Home Blog Page 66

The Awesome Samosir Island!

0

Jika ada ungkapan “Bali diciptakan Tuhan ketika sedang tersenyum”, hal serupa juga berlaku untuk Pulau Samosir.  Pulau ini sungguh menawarkan dimensi pemandangan fenomenal bagi kedua bola mata manusia.

Pulau samosir terletak di tengah-tengah Danau Toba dan memiliki sisi historikal menakjubkan. Siapa yang tidak kenal dengan Danau Toba, yang merupakan danau terbesar di Indonesia bahkan di Asia Tenggara dan sangat terkenal dengan Legendanya. Danau Toba merupakan danau vulkanik yaitu terbentuk dari letusan gunung merapi.  

Pesona Samosir sebagai daerah tujuan wisata tak diragukan lagi, khususnya bagi wisatawan asing yang umumnya sedang berbulan madu. Samosir memiliki daerah-daerah potensi wisata yang berbasis pemandangan alam, wisata spiritual, wisata budaya, dan perairan Danau Toba. Obyek Wisata ini tersebar di berbagai wilayah Kecamatan.  

Daerah Tuktuk Siadong, Kecamatan Simanindo adalah pusat konsentrasi turis di Pulau Samosir. Untuk menjangkau lokasi ini, akses wisatawan bisa via dermaga Ajibata (Parapat) ke dermaga Tomok (Samosir). Dermaga tersebut adalah melayani ferry pengangkut kendaraan. Sementara dermaga kapal penumpang non-kendaraan bisa melalui dermaga Tiga Raja dan diantar ke dermaga di hotel tempat menginap. Yup, hampir semua resor atau hotel di Tuktuk memiliki dermaga untuk bersandar kapal penumpang.  

Carnival

Wisata Arsitektur & Suara Emas

Bola mata ini seakan dimanjakan dengan indahnya arsitektur Tuhan yang menakjubkan. Pegunungan dan perairan danau yang indah sungguh perpaduan fenomenal dan mengingatkan manusia akan kebesaran-Nya. Sementara itu, racikan cuaca yang sempurna menyapa kulit menjadikan Samosir sebagai magnet tersendiri bagi wisatawan.  

Makam Raja Sidbutar

Sementara itu, arsitektur bangunan khas Batak juga menampilkan dimensi tersendiri. Mulai dari rumah tinggal, rumah ibadah, hingga makam sekali pun. Bagi orang Batak, rumah memang lebih dari sekadar tempat tinggal, tapi juga bangunan yang dirancang penuh filosofi. Rumah tak sekadar tempat berteduh, melainkan cerminan dari konteks sosial budaya dan status sosial di masyarakat. Begitu pula dengan makam sebagai tempat peristirahatan terakhir. Banyak dari makam yang arsitektur bangunannya lebih mewah dari rumah tinggal.  

Salah satu makam tua yang berada di Tomok, Kecamatan Simanindo adalah makam Raja Ompu Tolu Sidabutar yang diyakini telah berusia lebih dari 350 tahun. Menurut cerita penduduk lokal, sang raja telah mempersiapkan makamnya pada waktu masih hidup. Kala itu, ia memanggil tukang pahat yang ada di pulau Samosir. Pembuatan makam dimulai dengan upacara khusus. Setelah itu makam pun dibuat dengan petunjuk Raja Sidabutar. Pada kompleks makam tersebut dibuat makam Raja dan permaisurinya, Boru Damanik.  

Potret budaya Batak masa lalu bisa dinikmati dari Museum Batak yang tersebar di beberapa lokasi di Samosir. Salah satunya di daerah Tomok yang bentuk bangunannya merupakan rumah adat dengan arsitektur khas orisinil gaya Batak. Jika memasuki rumah, kita harus membungkuk yang melambangkan sikap hormat kita sebagai tamu kepada sang tuan rumah. Di dalamnya dipamerkan aneka peralatan rumah tangga dan pernak-pernik kuno peninggalan nenek moyang yang usianya mencapai ratusan tahun.  

