leguizamo.
Para pahlawan dunia game rupanya tidak mampu berbicara banyak di dunia perfilman. Saat Batman dan Spider-Man melangkah pasti dan sukses hadir di layar lebar, pahlawan dunia game seperti Lara Croft melalui Tomb Raider dan Agent 47 dalam game Hitman hanya terlihat sebagai hiburan segar saja, tapi belum mencapai kesuksesan yang berarti.
Mendapat keuntungan merupakan tujuan industri film. Tak mengherankan bila kemudian mengadaptasi game menjadi film termasuk cara yang menggiurkan. Menurut situs Hollywood.com, film adaptasi dapat menarik penonton yang sudah terlebih dulu mengenal karya yang diadaptasi itu. Para produser menghitung jumlah pre-installed audience—penonton yang sudah mengenal baik kisah atau karakternya dari komik, novel, atau game—sebagai keuntungan yang sudah ada di depan mata. Sayangnya, banyak film adaptasi game yang justru tampil seadanya. Street Fighter, Tekken, Dead or Alive, dan The King of Fighter adalah gambaran buruknya film adaptasi game.
Film Mario Bros menjadi contoh lain sulitnya memperoleh hasil yang baik saat kedua versi tersebut memiliki konsep berbeda. Kepopuleran game Mario Bros diraih bukan karena jalan cerita dan pendalaman karakter yang baik, tapi lantaran cara bermain serta tantangan yang disajikan untuk pemainnya. Tentu menjadi kesulitan tersendiri bagi penulis dan sutradara jika sebuah film harus menggunakan metode yang sama dengan game-nya.
Sulit tak berarti tidak mungkin, dengan mempertahankan jalan cerita, tokoh, dan gameplay yang tak sederhana seperti Mario Bros. Celakanya, industri perfilman dengan sangat leluasa mengubah secara menyeluruh, yang akhirnya menghilangkan kekuatan dan inti game itu. Maka yang terjadi malah film tersebut seperti bukan hasil adaptasi game.
Jauh berbeda dengan Resident Evil, yang menjadi contoh berubahnya game secara keseluruhan, setelah hadir di layar lebar. Film yang dibintangi oleh aktris Milla Jovovich ini memilih pendekatan yang berbeda dengan game-nya yang pertama kali dirilis pada 1996.