Trump, Tarif, dan Trauma Ekonomi Indonesia

Tak ada yang benar-benar siap menghadapi perang dagang—apalagi jika dipicu dari Gedung Putih. Ketika Donald Trump kembali menghidupkan agenda proteksionismenya, dunia terguncang. Indonesia, seperti banyak negara lain, masuk daftar korban tarif impor AS sebesar 32 persen.

Sepintas terlihat seperti isu luar negeri, tapi dampaknya terasa hingga ke kantong para buruh pabrik alas kaki di Brebes dan pekerja pabrik otomotif di Karawang.

Kebijakan ini memukul sektor ekspor Indonesia di titik-titik rawan. Industri alas kaki, tekstil, dan otomotif—tulang punggung ekspor nonmigas dan penyerap tenaga kerja jutaan orang—terdampak langsung. Ekspor alas kaki yang selama ini mengisi 15 persen pasar AS, diperkirakan turun hingga 20 persen pada kuartal II tahun ini.

Sementara sektor otomotif menghadapi risiko resesi mikro. Turunnya permintaan bisa membuat seperempat tenaga kerja sektor ini kehilangan pekerjaan.

Namun masalah tidak berhenti di sana. Efek domino dari perang dagang AS–China juga menghantam sektor komoditas Indonesia. Ketika ekonomi China melambat, permintaan terhadap batu bara, sawit, dan nikel ikut menurun.

Harga batu bara anjlok dari USD 150 menjadi USD 90 per ton. Semua itu berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang diperkirakan turun ke titik terendah sejak pandemi: 4,2 persen.

Ini bukan semata urusan ekspor-impor. Ini soal ketahanan ekonomi nasional. Ketergantungan kita pada pasar luar negeri dan bahan baku impor memperlihatkan betapa rapuhnya struktur ekonomi kita di tengah gejolak global. Rasio impor bahan baku industri yang mencapai 48 persen, misalnya, membuka peluang terjadinya inflasi bahan baku yang bisa menyengat seluruh rantai pasok.

Dalam situasi seperti ini, pemerintah tak boleh sekadar reaktif. Perlu langkah strategis yang tidak berhenti pada diplomasi dagang. Diversifikasi pasar ekspor harus menjadi prioritas. Keberhasilan ekspor kopi ke Ethiopia bisa direplikasi ke pasar Afrika dan Timur Tengah.

Hilirisasi industri, terutama nikel dan bauksit, tak boleh hanya jadi jargon politik. Dan UMKM eksportir harus diberi insentif fiskal dan logistik, agar mereka tidak terbenam sebelum sempat tumbuh.

Related Stories

spot_img

Discover

Terus Mau Sampai Kapan Cuma Jadi Penonton? Ini Dua...

Iya, maaf kalau judulnya pedes. Tapi coba tanya diri sendiri:“Usahamu sekarang benar-benar berkembang, atau...

Catatan Seru Buat Kamu yang Lagi Bangun UMKM

Biar Nggak Cuma Posting, Tapi Jualan Beneran Laku Siapa sih yang nggak mau tokonya rame...

Mengubah AI dari Sekadar Tren Jadi Mesin Uang

Catatan untuk Mereka yang Ingin Kerja Lebih Cerdas Kita sedang hidup di masa paling unik...

Rasa yang Membara dan Penuh Elegansi: Cita Rasa Thailand...

Ada kalanya, pengalaman kuliner tak hanya soal rasa, melainkan juga soal suasana, cerita, dan...

Sebuah Gelas, Sebuah Gaya Hidup

Ada dua jenis pria di dunia ini: mereka yang memesan Martini dengan yakin, dan...

Slow Burn: Cerutu, Gaya Hidup, dan Maskulinitas yang Disadari

Cerutu itu bukan sekadar asap atau gaya. Ini soal sikap. Dan Slow Burn menyajikan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here