Home Blog Page 2

Kopi 4.0: Menyeduh Gaya Hidup, Meneguk Tren Bisnis Baru

0

Dulu, ngopi itu soal bangun pagi atau begadang malam. Kini, secangkir kopi bisa berarti lebih dari itu—simbol gaya hidup, bahasa pergaulan, bahkan titik temu antara budaya, ekonomi, dan teknologi. Inilah yang digambarkan secara menarik dalam Kopi 4.0, buku terbaru karya jurnalis senior dan praktisi media, Burhan Abe.

Buku ini bukan sekadar cerita soal biji Arabika atau Robusta. Lebih dari itu, Kopi 4.0 membongkar lapis demi lapis transformasi dunia kopi di Indonesia, dari sudut pandang sosial, bisnis, hingga digital. Dalam gaya tulis yang renyah dan informatif, pembaca diajak menelusuri bagaimana kopi—yang dulunya identik dengan warung pinggir jalan atau tongkrongan sederhana—bermutasi menjadi fenomena gaya hidup generasi urban.

Donwload di SINI

Dari gerai kecil seperti Tuku yang meledak berkat kopi susu gula aren, sampai Kopi Kenangan yang mengandalkan strategi branding lokal dan ekspansi agresif lewat aplikasi. Dari eksistensi Starbucks yang membawa budaya “third place” ke Indonesia, sampai kemunculan brand internasional seperti %Arabica yang menjual minimalisme dan estetika rasa.

Buku ini merangkum semuanya dengan jernih, lengkap dengan data, insight pasar, dan kisah-kisah menarik di balik cangkir kopi yang kita nikmati hari ini.

Buku ini cocok dibaca oleh siapa saja: pecinta kopi yang ingin tahu lebih dari sekadar rasa, pelaku usaha yang tertarik masuk ke industri F&B, pegiat startup yang ingin belajar dari model bisnis disruptif, hingga mahasiswa dan profesional di bidang pemasaran atau gaya hidup.

Apa yang membuat Kopi 4.0 istimewa adalah kemampuannya menangkap zeitgeist—semangat zaman—dengan pendekatan yang tidak menggurui.

Penulis tidak hanya menyajikan fakta dan angka, tapi juga menghubungkannya dengan realitas sehari-hari: bagaimana budaya ngopi membentuk perilaku konsumen, bagaimana media sosial menciptakan tren minuman viral, hingga bagaimana perubahan pasca-pandemi mempercepat adopsi layanan digital dalam industri kopi.

Buku ini terasa seperti obrolan santai dengan teman yang paham betul dunia kopi, bisnis, dan gaya hidup—dan tahu caranya membuat semuanya relevan untuk dibaca siapa pun.

Di bagian akhir, Kopi 4.0 juga menyajikan lampiran-lampiran yang menarik: mulai dari infografik tren kopi kekinian, peta brand kopi lokal, sampai panduan singkat memilih jenis kopi yang cocok dengan kepribadian atau gaya hidupmu.

Ini bukan sekadar tambahan, tapi bentuk konkret dari semangat buku ini—bahwa memahami dunia kopi hari ini juga berarti memahami dinamika sosial, ekonomi, bahkan psikologis yang membentuknya.

Kopi 4.0 adalah buku yang menyegarkan seperti es kopi susu di siang panas—dan cukup berbobot untuk dinikmati perlahan seperti long black di sore hari. (Reyhan Fabiano)

📘 Download bukunya sekarang di sini: KOPI 4.0

Banyan Tree Mengajak Dunia Mengambil “Sacred Pause” Lewat Kampanye Global #ThisRightNow di Hari Kesehatan Dunia 2025

0

Dari lembah gurun hingga karang tropis, dari kuil sakral hingga gunung bersalju—Banyan Tree menghadirkan pengalaman menyentuh jiwa demi menyambut momen kehadiran yang sejati.

Dalam semangat Global Wellness Day 2025, Banyan Tree, merek utama dari Banyan Group (SGX: B58), meluncurkan kampanye global bertajuk #ThisRightNow—sebuah ajakan untuk jeda sejenak, bernapas dalam, dan kembali terkoneksi dengan apa yang benar-benar penting.

Melalui rangkaian pengalaman imersif di berbagai sanctuary eksotis milik Banyan Tree di seluruh dunia, #ThisRightNow mengajak para pelancong modern untuk menjalani momen dengan penuh kesadaran. Setiap pengalaman dirancang untuk menciptakan koneksi mendalam antara manusia dan alam, terinspirasi dari kearifan lokal, ritme leluhur, dan lanskap bumi yang memukau.

