Home Blog Page 59

Music Score

0

A film score (also sometimes called film music, background music, or incidental music) is original music written specifically to accompany a film. The score forms part of the film’s soundtrack, which also usually includes dialogue and sound effects, and comprises a number of orchestral, instrumental or choral pieces called cues which are timed to begin and end at specific points during the film in order to enhance the dramatic narrative and the emotional impact of the scene in question. Scores are written by one or more composers, under the guidance of, or in collaboration with, the film’s director and/or producer, and are then usually performed by an ensemble of musicians – most often comprising an orchestra or band, instrumental soloists, and choir or vocalists – and recorded by a sound engineer. (Wikipedia)

Musik memiliki peran besar dalam industri film. Pada era film bisu, alunan nada yang dimainkan menjadi kunci utama yang memberi efek kuat untuk menghadirkan suasana dalam setiap adegan. Great Train Robbery dianggap sebagai film pertama yang dikenal secara komersial yang dirilis tahun 1903. Film yang berdurasi cuma 12 menit itu berhasil memukau penonton dan dianggap sebagai tonggak baru dunia hiburan. Bisa dibayangkan jika keberadaan film bisu itu masih dipertahankan hingga saat ini, sudah pasti ceritanya akan kehilangan kekuatan emosi.  

Beberapa tahun kemudian, setelah Great Train Robbery, dunia perfilman mendapat jawaban agar lebih meningkatkan kualitas film. Dengan menggunakan papan dialog dan iringan musik yang disesuaikan dengan adegan, film mendapatkan arah untuk menghadirkan keberagaman cerita serta genre.  

Namun, seiring dengan perkembangannya, peran musik tidak hilang dimakan waktu, dan tetap menjadi aspek penting dalam film. Benar, musik dapat memperkuat suasana dramatis dalam berbagai genre film, juga menginformasikan soal waktu, era, dan zaman. Bahkan musik digunakan untuk menimbulkan efek ketakutan dan kengerian penonton. Biasanya sineas film menggunakannya saat menciptakan film bergenre horor atau thriller.  

Dunia Disney, yang penuh dengan imajinasi, kreativitas, dan kisah yang mempesona, tentu harus menjadi contoh tentang keindahan serta pentingnya musik yang menemani film. Melalui visi yang dipertahankan oleh sosok Walt Disney hingga saat ini, film karya Disney selalu mempersembahkan lebih dari sekadar hiburan   Dari film animasi hingga feature, karya Disney selalu ditunggu penggemarnya dari segala umur dan lintas generasi. Tidak terkecuali musiknya yang khas dan everlasting.  

Sejak Disney memasuki dunia animasi dan film, jarang sekali karya musiknya yang luput dari perolehan penghargaan. Misalnya, dalam Academy Award 2014, lagu Let It Go, soundtrackfilm animasi Frozen, menjadi pemenang dalam perhelatan insan perfilman itu. Musikus besar seperti Elton John, Phil Collins, Sting, Bryan Adam, Christina Aguilera, dan Mandy Moore merilis kreativitasnya dalam balutan Disney.  

Satu Nada Penanda

Hanya mendengarkan nada yang dimainkan, kita akan tahu film yang sedang diputar.  

Selain memang menjadi satu kesatuan dengan film, musik tidak hanya membantu meraih tujuan menciptakan perasaan sedih, marah, benci, hingga rasa takut. Sisi lainnya adalah musik dapat membentuk identitas film itu sendiri.  

Video Musik

0

Video musik pernah mencapai jaya-jayanya pada era 1980-an. Tapi sebetulnya, hingga sekarang, video musik terus berkembang, bahkan mediumnya tidak hanya TV, tapi juga Internet.  

Perkembangan video musik umumnya identik dengan perkembangan industri musik itu sendiri. Sebuah negara yang industri musiknya maju, bisa dipastikan video musiknya juga dapat berkembang cepat. Amerika Serikat, misalnya, hampir seluruh dunia menikmati produknya, mulai dari industri musik hingga video musik lewat MTV-nya membuat musik yang berevolusi menjadi video klip musik.  

