Trendsetter in Fashion Industry

Bukan sembarang merek, karena setiap langkah mengakusisi merek MAP selalu mempertimbangkan dari segala sisi. Keputusan mengambil Zara, misalnya, ternyata melalui serangkaian riset dan pertimbangan. Zara adalah merek fashion dari Spanyol, tapi namanya tidak asing di kalangan pecinta mode di Indonesia.

Sebelumnya ia ada di Singapura dan Kuala Lumpur, yang pembelinya tak lain adalah orang-orang Indonesia. Maka, begitu masuk Jakarta (tepatnya di Plaza Indonesia dan Mal Pondok Indah 2) Agustus 2005, tak ayal, sambutan konsumen pun luar biasa. Tahun ini sudah mempunyai enam gerai, lima di Jakarta dan satu di Surabaya.

Zara, yang didirikan Amancia Ortega Gaona pada 1975, mampu meraih hati konsumen lantaran memiliki cara kerja yang berbeda dari kebanyakan merek lainnya. Majalah The Economist edisi 18 Juni 2005, menulis bahwa Zara bukannya menciptakan permintaan untuk tren baru pada musim semi atau musim dingin dengan membuat pergelaran busana, melainkan justru mempelajari permintaan para pelanggannya di seluruh jaringan tokonya dan memproduksi desain yang sesuai dengan kebutuhan tersebut dalam waktu yang relatif cepat.

Ada 200 desainer yang bekerja di pusat produksi Zara di Spanyol. Ke-200 orang ini kerap melakukan perjalanan keliling dunia untuk melihat perkembangan tren fashion di negara-negara lain. Upaya ini dilakukan agar bisa bergerak cepat dan lebih dulu menangkap perubahan pasar. Tak mengherankan, Zara menjadi trend setter bagi industri fashion.

Zara di bawah Inditex Group, yang juga membawahi delapan merek lainnya, serta mengelola hampir seratus perusahaan di berbagai negara di seluruh dunia. Selain Zara ada Massimo Dutti yang diceritakan di atas. Kedua merek itu mempunyai perbedaan yang cukup signifikan, jika Zara yang konsep bisnisnya sering disebut freshly baked clothes, maka Massimo tampil lebih klasik.

Koleksi Massimo kebanyakan berwarna hitam, coklat, dan biru. Sedikit lebih mahal, tapi masih jauh di bawah Hugo Boss atau Armani, misalnya. “Kami sengaja mengambil segmen yang tidak terlalu tinggi, disesuaikan dengan konsumen Indonesia,” tutur Ratih.

Langkah-langkah MAP mengambil berbagai merek terkenal internasional ini merupakan bagian dari strategi perusahaan ini dalam mempertahankan positioningnya sebagai peritel kelas atas terdepan. “MAP selalu menjadi yang terdepan dalam bisnis retail kelas atas di Indonesia. Menciptakan standar-standar baru dalam industri ini dan menelurkan konsep retail secara revolusioner,” kata Ratih.

Rahasia suksesnya? “Our unwavering commitment to each brand, marketing acumen, and sheer professionalism!” katanya (Burhan Abe).

Jakarta, Juni 2006

Related Stories

spot_img

Discover

Terus Mau Sampai Kapan Cuma Jadi Penonton? Ini Dua...

Iya, maaf kalau judulnya pedes. Tapi coba tanya diri sendiri:“Usahamu sekarang benar-benar berkembang, atau...

Catatan Seru Buat Kamu yang Lagi Bangun UMKM

Biar Nggak Cuma Posting, Tapi Jualan Beneran Laku Siapa sih yang nggak mau tokonya rame...

Mengubah AI dari Sekadar Tren Jadi Mesin Uang

Catatan untuk Mereka yang Ingin Kerja Lebih Cerdas Kita sedang hidup di masa paling unik...

Rasa yang Membara dan Penuh Elegansi: Cita Rasa Thailand...

Ada kalanya, pengalaman kuliner tak hanya soal rasa, melainkan juga soal suasana, cerita, dan...

Sebuah Gelas, Sebuah Gaya Hidup

Ada dua jenis pria di dunia ini: mereka yang memesan Martini dengan yakin, dan...

Slow Burn: Cerutu, Gaya Hidup, dan Maskulinitas yang Disadari

Cerutu itu bukan sekadar asap atau gaya. Ini soal sikap. Dan Slow Burn menyajikan...

Popular Categories

Comments

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here