Menghidupkan Momen Hadir di Berbagai Sudut Dunia

Dari Banyan Tree AlUla di Arab Saudi dengan malam penuh bintang di Lembah Ashar, hingga Buahan, a Banyan Tree Escape di Bali yang menghadirkan berkat kuil dan ritual astrologi yang membumi—setiap lokasi menawarkan sacred pause yang berbeda.

  • Banyan Tree Lijiang: Kemegahan sunyi Gunung Salju Jade Dragon menyuguhkan kehadiran yang melampaui kata-kata.
  • Banyan Tree Ringha: Lembah Himalaya memeluk pengunjung dalam ketenangan spiritual yang langka.
  • Banyan Tree Mayakoba: Situs suci Maya menyampaikan bisikan kebijaksanaan dari masa lampau.
  • Banyan Tree Dubai: Jalur hidrotermal Rainforest Trail membuka jalan menuju refleksi batin.
  • Banyan Tree Vabbinfaru: Irama kehidupan bawah laut membangkitkan kesadaran yang lebih dalam.
  • Banyan Tree Phuket dan Krabi: Hutan mangrove dan laguna tenang menciptakan ruang untuk introspeksi dan keheningan pantai yang menyegarkan jiwa.

Baca juga: Wine Not? Segelas Cerita, Secuil Gaya Hidup

Ekosistem Wellbeing Terpadu untuk Pelancong Modern

Sebagai pionir dalam dunia holistic wellbeing, Banyan Tree terus mengembangkan layanan dan fasilitas yang dirancang untuk keseimbangan tubuh, pikiran, dan jiwa. Termasuk di dalamnya:

  • Banyan Tree Connections: Retreat personal untuk dua orang yang menyatukan gerakan, mindfulness, dan ritual keseharian.
  • Wellbeing Sanctuary: Kategori kamar khusus dengan ritual tidur, kuliner sehat, dan praktik harian yang diinspirasi oleh lokasi.
  • Visiting Practitioners Programme: Sesi eksklusif bersama pakar global seperti Laura Hof (metode Wim Hof), Harriet Emily (sound healing), dan Gabrielle Mendoza (restorative yoga).

Wine Not? — Ketika Segelas Anggur Menyimpan Cerita

Apa yang ada di benak Anda saat mendengar kata “wine”? Mewah? Barat banget? Atau mungkin… rumit? Banyak dari kita langsung membayangkan suasana elegan, sommelier yang fasih menyebut nama anggur dengan aksen Prancis, dan suasana yang terkesan jauh dari keseharian. Tapi tunggu dulu—buku Wine Not? karya Burhan Abe datang untuk membalik persepsi itu.

Sebagai jurnalis gaya hidup dan ekonomi yang lama berkecimpung di dunia kuliner dan hospitality, Abe menyajikan pengalaman pribadinya mengenal wine secara perlahan, alami, dan membumi. Bukan lewat sekolah atau kursus mahal, tapi lewat tugas liputan, festival kuliner, dan—yang paling menarik—komunitas kecil pencinta wine di Jakarta.

Buku ini mengalir seperti obrolan hangat di rooftop bar kota besar: ringan, menyenangkan, dan penuh insight. Dari Wine for Asia di Singapura, Wine & Cheese Festival di Jakarta, wine tour ke Australia, sampai pengalaman wine tasting di tengah diplomasi kuliner di Madrid, Spanyol—semuanya diceritakan dengan gaya narasi yang tidak menggurui. Kita juga diajak mengenal tokoh-tokoh di balik industri wine di Indonesia.

Yang membuat buku ini menarik bukan hanya isi ceritanya, tapi juga semangatnya: bahwa wine bukan sekadar budaya asing yang elit dan eksklusif. Wine bisa menjadi bagian dari keseharian kita, asal kita terbuka untuk mencicipi—dan memahami sedikit demi sedikit.

Dapatkan bukunya di SINI ya.

Jangan khawatir kalau kamu belum hapal beda Merlot dan Chardonnay, atau belum pernah mencicipi wine sama sekali. Justru buku ini cocok untuk pembaca seperti itu. Karena seperti kata penulisnya, wine tak perlu dimengerti sepenuhnya untuk bisa dinikmati. (Ely Alvaro Gibran)

Jadi… Wine Not? 🍷

Bermimpi Jadi Unicorn? Mulai dari 3 Buku Ini

0

Ingin membangun startup tapi bingung mulai dari mana? Atau sedang dalam fase tumbuh tapi merasa timmu belum solid? Atau mungkin kamu sedang terjebak dalam kebuntuan dan butuh inspirasi dari mereka yang pernah gagal tapi akhirnya sukses?