MTV sekarang memang bukan satu-satunya TV yang menayangkan video musik, tapi beberapa stasiun TV yang lain juga sering menyelipkan beberapa video musik. Bahkan di Indonesia, misalnya, hampir seluruh televisi menayangkan acara video musik sebagai salah satu program andalanya.  

Menonton Musik

Video musik sebenarnya tidak jauh berbeda dengan film pendek. Hanya, video musik merupakan perpaduan antara lagu dan gambar. Biasanya video musik berkaitan dengan kepentingan promosi dan penjualan album atau singlesang penyanyi atau musisi.  

Sebelum MTV tahun 1980-an, video musik sebenarnya sudah ada sejak dekade sebelumnya, hanya penamaannya tidak seragam dan cenderung membiaskan makna sebenarnya. Istilah yang dipakai kala itu seperti song video, song clip, film clip, dan filmed insert.  

Dalam perkembangannya, video musik tak hanya menampilkan film bermusik. Lebih dari itu, keberadaannya sejalan dengan kemajuan teknologi atau tren yang tengah digandrungi di dunia perfilman.  

Sejak suara memasuki dunia perfilman, banyak film yang berisi musik dan lagu. Adapun video musik baru ada pada 1950-an. Tony Bennet adalah penyanyi pertama yang merekam dan menyiarkannya di AS serta Inggris. Namun yang digarap dengan sungguh-sungguh adalah video musik Jailhouse Rock, yang dibawakan oleh Elvis Presley.  

Jika mengacu pada tujuan pembuatannya sebagai promosi dan penjualan album atau single, video musik Dame si do bytu (Let’s Get to the Apartment) garapan Ladislav Rychman pada 1958 adalah yang paling tua.

Tak dapat dibantah The Beatles-lah yang menetapkan dasar pembuatan video musik saat ini, dengan filmnya, A Hard Day’s Night (1964), yang disutradarai oleh Richard Lester. Film hitam-putih itu dibuat seperti film dokumenter, yang memasukkan unsur komedi dan dialog yang ditingkahi musik. Bila bagian per bagian film tersebut dipotong, akan menjadi kesatuan yang berdiri sendiri. Walhasil, bagian yang menampilkan adegan bernyanyi seolah menjadi model bagi pembuatan video musik saat ini.  

Film kedua The Beatles, Help! (1965), lebih mumpuni lagi. Film berwarna itu menggunakan berbagai teknik pengambilan gambar, yang pada saat itu tidaklah lazim. Misalnya, pengambilan gambar lebih berfokus pada foreground kepala gitar George Harrison ketimbang sosok John Lennon yang berada di belakangnya. Baru pada 1965 itu The Beatles peduli terhadap keberadaan video musik, atau kala itu disebut filmed insert. Maka lahirlah video musik Rain/Paperback Writer, Strawberry Fields Forever, dan Penny Lane.  

If advertisers can rise to the mobile challenge, the rewards will be huge

0

People now spend 20% of their time looking at a smartphone – but still only 4% of advertising budgets are spent on mobile ads

One of the most surprising statistics to emerge from Kleiner Perkins Caufield Byers’ annual Internet Trends Report, written by partner Mary Meeker, was the amount of time users spend consuming media on mobile devices. This highlights the immense opportunity mobile still presents.  

According to the report, consumers spend 20% of their time using mobile devices, up from 12% last year. Despite this, advertisers are still only spending 4% of total budget on mobile ads, up 3% from last year. This is almost the inverse of print media, which still receives 19% of advertising investment, despite taking up just 5% of consumers’ time. Advertisers are aware of these statistics and understand the value of mobile ads – but technical obstacles are preventing them from acting.  

There are a number of roadblocks for potential mobile advertisers. These challenges include issues with attribution and tracking, the lack of standardised ad formats and how to create landing pages that will work across multiple devices. Some of these also extend beyond the advertiser’s control, for example network load times and device usability issues. But on the plus side, some of these challenges are quickly being tackled – for example page load times are decreasing, partly due to advances in device speed as well in increases in wireless speeds as the rollout of 4G in Europe and 4G LTE in the US continues.  