Hal yang paling unik di Tanah Batak adalah suara emas masyarakat lokal. Bisa dikatakan “everyone was born to sing!”. Pernyataan ini memang seolah berlebihan, namun inilah yang dirasakan ketika Anda memasuki sebuah pub atau kafe setempat. Sebut saja Roy Pub yang berada di kawasan Tuktuk Siadong.  

Statusisasi

0

SIAPA pun bisa memotret, apalagi di zaman digital dan mobile seperti sekarang ini. Memotret sekarang ini tidak harus profesional, jumlah amatiran malah lebih banyak populasinya, karena begitu banyak tersedia kamera di pasaran, mulai dari SLR, kamera saku, hingga kamera ponsel yang hampir semua orang memilikinya.  

Objek foto sangat beragam, sebutlah pemandangan alam, pertunjukan musik, kegiatan keluarga, aktivitas teman-teman, bahkan makanan yang hendak kita santap.  

Dan yang penting, semua objek itu dengan gampangnya kita posting ke media sosial, baik Twitter, Facebook, atau Instagram yang memang menyediakan ruangnya untuk para anggotanya yang photomaniac, untuk eksistensi diri atau sekadar ”statusisasi” alias meng-update status.     

Tapi jangan sepelekan kamera ponsel yang jumlahnya makin bejibun. Menurut laporan Lyra Research, jumlah ponsel berkamera yang beredar saat ini telah melampui jumlah kamera poket dan DSLR. Kehadiran ponsel dengan sistem operasi Android, iOS, atau Windows Phone, misalnya, memberi pengaruh yang besar terhadap perkembangan fotografi ponsel. Hal itulah yang membuat pengguna smartphonekemudian tertarik menekuni dunia fotografi, tentunya dengan memaksimalkan kemampuan kamera smartphone-nya.    

Mereka kemudian membentuk komunitas-komunitas khusus yang tujuannya untuk memberdayakan diri, sebutlah iPhonesia untuk para iPhoneografer (sebutan untuk fotografer pengguna iPhone) di Indonesia, atau Fotodroid untuk fotografer pengguna kamera ponsel berbasis Android, dan seterusnya.  

Sebenarnya yang memberi pengaruh lainnya terhadap dunia fotografi ponsel adalah aplikasi. Adanya aplikasi tersebut sangat membantu fotografer smartphone mengeksplorasi gambar yang direkamnya. Aplikasi digunakan untuk mengatasi keterbatasan ponsel berkamera dibanding kamera DSLR atau kamera poket. “Karena kebutuhan aplikasi yang kian penting, tidak jarang fotografer smartphone memiliki lebih dari satu aplikasi dalam ponselnya. Saya sendiri memiliki lebih dari 100 aplikasi edit foto,” ujar Hieronimus Gunawan H.P., salah seroang aktivis komunitas iPhonesia (baca MALE Zone – MALE 47).  

Bisa dikatakan kemampuan aplikasi tersebut tidak hanya untuk kebutuhan mengedit. Lebih dari itu, juga bisa digunakan untuk memanipulasi foto, yang sedikit sulit dilakukan saat menggunakan kamera poket atau DSLR. Itu sebabnya, banyak media berani memakai kamera smartphone untuk memproduksi gambar atau pun video untuk kepentingan berita.  

Dengan semakin baiknya kamera di ponsel, khususnya smartphone, faktanya memang memberi perlawanan yang sengit terhadap kamera beneran, kamera  poket dan DSLR. Kualitas foto dari smartphone tidak bisa dipandang sebelah mata lagi. Dengan teknologi kamera smartphoneyang semakin berkembang, tidak ada batasan untuk berbagai jenis fotografi, bahkan untuk kategori terbatas sekalipun.  