Tiga e-book tulisan Burhan Abe ini bisa menjadi panduan praktis dan inspiratif yang kamu butuhkan. Dirancang sebagai trilogi, buku-buku ini membahas setiap tahap dalam perjalanan sebuah startup: dari membangun fondasi yang kokoh, mengembangkan bisnis secara strategis, hingga bertahan dan bangkit dalam menghadapi tantangan.

Mari kita mulai menelusuri satu per satu.

1. Startup 101 – Membangun Fondasi Bisnis dari Nol

📘 Baca di sini

Buku pertama ini adalah titik awal yang solid bagi siapa saja yang ingin memahami dunia startup dari dasar. Di era digital saat ini, membangun bisnis tidak cukup hanya dengan ide keren—yang dibutuhkan adalah fondasi yang kuat dan mindset yang tepat.

Startup 101 membahas fase awal membangun startup: mulai dari bagaimana menemukan dan memvalidasi ide, menyusun rencana bisnis, hingga strategi pendanaan awal. Tak hanya itu, buku ini juga mengupas tentang pentingnya memahami pasar, pelanggan, dan kebutuhan yang ingin dipecahkan oleh startup-mu.

Cocok untuk calon founder, mahasiswa, profesional muda, atau siapa saja yang tengah mempersiapkan langkah awal menuju dunia bisnis digital. Buku ini menyederhanakan konsep-konsep yang kompleks dan menyajikannya dengan gaya yang mudah dicerna.

Highlight:
  • Panduan memulai dari nol, bukan dari “punya modal dulu”
  • Menjawab pertanyaan: apakah ide saya cukup layak untuk dijalankan?
  • Cocok sebagai bacaan awal sebelum pitching ke investor

Gaya Kepemimpinan Efektif: Antara Power, People, dan Playbook

0
Oleh Maureen ASD, Rizkiana Shadewi, & Eileen Rachman

Di dunia kerja, bos keren bukan cuma soal seberapa tinggi jabatan di kartu nama. Tapi tentang seberapa mampu dia bikin timnya nyala terus, target tercapai, dan semua tetap waras.

Nah, gaya kepemimpinan itu ibarat playlist: salah pilih genre bisa bikin suasana jadi hambar atau malah chaos. Tapi kalau pas? Dijamin, tim bisa perform kayak band papan atas—kompak, kreatif, dan produktif.

Kenalan Dulu Sama Enam Gaya Utama

Menurut Hogan Assessment, ada enam gaya kepemimpinan utama yang bisa lo pahami lewat konsep Leader Focus. Nggak ada yang paling benar, tapi yang paling pas buat situasi dan karakter lo.

Bacaan Menarik: Membangun Mesin Uang di Era AI 

  1. Result Leader – Fokusnya? Target, target, dan target! Tipe ini cocok buat yang doyan tantangan dan nggak takut ngasih tekanan.
  2. People Leader – Si empatik. Bikin suasana kerja kayak rumah sendiri. Peduli mood tim dan tahu kapan harus jadi pendengar.
  3. Process Leader – Tipe yang rapi jali dan taat aturan. Cocok di organisasi yang butuh stabilitas dan minim risiko.
  4. Thought Leader – Si pemikir. Penuh ide segar dan strategi. Biasanya yang kayak gini sering dilabeli “visioner”.
  5. Social Leader – Ahli ngegaet orang. Jejaring luas, tahu siapa harus dihubungi buat tiap masalah.
  6. Data Leader – Si logis. Keputusan harus pakai angka. Intuisi? Nanti dulu.

Dua Pemimpin, Dua Cerita: Barra vs Hsieh

Sekarang kita intip dua tokoh beda gaya, tapi sama-sama bikin sejarah: Mary Barra (General Motors) dan Tony Hsieh (Zappos).

Mary Barra datang ke GM saat perusahaan lagi “berdarah-darah”—skandal ignition switch yang fatal. Tapi dia nggak cuma beresin masalah teknis. Dia rombak budaya perusahaan! Aturannya disimplifikasi, komunikasi dibuka, dan semua orang didorong buat speak up. Hasilnya? GM nggak cuma bangkit, tapi juga tumbuh jadi lebih sehat secara kultur.

