Beeing Single

Dulu ada kesan, menjadi lajang – apalagi ketika usia berkepala tiga atau bahkan empat, karena tidak laku kawin. Tapi kini, status lajang, dengan berbagai alasan, justru menjadi pilihan hidup. Hidup sendiri bukan berarti tidak bisa berprestasi, bukan?

Idul Fitri adalah saat paling indah untuk berkumpul bersama keluarga. Tapi bagi Indah, 33 tahun, malah sebaliknya. Justru saat berkumpul itulah ada pertanyaan basi selalu tertujukan kepadanya, “Mana undangannya?” Atau pertanyaan dengan kalimat yang lebih lugas, “Kapan menikah?” Bukan karena malas membalasnya, tapi jawaban Indah toh tidak beranjak dari sebuah basa-basi, “Belum ketemu jodoh!” 

Apa boleh buat, pertemuan yang seharusnya menyenangkan, menjadi membosankan. Topiknya tidak beranjak dari soal menikah dan perjodohan. Padahal, bagi Indah, profesional di bidang periklanan itu, menikah menjadi tujuan utama. Selama belum ketemu the right man, kenapa juga harus dipaksakan. “Lagi pula, persoalan hidup tidak cuma menikah atau tidak. Bahagia atau tidak bukan diukur dari statusnya,” ujarnya. 

Pendapat Indah memang tidak salah. Yang salah adalah ia hidup di Indonesia, di alam Timur yang masih menganggap bahwa setiap orang – terutama wanita, ketika usia cukup, harus menikah. Itu sebabnya di KTP Indonesia, kolom status biasanya diisi dengan “kawin” atau “belum menikah” – yang masih diharapkan kelak akan menikah. Tidak dikenal kata “tidak menikah”. 

Dengan kata lain, hidup melajang di Indonesia masih dianggap tabu. Kalau tidak mana mungkin ada iklan rokok yang tagline-nya “Kapan kawin? Kapan-kapan”. Seakan melengkapi iklan satire tersebut, Agus Ringgo, bintang iklan tersebut yang tampangnya lucu hanya menjawab, “Mei!” Tapi ada terusannya, “Maybe not, maybe yes!” 

Itu pula yang terjadi pada Boyke Johan. Tapi bukan lantaran takut putus cinta dan dikecewakan pasangan kalau di usia 36 tahun, ia masih terlihat menikmati kesendiriannya. Kesibukan dan aktivitasnya yang padat menjadi fokus utama Boyke sebelum akhirnya kelak serius mengarahkan hatinya ke jenjang pernikahan. “Saya orangnya perfeksionis, termasuk untuk urusan jodoh. Dari awal kalau ada hal-hal yang memang terlalu jauh dari prinsip saya, buat apa diteruskan? Nantinya malah bisa jadi masalah,” ujarnya santai.

Di tengah relasi dan pertemannya ia tetap mencari wanita yang bisa menjadi tambatan hidupnya kelak tapi tanpa target waktu. “Untuk umur segini, yang saya pikirkan adalah mencari untuk yang pertama dan yang terakhir. Harus yang benar-benar serius,” tambah pria yang pernah berpacaran sepuluh kali ini. 

Pernyataan yang klise memang. Tapi Boyke tidak sendiri, tidak sedikit jomblo berkualitas, selain fisiknya yang oke, pekerjaannya yang mapan, serta uangnya yang berlimpah, tapi seret jodoh. “Ada sebagian eksekutif lajang tidak memiliki waktu untuk berpikir ke arah mencari pasangan, apalagi mereka yang tinggal di kota besar. Waktu mereka dihabiskan untuk bekerja,” Farina Arsita, psikolog keluarga dari RS Dr. Oen Surakarta memberi analisis, seperti dikutip Bisnis Indonesia.

Faktanya memang para lajang eksekutif ini kebanyakan tidak punya banyak waktu untuk mencari pasangan hidup karena sibuknya bekerja. Selain itu, sebagian eksekutif lajang ini mengaku takut salah pilih pasangan. Kurang serasi, tidak satu visi, hingga tidak cocok secara kepribadian, menjadi alasan utama para lajang untuk selalu menunda mencari pasangan. “Akhirnya banyak di antara mereka memutuskan tidak menikah hingga mereka tidak sadar usia sudah tidak lagi muda,” ujar Arsita lagi.

Novelis kondang Ayu Utami yang masih melajang di usia 40 mempunyai pandangan yang menarik terhadap status lajang. Menjadi lajang, katanya, bukan waktu tunggu ke pernikahan. Itu masalah pilihan, bukan suatu hierarki. ”Saya juga baru menyadari bahwa banyak orang lajang bukan karena nggak laku, tapi karena memang belum mau,” katanya.

”Menikah adalah satu hal, dan menjadi lajang adalah hal yang lainnya,“ tambah penulis novel Saman, Larung, dan Bilangan Fu itu. 

Related Stories

spot_img

Discover

Merayakan Imlek 2024 Lebih Semarak di The Langham Jakarta 

Masuki tahun baik dengan energi positif dan pesta meriah yang lezat di T’ang Court  Perayaan...

Understand Digestive Imbalances During the Festive Season at RAKxa 

What are the Factors that Can Disrupt the Balance of Your Gut  During the winter...

Rocka Reopens at Six Senses Uluwatu, Bali

Rediscovering Sustainable Culinary Dining  Rocka Restaurant & Bar at Six Senses Uluwatu reopens its doors...

COAL Menghidupkan Suasana Bar di Jakarta Pusat

COAL adalah bar terbaru di Jakarta yang menyajikan koktail khas dengan sentuhan cita rasa...

Sunday Folks Luncurkan Aneka Pilihan Es Krim Artisanal di...

Merek asal Singapura ini menghadirkan pilihan es krim premium dan hidangan pencuci mulut di...

Rediscovering Bhutan: New Perspectives on the Last Buddhist Kingdom

Amankora reveals the heart of Bhutan with ever rarer and more awe-inspiring cultural experiences...

Popular Categories

Comments