Panggil aku Kartini saja, itu namaku. Kami orang Jawa tidak punya nama keluarga. Kartini adalah sekaligus nama keluarga dan nama kecilku, dan “Raden Ajeng’, dua kata ini menunjukkan gelar. Ketika aku memberikan alamatku… tentu aku tidak bisa hanya menulis Kartini, bukan? Hal ini pasti akan mereka anggap aneh di Belanda, sedang untuk menulis jeffrouw (nona) atau sejenisnya di depan namaku, wah, aku tidak berhak untuk itu – aku hanyalah orang Jawa (24 Mei 1899)
Hari terbit MALE edisi 130 ini bertepatan dengan Hari Kartini 2015. Persamaan hak antara pria dan wanita adalah topik jadul yang selalu menarik untuk dibahas. Apalagi, kalau yang membahas Zoya Amirin, seksolog yang selalu rajin menulis kolom sejak majalah ini terbit, tentu tak kalah serunya.
Kebanyakan pria, demikian Zoya, ketika membahas soal emansipasi, terbagi menjadi dua. Pertama, ada pria yang menyatakan mengagumi, memuja, bahkan mengakui membina hubungan intim, baik berpacaran, bertunangan, maupun menikah, dengan wanita mandiri—perkasa secara emosional—yang androgynous, yang banyak menjalankan peran maskulin, seperti menjadi breadwinner di keluarga dan bekerja di bidang yang didominasi pria.
Kedua, ada pria yang berpendapat wanita mandiri yang androgin lebih aman sejauh hanya menjadi kekasih, bukan sebagai istri. Sebab, menurut sang pria, wanita ini akan merepotkan, karena gajinya lebih tinggi, kariernya lebih bersinar, mengintimidasi, plus mendominasi di tempat tidur. Anda tipe pria yang mana?
Ternyata, dari sudut pandang seorang seksolog, tidak penting! Sebab, seperti pepatah yang jutaan kali Anda baca, wanita sesungguhnya ingin dicintai, bukan dimengerti. Karena itu, marilah mencintai wanita sebagai partner ketimbang berusaha keras memahaminya, karena sesungguhnya pria dan wanita memang berbeda. “Jadilah pria seksi yang pro-feminis,” tulis Zoya, yang lengkapnya bisa Anda baca di kolomnya (Sexpert, MALE 130).
Peringatan Hari Kartini yang jatuh pada 21 April bukan hanya soal sanggul dan kebaya. Selain soal hubugan pria – wanita, menarik disimak pendapat Linda Amalia Sari Gumelar. Bukan semata soal emansipasi wanita, “Tapi bagaimana meningkatkan peran bersama, agar perempuan Indonesia berkualitas, cerdas, melahirkan anak yang sehat, dan menjadikan keluarga sejahtera,” ujarnya.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak era Kabinet Indonesia Bersatu II itu menjelaskan, masih banyak pekerjaan rumah masalah perempuan yang harus diselesaikan. PR itu mulai dari tingginya angka kematian ibu melahirkan, perdagangan manusia, tingkat kesehatan perempuan, hingga pelecehan seksual.
Hari Kartini memang semacam pintu masuk untuk membicarakan apa saja yang terkait dengan kehidupan kaum perempuan. Membahas Kartini seharusnya memang bukan semata sebagai tokoh, tapi juga pokok.
Sumber: MALE 130