Tony Hsieh, di sisi lain, bikin Zappos jadi role model happy workplace. Dia bahkan buang sistem hierarki lewat konsep holacracy. Di awal, semua happy. Tapi makin ke sini, sistem ini bikin bingung siapa ngapain. Akhirnya, bisnis pun jadi kurang fokus.

Dari dua cerita ini, kelihatan banget: gaya kepemimpinan harus sesuai konteks. Barra tahu kapan tegas, kapan mendengar. Hsieh terlalu fokus ke vibes, lupa soal struktur.

Baca juga: Nyari Cuan di Internet Sambil Rebahan?

Bikin Startup di 2025, Masih Menarik? Banget—Asal Tahu Celahnya!

0

Setelah dunia startup sempat gonjang-ganjing dengan gelombang PHK dan isu “bakar uang” yang tak lagi seksi, banyak yang mulai skeptis: apakah memulai startup di Indonesia masih relevan?

Jawabannya: masih sangat menarik—kalau kamu bisa baca arah angin dan berani main di zona baru.

Indonesia dengan 270 juta penduduk, jutaan pelaku UMKM, dan pengguna internet yang makin aktif setiap harinya tetap jadi ladang subur untuk ide-ide segar. Tapi kuncinya bukan lagi kecepatan dan “growth hacking”—melainkan solusi nyata, relevansi lokal, dan keberlanjutan.

1. Startup Ramah Lingkungan yang Benar-Benar Berguna

Tren gaya hidup berkelanjutan bukan cuma soal pakai tote bag dan sedotan bambu. Saat ini, makin banyak brand dan individu yang peduli jejak karbon, sisa makanan, hingga pengelolaan limbah rumah tangga.

Bayangkan ada startup lokal yang membantu orang-orang di kota mengubah sisa dapur jadi kompos dengan mudah, atau menghubungkan rumah tangga dengan bank sampah digital. Atau lebih canggih: platform penghitungan dan “offset” karbon pribadi bagi pengguna transportasi daring.

Startup seperti ini bisa kerja sama dengan brand F&B, kampus, bahkan pemkot.

Kenapa ini potensial?

  • ESG jadi standar baru di bisnis
  • Generasi Z makin sadar lingkungan
  • Banyak kota butuh solusi cepat, murah, dan scalable untuk masalah sampah

2. Microlearning Berbasis AI: Belajar Skill Singkat, Anti Ribet

Pernah merasa overwhelm ikut kursus online yang durasinya berjam-jam? Nah, bayangkan ada aplikasi belajar skill praktis (edit video, Excel, desain Canva, hingga belajar AI prompt!) dalam bentuk konten microlearning — durasi 1–5 menit, langsung bisa dipraktikkan.

Dengan bantuan AI, kontennya bisa otomatis menyesuaikan dengan gaya belajar, kecepatan user, bahkan memberi soal latihan yang adaptif.

Startup seperti ini cocok menyasar pelajar, pekerja kantoran, hingga ibu rumah tangga yang pengin upskill tapi waktunya terbatas.

Kenapa ini relevan?

  • Tren short-form learning makin kuat
  • Banyak orang ingin belajar cepat, ringan, dan aplikatif
  • Bisa diintegrasikan dengan sertifikasi digital atau peluang kerja remote

Baca juga: Cuan dari Rumah – 5 Bisnis Digital yang Bisa Kamu Mulai Hari Ini 

Jadi, Harus Mulai dari Mana?

Kalau kamu punya minat di bidang digital, desain, edukasi, atau lingkungan—ini saat yang tepat buat mulai bangun MVP (Minimum Viable Product), uji coba ide di komunitas, dan bikin tim kecil.

Bacaan lebih lanjut, cekidot https://lynk.id/StartUp1

Kuncinya bukan seberapa canggih teknologimu, tapi seberapa tepat solusimu untuk masalah sehari-hari.

Nyari Cuan di Internet: Dari Rebahan Jadi Uang Beneran

Siapa bilang cari duit harus pergi pagi pulang malam, kena macet, terus gaji habis buat ongkos dan makan siang? Sekarang, nyari cuan bisa dilakukan sambil ngopi di rumah, rebahan, atau bahkan sambil traveling. Internet bukan lagi cuma tempat cari hiburan, tapi juga ladang penghasilan yang terbuka buat siapa aja—asal mau belajar dan konsisten.