Sudah terbayangkah ketika jumlah ponsel berkamera di Indonesia sudah melebihi populasi penduduknya? Dengan 280 juta ponsel, praktis tak ada orang yang berpergian tanpa membawa kamera, dan setiap orang punya kesempatan menempatkan dirinya pada sebuah “galeri” layar kaca.   Layar kaca yang dulu didominasi oleh televisi pun berevolusi dengan hadirnya layar-layar kaca baru: komputer, laptop, tablet, dan smartphone. Semua orang bisa menyebarluaskan berita dan gambar dengan cepat, bahkan memanipulasi. Selamat di era di mana setiap orang, menurut Rhenald Kasali, tiba-tiba sadar tentang dunia pencitraan. (Burhan Abe)

A Taste of Vietnam

0

InterContinental Jakarta MidPlaza takes a great pleasure to announce the next culinary event “A Taste of Vietnam” that will be hosted at Rasa Restaurant. Starting from 15 – 30 September 2013, Rasa Restaurant will present this regional specialties in an extensive buffet presentation for lunch and dinner.  

A costumed Vietnamese hostess will be on hand to welcome the diners as they arrive and escort them to their table, while the service staff inside the buffet island are using the famous Vietnamese hat. The ambience of Vietnam also enhanced by the presence of two Guest Chefs from InterContinental Saigon. Both Chefs will share their culinary heritage by representing Vietnam at its best.  

As Chef de Partie at Market 39, InterContinental Saigon, Mrs. Le Thi Lan Anh and Mr. Nguyen Huu Luc involve in the preparation and production a wide range of Vietnamese food. With their experience in the restaurant and hotel for almost 15 years, they will ensure the authenticity of each dish served and lead this this inspiring promotion to a success.  

This dining initiative celebrates Vietnam’s Culinary diversity where the food is prepared using the principle of Yin and Yang to achieve balance between all ingredients.

Savour some of the highlight dishes such as: Banana blossom salad with roasted duck, Stir fried soft shell crab coated with tamarind sauce, Deep fried prawn wrapper with Vietnamese net skin served with chili fish sauce, Hanoi turmeric pan fried fish with onion and dill, Vietnamese coconut rice and many more.  

“We have chosen Vietnamese cuisine as the first regional specialties promotion in Rasa Restaurant since Vietnamese cuisines has become one of the healthiest cuisines worldwide. They feature a combination of five fundamental taste elements: spicy (metal), sour (wood), bitter (fire), salty (water) and sweet (earth), and we would like to present this unique dining experience at Rasa Restaurant,” said Gary Palm, Executive Chef of InterContinental Jakarta MidPlaza.  

Rasa Restaurant will be pleasing plates with the taste of Vietnam until 30 September 2013 for just Rp 228.000++ per person for lunch and Rp 278.000++ per person for dinner. Table reservations are highly recommended.

Perish or Publish

0

KETIKA berkunjung ke sebuah toko buku di pusat perbelanjaan paling besar di Jakarta, Grand Indonesia, saya sempat terkejut. Pertama, toko buku yang tadinya menempati dua lantai, kini tinggal satu lantai saja. Kedua, dengan mengecilnya ruangan toko, ikut tergusur pula coffee shop favorit saya di situ. Maklum, di venue di lokasi paling mahal di Jakarta dengan pemandangan kota yang luar biasa itu, saya biasa membaca artikel favorit, baik dari buku atau majalah, tapi terutama dari iPad, dengan ditemani secangkir Arabika.  

Tutupnya kafe atau toko buku, mungkin hal yang biasa, pasti ada hitung-hitungan bisnis yang kurang match. Tapi ketika toko buku yang lain di kawasan Senen, yang tadinya luas dan kini hanya menyisakan 1,5 lantai, mulai timbul kecurigaan, apakah produk buku (cetak) mulai ditinggalkan pembacanya?  

Di era internet, informasi kini makin mudah didapat, baik dari PC, laptop, bahkan ponsel cerdas. Merebaknya PC tablet yang makin ringkas dan praktis membuat orang lebih suka membaca melalui sabak digital tersebut ketimbang buku, majalah, tabloid, atau koran. Yang menarik, harga jual bacaan versi digital ini lebih murah ketimbang versi cetak.  

Semua fakta tadi, kembali menerbitkan pertanyaan yang lebih fundamental, apakah era cetak segera berakhir?  