One challenge that persists is the issue of designing landing pages that look good across all devices. The smartphone and tablet market is ery fragmented, with a plethora of screen sizes that need to be supported. Even if you were to support only mobile devices from Apple, you would need to modify your landing pages to support the iPad, iPad Mini and two iPhone screen sizes. However, having a fully responsive site can be worth the effort you need to put in. Voices.com reported a 140% increase in transactions from their responsive efforts.

As for tracking and attribution, Google has introduced Estimated Cross-Device Conversions in Adwords to enable advertisers to track actions that start on one device and lead to a conversion on another – such as when a customer does a search on their mobile device but switches to their deskop to complete the purchase. Facebook has also released Custom Audiences to allow advertisers to deliver targeted cross-device ads to users who visit their website or use their mobile application.  

As for mobile ad formats, the Interactive Advertising Bureau (IAB) has been working closely with some of the largest internet companies to ensure the industry guidelines and ad specifications don’t get left behind, through their Mobile Rising Stars program – an initiative to standardise cutting-edge ad formats. Facebook, which isn’t part of this program, has been innovating quickly and testing multiple ad formats in its news feed. It seems it may have stuck gold: Mark Zuckerberg claims the company’s Mobile App Ads have driven 350m downloads from their 1bn a month active mobile users.  

Facebook also launched Ad Network at the end of April, allowing advertisers to push their existing mobile ads – previously only viewable within Facebook – to a network of third-party applications. Their platform includes all their existing (and somewhat controversial) targeting tools, allowing advertisers to reach highly targeted users of third-party apps.  

It’s not just in-app advertising that is taking off, according to a report released earlier this year by Marlin Software, an ad management firm. The US mobile search prices for Google are up by nearly 21% on smartphones and 23% on tablets.  

Innovation on all fronts (from device manufacturers, ad networks and businesses) has helped conversion rates – the percentage of website visitors that purchase – on tablets beat those on conventional computers for the first time ever. Last year conversion rates for smartphones and tablets jumped by 57% and 67% respectively, compared with 36% for computers.  

In the face of these challenges, it may take some time before ad spend matches consumer consumption habits. Once it does, however, the market will be forever altered for advertisers and consumers alike. (By John McLaughlin is a start-up founder and entrepreneur based in Manhattan)

Bunga Perjalanan Sufi Cinta: Candra Malik & Sujiwo Tejo

0

Menapaki Ramadhan, Galeri Indonesia Kaya bersama Candra Malik & Sujiwo Tejo mempersembahkan suatu pertunjukan yang berjudul Bulan Suci yang merupakan akronim dari Bunga Perjalanan Sufi Cinta. Bersama dengan Minladunka Band dan Sufi Tarian, pengunjung dapat menyaksikan penampilan ini di Auditorium Galeri Indonesia Kaya pada 12 Juli 2014 pukul 15.00 WIB.

Pertunjukan ini menghadirkan musik religi dari album Kidung Sufi karya Candra Malik dan perjalanannya keliling daerah dan pesantren dua tahun terakhir. Candra Malik menghadirkan para Sufi dari berbagai latar belakang untuk memberikan pandangan mengenai bagaimana Sufi hidup dan berbaur dalam keseharian masyarakat.  

“Sufi dalam pertunjukan ini merupakan cara untuk memurnikan jiwa dan hati serta mendekatkan diri kepada Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Melalui musik dan tarian yang ditampilkan, saya berharap para penonton di Galeri Indonesia Kaya dapat larut dalam dimensi rohani yang mampu mencerahkan kehidupan spiritual. Semoga penampilan ini dapat mengedukasi serta mendekatkan masyarakat akan pentingnya arti kehidupan melalui Sufi,” ujar Candra Malik.  

Candra Malik menyajikan ilustrasi visual karya Asthie Wendra yang telah mengelola dua konser besar Candra Malik; yaitu Konser Kidung Sufi Sangkala Djiwa di Bandung bersama 8 band papan atas pada penghujung 2012 dan tur konser Ngabuburit 2013 bersama legenda musik Iwan Fals di 11 titik di Jawa Barat pada Ramadhan 2013.  