Kamu mungkin udah sering denger soal orang yang bisa beli motor, gadget, bahkan rumah cuma dari hasil ngonten atau jualan online. Awalnya terdengar kayak mimpi, tapi faktanya makin banyak orang yang menjadikan internet sebagai sumber penghasilan utama. Dan kabar baiknya: kamu juga bisa.

Mari kita mulai dari satu fakta sederhana—duit itu memang tidak jatuh dari langit. Tapi kalau kamu tahu tempat dan caranya, internet bisa jadi hujan rezeki.

Dari Hobi Jadi Profesi

Banyak orang mulai nyari cuan online dari hal yang mereka suka. Misalnya, seseorang yang suka ngedit video, awalnya cuma iseng bikin konten TikTok, lama-lama ditawari jasa editin video orang lain. Ada juga yang hobi masak, mulai rutin posting resep di Instagram, lalu diajak endorse produk dapur. Bahkan yang suka nulis, bisa dapat pemasukan dari blog pribadi atau jadi penulis freelance.

Intinya, dunia digital itu menghargai kreativitas dan konsistensi. Gak harus langsung viral atau punya follower ribuan. Yang penting, kamu punya suara, gaya, dan konten yang relevan. Uang akan mengikuti seiring berkembangnya audiens dan kepercayaan.

Jualan Online: Gak Harus Punya Toko

Kalau kamu punya barang untuk dijual—entah itu produk buatan sendiri, barang titipan, atau jadi reseller—kamu udah bisa mulai bisnis online. Gak perlu sewa toko, cukup modal akun marketplace atau media sosial.

Banyak orang mulai dari skala kecil: jualan baju preloved, hampers buatan tangan, atau makanan ringan. Kunci utamanya ada di foto yang menarik, caption yang menggoda, dan pelayanan yang cepat. Apalagi sekarang sudah ada TikTok Shop, yang bikin pengalaman jualan makin interaktif dan seru.

Jangan remehkan jualan online cuma karena “keliatannya receh”. Dari jualan keripik, banyak yang udah bisa beli rumah. Asal serius, konsisten, dan terus belajar, hasilnya bisa luar biasa.

Jadi Freelancer: Skill Adalah Aset

Kalau kamu punya keahlian tertentu—misalnya desain, menulis, menerjemahkan, coding, atau ngajar—freelancing bisa jadi cara paling cepat buat mulai dapet uang dari internet. Situs seperti Fiverr, Upwork, atau Sribulancer jadi tempat bertemunya klien dari seluruh dunia dengan orang-orang kayak kamu.

Enaknya freelance? Kamu bisa kerja dari mana aja, ngatur waktu sendiri, dan dapat bayaran dalam mata uang asing kalau main di pasar global. Tantangannya: kamu harus bisa jualan diri kamu sendiri—dalam arti profesional, ya. Selengkapnya cek di sini.

Meet Burhan Abe

0

Meet Burhan Abe — a sharp-minded storyteller and digital architect with journalism in his DNA and innovation in his stride. From magazine features to startup playbooks, he’s a creative force bridging the worlds of media, business, and technology. Whether crafting a ESQUIRE-style deep dive, launching Sabako Lab for social-first content, or scripting AI-powered investment tips, he moves fluidly between insight and execution.

He’s the kind of thinker who sees beyond the headline — turning national programs, like UMKM or CSR events, into compelling narratives. Equally at home in a mall café scene or boardroom pitch deck, Burhan is a voice for the modern professional: informed, entrepreneurial, and endlessly curious.

(ChatGPT Version)

The Shady Pig Perkenalkan Konsep Bersantap Baru: Mulai dari Koktail, Baru ke Piring

0

Di balik pintu tersembunyi di Bali, lahirlah cara baru menikmati rasa—di mana setiap tegukan membuka jalan bagi setiap gigitan.

Bagi para penikmat malam Bali, nama The Shady Pig bukanlah sekadar bar. Ia adalah sebuah pengalaman. Suatu ruang tersembunyi yang menyambut Anda dengan cahaya temaram, aroma kayu tua, dan gemuruh musik blues dari pojok ruangan. Kini, tempat ini memperkenalkan babak baru yang menggoda indera: sebuah pengalaman bersantap yang diawali dengan koktail, dan dilanjutkan dengan sajian yang menjadi jawabannya.