Pada kenyataannya, tiras media cetak saat ini tidak beranjak naik, bahkan ada kecenderungan menurun. Di AS selama lima tahun terakhir, sejumlah perusahaan media cetak mengalami perubahan secara dramatis, entah itu berhenti terbit atau berganti platform digital. Sebutlah Philadelphia Inquirer yang bangkrut, atau The Minneapolis Star dan Seattle Post Intelligencer yang menghentikan produksi cetaknya dan menggantinya dalam versi digital.  

Yang mutakhir, apalagi kalau bukan Washington Post, yang semula dimiliki keluarga Graham selama empat generasi, takluk kepada Jeff Bezos. CEO Amazon ini mengucurkankan dana US$ 250 juta (sekitar Rp 2,57 triliun) untuk mendapatkan salah satu harian paling berpengaruh di AS itu.  

Di tangan Jeff Bezos, pasti akan ada perubahan di tubuh Washington Post dalam beberapa tahun ke depan, yang erat kaitannya dengan perkembangan internet. Maklum, Bezos salah satu pelopor di industri TI. Di Seattle ia berhasil menghadirkan Kindle, perangkat untuk membaca buku secara digital. Kelak bisnis e-book yang dikembangkannya pun semakin membesar seiring dengan membesarnya Amazon.com, bisnis perdagangan online yang sangat sukses.  

Bezos meyakini bahwa koran cepat atau lambat akan punah. “Dalam dua dekade mendatang tidak akan ada lagi media cetak, mungkin akan menjadi barang mewah di sejumlah hotel yang menawarkannya sebagai layanan istimewa,” ujarnya dalam sebuah wawancara di Berliner-Zeitung, tahun lalu.  

Tampaknya sudah bisa ditebak, perubahan apa yang akan dilakukan Bezos terhadap Washington Postkelak, salah satunya adalah menjadikan koran prestisius itu memiliki pasar digital yang lebih kuat, terutama di tablet.  

Revolusi media memang sedang berlangsung. Hukum besi media masih berlaku, perish or publish. Jika tidak ingin tergilas oleh zaman, ada baiknya mendengar pendapat tokoh pers kawakan Amir Effendi Siregar. “Sudah saatnya penerbit media cetak menyesuaikan diri dan memanfaatkan perkembangan teknologi, kawin dengan media online dan digital, tumbuh dan berkembang bersama melalui langkah kreatif dan inovatif,” ujar Ketua Dewan Pimpinan SPS Pusat dan Dosen Komunikasi, UII, Yogyakarta itu. (Burhan Abe)

Rafael Correa

0

PRESIDEN Ekuador Rafael Correa mengusulkan agar surat kabar di negaranya diterbitkan dalam bentuk digital saja untuk menghemat kertas dan mengurangi penebangan pohon. Terlepas dari masalah pribadi, hubungannya yang renggang dengan surat kabar milik kelompok oposisi Ekuador, pesan Correa di Twitter (19 Agustus 2013) itu sebetulnya tidak mengejutkan.  

Bicara tentang pelestarian lingkungan hidup, tidak terlepas dari pohon, yang salah satu manfaatnya selain berfungsi sebagai paru-paru kota, juga sebagai bahan dasar kertas. Dengan mengonsumsi banyak kertas otomatis ikut mempercepat deforestasi (pengurangan hutan). Sebuah fakta menunjukkan, 1 ton kertas ternyata membutuhkan 13 batang pohon, 400 liter BBM, 4100 Kwh listrik, dan 31.780 liter air. Jika koran dan majalah membutuhkan berton-ton kertas setiap hari untuk penerbitannya berapa pohon yang harus kita tebang?     

Digitalisasi adalah pengurangan penggunaan kertas. Surat-menyurat tidak perlu pakai kertas, tapi cukup via email, atau yang lebih personal via SMS, BBM, WhatsApp, WeChat, Hangout, atau aplikasi chatting yang lain di komputer dan ponsel. Media pun, majalah, tabloid, dan surat kabar, seharusnya tidak memerlukan kertas lagi, karena sudah tersedia iPad dan PC tablet.   