Bersama Minladunka Band, Candra Malik membawakan lagu-lagu religi, seperti Seluruh Nafas, Hasbunallah, Fatwa Rindu, Allahu Ahad, Samudera Debu, Pulang Bahagia, dan Syahadat Cinta. Sujiwo Tejo akan membawakan dua lagunya berjudul Ingsun dan Rahvana’s Solikoquy. Lagu-lagu religi ini dimainkan dalam instrumentalia musik bambu yang terus dikembangkan oleh Endo Suanda. Etnomusikolog dari Bandung ini juga memberi materi workshop tentang Musik dalam Tradisi Islam Nusantara yang akan menambah pengetahuan para pengunjung Galeri Indonesia Kaya.

Tak hanya itu, Syekh Syamsi Rizki menyampaikan paparan tentang Sufi dan Tari Berputar. Syamsi Rizki adalah Sufi dari Thariqat Naqsabandiy Haqqani yang berba’iat kepada Syekh Hisyam al Kabbani. Beliau belajar menari berputar sebagaimana yang diajarkan oleh Sufi Besar Jalaluddin Rumi dan pertama diekspresikan oleh Abu Bakar Shidq RA.  

Melengkapi pertunjukan ini, pengunjung Galeri Indonesia Kaya juga diajak untuk berdiskusi bersama Sujiwo Tejo. Seniman serbabisa ini akan memaparkan proses kreatif dan relijiusitas seniman dalam menghasilkan suatu karya.  

The Mobile Challenge

0

Oleh Burhan Abe

MALE, salah satu pelopor majalah digital interaktif, sudah memasuki edisi ke 90, dengan jumlah pembaca yang makin membesar, ditandai dengan total download yang sudah menembus 30 juta. Ini, antara lain, karena jumlah pemakai mobile device – yang di dalamnya terdapat smartphone, phablet, dan tablet di Indonesia, juga makin membesar.

Populasi ponsel Android global saat ini sudah menembus 1 miliar, sedangkan iOS mencapai 700 juta. Sedangkan Indonesia menduduki posisi 5 besar dengan pengguna aktif sebanyak 47 juta, atau sekitar 14% dari seluruh total pengguna ponsel.

Sementara itu, riset terbaru Gartner pada Juni 2014 mengungkapkan, pengapalan tablet di seluruh dunia naik menjadi 256 juta unit pada 2014 dibandingkan 2013 sebesar 206 juta unit – dan diprediksi akan naik menjadi 320 juta unit pada 2015. Internet Trends Report melaporkan bahwa orang di dunia saat ini sudah menghabiskan 20% waktunya untuk di ponsel dan tablet, naik dari 12% tahun 2013.

Meskipun demikian, bujet iklan mobile baru 4% dari total anggaran, naik 3% dari tahun lalu. Ini kebalikan dari media cetak, yang masih menerima 19% dari investasi iklan, meskipun mengambil hanya 5% dari waktu konsumen.

Iklan di MALE

Ada sejumlah hambatan bagi pengiklan seluler potensial. Tantangan-tantangan tersebut di antaranya tingkat pelacakan (di Google) yang berbeda-beda, tidak adanya format iklan standar yang sekaligus bisa bekerja di beberapa perangkat, serta jaringan yang tidak merata. Jaringan adalah kendala yang lumayan serius, meski di beberapa negara tantangan ini dengan cepat segera ditangani.  Peningkatan kecepatan nirkabel terus-menerus terjadi, di Eropa, misalnya, dengan peluncuran 4G dan di AS dengan 4G LTE.  

Menurut John McLaughlin, seorang digital entrepreur yang berbasis di Manhattan, salah satu tantangan yang potensial adalah merancang halaman yang terlihat baik di semua perangkat. Smartphone dan tablet tidak mempunyai ukuran yang baku, dengan layar yang beragam. Bahkan perangkat mobiledari Apple, misalnya, terbagi menjadi iPad, iPad Mini, dan serta iPhone dengan berbagai ukuran layar.  

Untuk pelacakan dan atribusi, Google telah memperkenalkan Estimated Cross-Device Conversions in Adwords yang memudahkan pengiklan melacak di berbagai perangkat, baik di mobile maupun di deskop. Facebook juga telah merilis Custom Audiences untuk memungkinkan pengiklan memasang iklan lintas-perangkat yang ditargetkan kepada pengguna yang mengunjungi situs web mereka atau menggunakan aplikasi mobile mereka.  