Koktail sebagai Pembuka Kisah Rasa

Biasanya, kita memilih minuman untuk melengkapi makanan. Di The Shady Pig, narasinya dibalik. Setiap koktail disajikan terlebih dahulu, dan dari sana, makanan dirancang secara khusus sebagai respons yang harmonis. Kolaborasi antara Chef Lius dan Jonathan, sang Head of Beverage, melahirkan kombinasi yang tak hanya menyatu secara rasa, namun juga dalam konsep dan cerita.

Beberapa pasangan rasa menggunakan bahan dasar yang sama, yang lain bermain dengan tekstur atau menyentuh akar budaya yang seirama. Semuanya berpijak pada filosofi flavour-first—menyusun pengalaman bersantap yang terarah, intens, dan mengejutkan.

Sentuhan Eropa dengan Jiwa Bebas

Menu yang ditawarkan memiliki dasar dari dapur Eropa, terutama Italia dan Prancis, namun dengan karakter khas “Shady”: bebas, berani, dan tak pernah membosankan. Formatnya ringan dan bisa dibagi, cocok untuk momen sosial—mulai dari pinchos ala Spanyol, sandwich artisan, hingga piring kecil yang padat rasa.

Baca juga: Wine Not? Ketika Segelas Anggur Menyimpan Cerita

Semua dirancang untuk dinikmati baik sambil duduk nyaman, berdiri santai, atau berbincang hangat di tengah irama musik yang mengalun.

Beberapa Pasangan yang Mencuri Perhatian:

  • Bloody Pristine dengan Wagyu Beef Tartare – Membawa keseimbangan melalui bahan yang saling beririsan, menciptakan kedalaman rasa yang nyaris intuitif.
  • Cap Town Bees Knees dengan Fish Crudo dan Lada Andaliman – Sebuah eksplorasi rasa yang membawa kita pada petualangan kuliner Batak yang segar dan memikat.

Menyalakan Api Inovasi Kuliner dari Bali

Bagaimana YUKI dan Meimei Menjadi Model Baru Restoran Berbasis Budaya dan Komunitas

Di tengah kompetisi tinggi dan konsumerisme yang kian cepat dalam industri kuliner Bali, dua brand lokal mencuat lewat pendekatan yang tidak biasa: mengakar kuat pada budaya, kepemimpinan kolaboratif, dan pengalaman multisensori yang dikurasi dengan presisi. Mereka adalah YUKI, restoran Jepang bergaya izakaya modern, dan Meimei, barbeque Asia Tenggara kontemporer—keduanya lahir dari visi dua entrepreneur lokal, Rai Sutama dan Dewa Wahyu Bintara.

“Kami tidak hanya membangun restoran. Kami membangun ruang sosial, tempat komunitas dan budaya bisa hidup berdampingan dengan bisnis yang sehat dan berkelanjutan,” – Rai Sutama, Founder YUKI & Meimei

Dari Melbourne ke Bali: Transformasi Visi Bisnis

Rai Sutama membawa pulang lebih dari sekadar pengalaman dari Melbourne—ia membawa pemahaman mendalam tentang hospitality modern dan bagaimana menciptakan “tempat” bukan sekadar “produk.” Setelah sukses memimpin ikon beach-bar Old Man’s di Canggu, ia memulai YUKI di tahun 2021, saat dunia masih dalam ketidakpastian pasca-pandemi.

Baca juga: Wine Not? Ketika Segelas Anggur Menyimpan Cerita

Dengan positioning yang tajam, YUKI menyajikan reinterpretasi izakaya Jepang yang dirancang untuk konsumen global namun berakar pada nilai-nilai lokal. “Kami mengambil konsep makan bersama—yang sangat kental di budaya Jepang dan Bali—dan menjadikannya inti dari pengalaman bersantap,” jelas Rai.

Meimei, yang diluncurkan pada 2024, adalah langkah strategis berikutnya: menghadirkan masakan Asia Tenggara dengan pendekatan modern, desain kontemporer, dan storytelling yang kuat. Kedua brand ini kini menjadi bagian dari kolektif kuliner yang tumbuh organik dan memadukan kreativitas dengan sistem manajemen yang terstruktur.

Rai Sutama dan Dewa Wahyu Bintara

Kepemimpinan Ganda: Kreatif & Operasional

Sukses YUKI dan Meimei tak lepas dari duet kepemimpinan yang saling melengkapi. Jika Rai adalah otak kreatif dan visioner strategis, maka Dewa Wahyu Bintara, Co-Founder & Managing Director, adalah arsitek operasional di balik pengalaman konsumen yang konsisten.