Lalu, akan matikah media cetak? Boleh saja ada beragam jawaban, tergantung dari sudut mana memandangnya. Tapi yang jelas, saat dunia terus bergerak menuju digitalisasi. Kehidupan kita semakin dipenuhi oleh hal-hal yang serba digital – mulai dari pemakaian komputer, tablet, ponsel, hingga peralatan rumah tangga.  

Revolusi digital sejatinya tidak lahir dari imbauan Presiden Ekuador Rafael Correa, tapi lebih banyak dari perubahan gaya hidup manusia yang semakin serba digital. Pada akhirnya, demikian analisis Yodhia Antariksa, revolusi digital bukan lahir dari gemuruh sorak sorai massa, tapi datang dari sekeping ponsel pintar atau mini tablet. ”Screen mini yang hanya berukuran 3 atau 5 inch telah mengubah secara dramatis gaya hidup jutaan umat manusia di seluruh penjuru jagat,” tulisnya di detikinet.  

Pada awal 1995, dunia memang bergerak ke arah digital secara masif. Era itu kemudian melahirkan ‘digital generation’ atau mereka yang sejak remaja sudah fasih dengan dunia digital dan online. Sementara generasi yang lahir setelah tahun 1995 disebut sebagai ‘digital natives’ atau mereka yang sejak usia 3 tahun sudah biasa pencet-pencet iPad atau tablet, dan usia 5 tahun sudah akrab dengan Google dan YouTube.  

Menurut Yodhia, generasi digital yang terus membesar juga melahirkan digital lifestyle, pola hidup yang bertumpu pada interaksi digital. Merebaknya gaya hidup digital itu pada akhirnya juga melahirkan sejumlah implikasi serius, salah satunya menyurutnya media atau buku yang berbasis cetak. Tutupnya mingguan Newsweek, dan pengelolanya memutuskan menerbitkan edisi digital akhir 2012 lalu, adalah salah satu contoh korban gelombang digitalisasi informasi.  

Yup, pelan namun pasti, gelombang digital tersebut pasti akan sampai ke Indonesia. Penerbit media di Tanah Air mau tidak mau harus melakukan transformasi digital kalau ingin tetap survive dan tidak ditinggalkan pembacanya. Welcome to digital world, everyone is invited.  (Burhan Abe)

Digital Extras

0

MAJALAH digital interaktif, meski tergolong baru, ternyata cepat menarik perhatian. Berbagai studi menunjukkan bahwa platform baru ini mempunyai berbagai kelebihan, baik dari sisi pembaca maupun pengiklan, jika dibandingkan dengan media yang lain. Setidaknya itulah kesimpulan yang diperoleh Josh Gordon, pendiri Smarter Media Sales, dalam sebuah survei yang bertajuk The Case of Advertising in Interactive Digital Magazines.  

Survei ini melibatkan 5.612 kuesioner yang diambil dari pelanggan majalah-majalah digital: Grand, HipCompass Escapes, HorseLink, Outside Go!, PopSci Genius Guide, Premier Guitar, VIVmag, dan Winding Road. Sponsor survei ini adalah Nxtbook Media and VIVmag dari kelompok publisher Zinio.   Menurut survei tersebut, 70 persen pembaca tidak merasa terganggu dengan adanya iklan yang muncul di majalah digital interaktif ketimbang di website. Selebihnya, 30 persen masih menerima gangguan iklan display di website.  

Jika website menghasilkan lebih banyak impressions, maka edisi digital memberikan pembaca sebuah pengalaman yang menarik. Julian Lloyd Evans, managing director periklanan Dennis Publishing (juga publisher majalah online Monkey) menuturkan bahwa secara rata-rata, majalah interaktif dilihat pembaca sekitar 20-30 menit, sementara iklan di website dilirik pembaca tak lebih dari 8-9 menit.  

Sebanyak 71 persen responden mengatakan bahwa iklan di edisi digital mempunyai tingkat gangguan yang lebih sedikit ketimbang di website – bahkan 79 persen mengatakan iklan di media digital lebih kredibel.  