Adapun format iklan mobile, Interactive Advertising Bureau telah bekerja sama dengan beberapa perusahaan internet terbesar untuk memastikan pedoman industri dan spesifikasi iklan selalu up to date, melalui program Mobile Rising Stars – sebuah inisiatif untuk membakukan format iklan mutakhir. Facebook, yang bukan bagian dari program ini, telah berinovasi dengan cepat dan pengujian beberapa format iklan di news feed-nya. Mark Zuckerberg mengklaim iklan aplikasi mobile yang ada di FB telah diunduh 350 juta hingga 1 miliar per bulan oleh pengguna aktif  via ponsel.  

Facebook juga meluncurkan Ad Network pada akhir April 2014, yang memungkinkan pengiklan untuk mendorong iklan mobile yang sudah ada – yang sebelumnya hanya bisa dilihat dalam Facebook – untuk jaringan aplikasi pihak ketiga. Platform mereka mencakup semua yang sudah ada dan memungkinkan iklan bisa menjangkau sasaran dengan sangat tepat.  

Bukan hanya di aplikasi iklan saja yang lepas landas.  Menurut sebuah laporan yang dirilis awal 2014 oleh Marlin Software, sebuah perusahaan manajemen periklanan, pencarian di Google via Mobile di AS meningkat hampir 21% pada smartphone dan 23% pada tablet.  

Inovasi di semua lini (dari produsen perangkat, jaringan iklan, dan bisnis) telah membantu tingkat konversi – persentase pengunjung website yang membeli – pada tablet mengalahkan komputer konvensional untuk pertama kalinya. Tingkat konversi tahun lalu untuk smartphone dan tablet melonjak masing-masing 57% dan 67%, dibandingkan dengan 36% untuk komputer.

If advertisers can rise to the mobile challenge, the rewards will be huge.

Sumber: Editor’s Note MALE Edisi 90

Revolusi Mental

0

Istilah “Revolusi Mental” sangat populer belakangan ini. Tapi tanpa disadari  sesungguhnya revolusi telah terjadi di ranah kebudayaan populer. Bukan hanya menyangkut kreativitas, tapi juga perangkat keras atau pun lunaknya. Sebutlah di industri musik, perangkatnya selalu mengalami perubahan terus-menerus, dimulai dari piringan hitam, kaset, compact disc (CD), hingga MP3 yang dikenal sebagai musik digital, yang dapat menyimpan data dalam jumlah besar, jangka panjang, dan berjaringan luas.

Sepanjang 1960 hingga 1970-an terjadi revolusi besar-besaran di panggung kebudayaan populer, khususnya di dunia musik, dan hiburan pada umumnya. Kebudayaan populer bukan lagi sekadar hiburan, tapi meliputi beragam bentuk kreativitas, mulai dari pelampiasan rasa cinta hingga yang berbau politik.  

Revolusi besar dianggap sudah berlalu dan terus dinamis. Namun, tanpa disadari, sebenarnya kembali terjadi revolusi budaya populer pada awal 1980-an. Di dunia musik khususnya, perekam yang dikenal saat itu adalah piringan hitam—yang sudah mulai ditinggalkan ketika itu, dan berganti dengan kaset yang lebih kompak dan ringan dibawa.  

Perubahan terjadi ketika Sony merilis CDP-101, peranti yang digunakan untuk membaca compact disc. Kerja sama antara Sony dan Philips kemudian menghadirkan bentuk CD. Kedua produsen elektronik ini sudah sejak pertengahan 1970-an melakukan penelitian mengenai CD. Baru sekitar akhir 1970-an keduanya bekerja sama.  

CD rekaman pertama yang dirilis adalah Alpine Symphony yang digarap oleh Richard Strauss. Kemudian album Living Eyes milik Bee Gees menyusul. Bee Gees memperkenalkan teknologi digital dan albumnya itu melalui BBC lewat program Tomorrow’s World pada 1981. Setahun kemudian, keluarlah CD yang kita kenal saat ini.  

Pada paruh kedua 1982, CDP-101, yang diproduksi oleh Sony, dilempar ke pasar bersamaan dengan CD album milik Billy Joel berjudul 52nd Street. Harga alat ini sangat mahal kala itu. Maka tak semua orang mampu membelinya, hanya kalangan tertentu yang dapat membawanya pulang.  