 Lebih rinci tentang iklan display di majalah digital jika dibandingkan dengan iklan banner di website, sebagian besar mengatakan: sedikit gangguan (71%), mudah dibaca (80%), lebih otoritatif (78%), lebih kredibel (79%), lebih dipercaya (79%), lebih menarik (82%), dan lebih informatif (81%).  

Survei tersebut juga mendapatkan bahwa responden iklan di majalah digital lebih menarik dan helpful dibanding di media elektronik yang lain, yakni: majalah digital (63,2%), televisi (53,8%), radio (34,8%), email (22,4%), email newsletters (20,6%), website banner ads (16,4%), website pop-up ads (2,3%), dan ponsel (1,9%).  

Menurut survei tersebut, 82 persen responden mengatakan bahwa lebih menarik membaca di majalah digital ketimbang di halaman website dengan konten yang sama. Secara keseluruhan, pembaca memilih majalah digital di atas website, karena bisa mengeksplorasi digital extras, seperti video, foto yang lebih banyak, slide shows, audio, dan flash animation. Bagaimana dengan Anda? (Burhan Abe)

Rasa Restaurant

0

International Cuisine and Authentic Asian Specialties

InterContinental Jakarta MidPlaza is delighted to unveil its new restaurant following the completion of an aesthetic refurbishment project. This was carried out over the course of several months to minimize guest disturbance. The newly renamed Rasa, which means taste in the Indonesian language, replaces Java as the hotel’s all-day dining restaurant. It is a contemporary space featuring elaborate columns and artistic wall panels in a refreshing interpretation of local design. Stylish seating options extend out to a terraced environment with relaxing views over the swimming pool.  

Mr. Rommy Ardian, the owner of Kalandara Design Studio is the architect responsible for designing Rasa Restaurant’s decor. With a modern, simple, clean and luxury concept, the restaurant is influenced by traditional Javanese touches seen in the lattice panel, in which Javanese Batik patterns are adopted as well as from carvings incorporated in the columns which are taken from Indonesian traditional architecture.   Most of the material used in the restaurant is from Sungkai wood. The large reception table is crafted and designed using recycled wood while inside the family sized long wooden table features custom glass color bullets enhancing its overall design.  

Rasa incorporates an open-plan kitchen with live cooking stations for a greater interaction between guests and our team of creative chefs. An island kitchen, as central focus point of the restaurant, was created using white marble elements.  

As the Executive Chef for InterContinental Jakarta Midplaza, Chef Gary Palm has gone above and beyond by creating a menu that is focused on using only fresh ingredients which are prepared a la minute by his talented culinary staff. Among his favorites, Chef Gary and his team recommend Rasa duck tacos, Lontong kari ayam, Sanma with garlic bulbs, red chilli and corriander, BBQ wagyu beef InterContinental and last but not least a warm triple chocolate brownie.  

Rasa restaurant is defined by its daily buffet of international cuisine and authentic Asian specialties displayed with a modern twist. There is a distinct emphasis on market-fresh ingredients, seasonal delicacies and themed dining events in accordance to the holiday calendar. The menu has anticipated the various culinary preferences from its International guests with dishes cooked to order from a hot wok, open grill and tandoor oven. A Japanese counter prepares sushi, sashimi and other bite-sized luxuries. Local cuisine is highlighted with favourite dishes from around the Indonesian archipelago.  

Buffet selections are rotated on a regular basis and on any given day guests can expect food items from the West as well as India, China, South East Asia and beyond. High-end meats and seafood choices include wagyu beef, lamb chops, veal, red snapper, salmon, seabass and more. All this is complemented by separate stations for fresh juices, appetizers, soups, homebaked breads, croissants along with a separate salad as well as dessert bars. The knowledgeable service staff guides the guests through the buffet and assists the guests with their choices.  

In addition to Rasa, the Pool Bar has also been given a brand new look and this laid-back outdoor area comes to life as a family-friendly extension of Rasa restaurant hosting a lavish BBQ, part of Rasa’s famous dinners as well as Sunday brunch. Guests are welcome to come and join a fun party ambience by the pool with summer-inspired cocktails and upbeat lounge music. Appetites are satisfied with a high quality selection of assorted meats and seafood specialties grilled to perfection accompanied by simple salads and sweet treats.  