Tapi revolusi tersebut masih tertutupi oleh keberadaan kaset yang naik kelas saat itu, dengan hadirnya perangkat pemutar portabel Walkman. Kemudian pemutar kaset di mobil juga kian beragam dan kualitasnya semakin baik. CD kala itu harus tersambung dengan sistem audio yang kompleks untuk mendapatkan suara yang baik dan enak didengar. Tentunya perangkat itu tidaklah portabel. Sejak 1970-an, CD sudah berevolusi menjadi media rekaman.  

Format Berubah, Aturan Berganti

Ketika bentuk fisik sudah tak ada, bukan berarti aturan pun lenyap. Ketika kualitas CD semakin baik, tentunya dengan durasi yang lebih panjang, yang disusul dengan pemutarnya yang juga kian bermutu dan murah, lantas CD menjadi pilihan yang terbaik dibanding kaset. Pada awal 1990-an, pendistribusian CD mulai tampak. Perusahaan rekaman mulai menggunakan CD, dan sedikit demi sedikit meninggalkan kaset sebagai media rekaman. Total pada 2000 penjualan CD rekaman mencapai angka 2,5 miliar keping.  

The Éclair as Part of Brand-Wide Reinvention of the Classic French Treat

0

Signature Éclairs at Le Méridien Bali Jimbaran Unlocks Local Flavours for an Elevated Guest Experience

Le Méridien Hotels & Resorts announced the launch of its first-ever global éclair programme, Le Méridien Éclair, in partnership with award-winning pastry chef and new LM100 member, Johnny Iuzzini. As part of the brand’s newest culinary programme, Le Méridien Bali Jimbaran will offer guests the opportunity to indulge in a variety of modern twists on the chic Parisian pastry, with the resort’s French-born executive chef, Hugo Thiebaut, at the helm. Le Méridien Bali Jimbaran will offer three signature flavours – coffee, chocolate and vanilla – as well as unique creations inspired by Indonesia and its seasonal ingredients.

“We are thrilled to present the sweet French treats loved by many, the Éclairs. This mouth-watering treat infused with local-inspired flavours are made available at WaLa and is a delightful companion for the sweet-toothed to go with a cup of coffee or tea”, said Hugo Thiebaut the Executive Chef of Le Méridien Bali Jimbaran  

Throughout the months of June and July guests of Le Méridien Hotels & Resorts will also be encouraged to upload and share their experiences on social media using #LMeclairs.   

Le Méridien hotels around the world will continue to feature a variety of destination-inspired éclairs, offering guests an authentic taste of the local cuisine and culture, from the Maple Bacon Éclair and Texas Honey Pecan Éclair at Le Méridien Dallas by the Galleria to the Dulce de Leche Éclair, infused with coconut, from Le Méridien Panama. Le Méridien Bali Jimbaran will feature the Pandan Mangosteen Éclair and Raspberry & Rosella Flower Éclair.  

WaLa at Le Méridien Bali Jimbaran serves an array of Éclairs daily at only IDR 35,000++ per piece (subject to 21% government tax and service charge). Get 30% discount after 6 p.m.  

Johnny Iuzzini and ‘The Éclair Diaries’

Through Le Méridien’s unique culinary collaboration, Chef Iuzzini will create eight signature éclair recipes exclusively for Le Méridien Hotels & Resorts over the next 12 months, inspired by his global tour of select Le Méridien destinations.   

The Le Méridien Éclair programme comes on the heels of the brand’s recent announcement of a new global partnership with French Bossa Nova collective Nouvelle Vague, who has curated a 24-hour soundtrack for Le Méridien hotels around the world, as well as a new global beverage programme, Le Méridien Sparkling, inspired by the European aperitif culture. 

Together, these programmes elevate the guest experience via the brand’s signature Hub experience, encouraging visitors to unlock their destination through coordinates, culture and cuisine.  

Indonesia’s “Best Sommelier” Award Conferred upon Sheraton Bali Kuta Resorts Sommelier

0

Pamor Budi Kurniawan of Bene Italian Kitchen wins coveted title

Sheraton Bali Kuta Resort is pleased to announce that Bene Italian Kitchen’s manager and sommelier, Pamor Budi Kurniawan, has won the top award in the annual Indonesian Sommelier Association Competition. This prestigious recognition further boosts Bene Italian Kitchen’s growing reputation as the go-to destination restaurant in Bali for authentic Italian cuisine.  

“What a wonderful honor for Pamor Budi and Sheraton Bali Kuta Resort,” said Dario Orsini, General Manager of Sheraton Bali Kuta Resort. “We are proud of Pamor Budi’s accomplishments and, in turn, are delighted to offer guests, visitors and locals alike the best wine and best cuisine at Bene Italian Kitchen.”  

Set against the backdrop of the Indian Ocean with views of the Kuta Beach skyline, Bene Italian Kitchen is a contemporary trattoria with a comfortable and inviting ambience. Whether dining in a group with family or friends, or enjoying a romantic dinner for two, Bene offers three different experiences: including al fresco by the pool; shared family-style on the second level; or on the spectacular rooftop terrace with ocean views. 

Bene has just launched a new menu featuring Top 100 Pastas – 100 different handmade pasta dishes inspired by authentic heritage Italian recipes from just IDR 100K.   

As sommelier at Bene Italian Kitchen, Pamor Budi carefully curates and manages an extensive international wine collection and makes wine and food pairing recommendations for guests. He particularly enjoys expanding and enhancing the collection of Italian wines at Bene – now at 100 different selections to choose from.  

“I became a sommelier because I love sharing my knowledge of wine with our guests and my fellow associates,” said Pamor Budi. “I truly enjoy helping people discover something new and opening the door to new experiences. I enjoy teaching people how they can create perfect pairing of wine with different types of cuisine.”  

Pamor Budi’s favorite Italian wines are Guado Al Tasso from Antinori and Tenuta San Guido Sassicaia from Tuscany, and Luce from Frescobaldi. He also enjoys making fresh Red Sangria at Bene, using Italian red wine – preferably made with Sangiovese grapes from Tuscany – mixed with Italian herbs and cherry tomatoes.   

The 5th annual Indonesian National Sommelier Competition was held in Jakarta at the Jakarta Wine and Cheese Festival with 32 of the country’s top sommeliers competing for the prestigious prize. The sommeliers were put through a rigorous process which included a written test, tasting and service scenarios. Pamor Budi will represent Indonesia at the 2014 South East Asian Sommelier Competition in November in Bangkok.  

Digital Publishing is Revolving

0

Kehadiran digital publishing tak bisa dibendung lagi. Bila tak ikut, kematian perlahan pasti menjelang.

Digitalisasi merambah ke seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk dalam dunia penerbitan. Perlahan tapi pasti, proses digitalisasi media terus berlangsung. Cerita tutupnya majalah konvensional (cetak) bukan hal baru, sementara lahirnya majalah-majalah digital adalah sebuah keniscayaan.

Di AS, seperti dituturkan dalam artikel di Econtentmag.com, yang ditulis oleh Keith Loria, Alliance for Audited Media melaporkan bahwa pada semester pertama 2014 industri media digital menunjukkan sinyal perkembangan yang positif.  

Sementara itu, seperti dilansir dari AdAge.com, PricewaterhouseCoopers melalui Global Entertainment and Media Outlook memperkirakan nilai iklan di media digital akan menanjak tahun ini. Besarnya sekitar 22,4 persen atau US$ 3,9 miliar, dan akan mencapai US$ 7,6 miliar pada 2018. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang terjadi di media cetak.  

Memang, tidak mudah mengubah kebiasaan dari cetak menjadi digital. Sebuah artikel yang ditulis Atlantic.com mengungkapkan bagaimana Time Inc memiliki masalah, dan perubahan platform menjadi digital juga bukan solusi yang dipandang tepat. Permasalahannya tak hanya mengubah dari kertas menjadi file digital, tapi lebih dari itu.  

Mungkin film The Secret Life of Walter Mitty bisa menjadi gambaran betapa move on itu tidak mudah. Dalam film tersebut dituturkan, Walter Mitty adalah pegawai yang memiliki tanggung jawab atas klise film analog yang dikirimkan oleh beberapa fotografer. Permasalahan timbul ketika media itu berubah platform. Selain jasa Walter sudah tidak diperlukan, masih ada beberapa pegawai lain yang akan terkena perampingan. Sebuah perubahan ternyata tidak menguntungkan semua pihak, ada pihak-pihak, yang apa boleh buat, harus dikorbankan.  

Celakanya, perubahan ke arah digital bukan berarti semua persoalan menjadi beres. Setidaknya ada sejumlah PR yang lain yang harus dikerjakan untuk mencapai hasil yang diinginkan. Di internal ada masalah kreativitas, di eksternal ada persaingan yang tidak kalah sengitnya. Belum lagi pasar digital yang memang belum matang, ini yang disebut masa transisi dari konvensional ke digital.    

Dalam masa transisi, media digital adakalanya mengalami fase stagnan. Dalam hal ini, biasanya beberapa orang dengan data yang sangat minim akan langsung menjatuhkan vonis bahwa di dunia digital pun tidak ada masa depan. Benarkah?

Yang jelas, fakta yang tidak bisa dimungkiri adalah, berbagai macam kecanggihan teknologi dimiliki tablet komputer yang dipakai sebagai media. Untuk memenuhi inovasi di ruang digital yang luas, hadir banyak pilihan untuk membuat artikel menjadi lebih menarik. Salah satunya dengan memasukkan multimedia di dalamnya. Dalam hal ini, contoh paling simpel adalah artikel yang dilengkapi video. Dengan adanya fitur tersebut, pada akhirnya artikel yang dibuat memang bukan tulisan belaka.

Marcus Rich, kepala publisher majalah terbesar di Kerajaan Inggris, percaya, dengan meningkatkan inovasi, seperti programmatic advertising dan kecerdasan penggunaan software untuk memberi ruang iklan digital secara lebih efisien, kesempatan akan berkembang lebih baik. Untuk memenuhi kebutuhan itu, workflow yang digunakan pun tentunya berbeda dengan budaya media cetak.  

Belum berhenti di situ, media digital pun bisa menjadi lebih menarik lagi dengan adanya fitur interaktif. Fitur Tap & Choose, Swipe, dan foto 360 derajat, misalnya, menjadikan artikel yang dihadirkan jauh lebih menarik ketimbang sekadar tulisan. Belum lagi adanya directlink yang bisa ditambahkan untuk membantu promo pihak tertentu.  

Beberapa hal tersebut seharusnya bisa menjadi ajang pembuktian kreativitas, baik dari redaksi maupun pemasang iklan. Nah, apalagi jika berbicara mengenai iklan yang ada di area digital, pihak pemasang iklan memiliki keleluasaan menyampaikan pesan dari brand-nya dengan berbagai fitur yang tersedia. Kecanggihan teknologi dalam komputer tablet terhitung memiliki banyak sisi yang lebih menguntungkan ketimbang merugikan.  

Well, whether you like it or not, the digital era has arrived.

Sumber: MALE Zone by Witanto Prasetyo, MALE Edisi 88

The Wine Cellar

0

Wine lounge di Jakarta makin merebak, seiring dengan gaya hidup masyarakat metropolitan yang makin akrab dengan minuman anggur. Salah satu yang baru adalah The Wine Cellar yang berlokasi di  The Residences at  Dharmawangsa, Jalan Brawijaya Raya No. 26, Dharmawangsa.  

Saya dan beberapa teman food blogger, beruntung bisa menjajal beberapa koleksinya, seperti Lanson Ivory Label Demi-Sec, Champagne, France; Bollinger Special Cuvee; Vina Ventisquero Grey Chardonnay, Maipo Valley, Chile; Cape Discovery, Sauvignon Blanc; Purple Angel, Carmenere, Petit Verdot; dan Bellissimo Moscato, NV.   

Dipadukan dengan makanan ringan yang disajikan oleh Chef Vindex Tengker, membuat icip-icip wine di cellar by Dimatique itu menjadi pengalaman yang menyenangkan dalam suasana kemewahan hotel di area Jakarta Selatan itu. (Abe/Photos: Ellyna Tjohnardi)