A special international pool menu was created among which both the InterContinental club sandwich as well as 10.5 oz Dallas Wagyu beef burger are favorites and not to be missed.   The Pool Bar also provides an alternative spot for nightly events during the week and is the perfect setting for informal corporate gatherings of a social kind. Meeting delegates can unwind in comfort at the end of the business day over casual drinks and a BBQ by the pool.  

“This refurbishment represents an exciting new era at InterContinental Jakarta MidPlaza and elevates our range of culinary services. Rasa has adopted a market-fresh approach to all-day dining with an impressive selection of dishes that transcend cultural boundaries. And families will certainly enjoy their weekends now more than ever at the Pool Bar. The hotel proudly caters to the needs of everyone from in-house guests and apartment residents to business executives, city socialites and parents with children,” says General Manager, Mr. Hendrik Eising.

Idul Fitri 1434 H

0

To err is human. To forgive, divine. – Alexander Pope.

Itulah salah satu brodcast yang masuk ke BlackBerry saya sehubungan dengan datangnya Idul Fitri 1434 H. Sangat indah dan puitis.  

Memang, menjelang Lebaran dan beberapa hari sesudahnya tentu, banyak BBM ucapan Idul Fitri disertai dengan permohonan maaf lahir dan batin. Tak sedikit  yang puitis, tapi banyak juga yang lucu. Baik kreasi sendiri maupun copas (copy & paste) dari orang lain.  

Tapi apa pun, sungguh sangat menyenangkan bisa terkoneksi dengan sanak, saudara, teman, atau kolega via mobile technology. Beranjangsana dan bersilaturahmi memang tidak selalu bertemu langsung secara fisik. Keberadaan ponsel dan komputer – terutama via media sosial, justru semakin memperkuat konektivitas antar manusia tanpa ada halangan jarak dan waktu.  

Tapi yang jelas, bagi umat Islam di Indonesia, Idul Fitri adalah hari raya utama, momen penting setahun sekali untuk berkumpul kembali bersama keluarga dan saling bermaaf-maafan.

Momen Idul Fitri, hanya di Indonesia, sering ditandai dengan adanya mudik, pulang ke kampung halaman setelah bekerja setahun penuh di Jakarta dan kota-kota besar lainnya.

Budaya mudik rakyat Indonesia boleh jadi mirip dengan yang terjadi pada orang-orang Amerika menjelang Thanks Giving Day. Semua orang merasakan dorongan kuat untuk bertemu keluarga mereka masing-masing. Dalam suasana keakraban dan kekeluargaan itu hikmah Idul Fitri (juga Thanks Giving Day) dapat dirasakan secara mendalam.  

Idul Fitri, demikian isi ceramah para kyai, identik dengan kebahagiaan dan kemenangan, karena telah menunaikan ibadah puasa sebulan penuh. Dinamakan Idul Fitri, karena manusia pada hari ini kembali ke fithrah, laksana seorang bayi yang baru keluar dari rahim yang tidak mempunyai salah dan dosa.

Dan, momen Idul Fitri ini akan sempurna tatkala terhapusnya dosa manusia kepada Sang Khalik diikuti dengan terhapusnya dosa kita kepada sesama manusia, yakni dengan jalan memohon maaf dan memaafkan orang lain.  

Selamat Idul Fitri 1434 H. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin. (Burhan Abe)

Potensi Iklan Digital

0

PERTUMBUHAN media digital makin mengesankan. Setelah mayoritas pembaca media cetak beralih ke online dan digital, kini giliran kue iklannya di sektor ini yang mulai membesar. Sejumlah analis menyebutkan bahwa perusahaan-perusahaan dan agen-agen periklanan mulai banyak yang melirik ke media digital. Bahkan perusahaan komunikasi global Zenith Optimedia, memaparkan bahwa pertumbuhan global untuk iklan di media internet dalam kurun waktu 2012-2015 diprediksi akan melaju paling signifikan.  

Dengan kontribusi lebih dari US$ 46 juta tahun ini, media internet telah menjadi penyumbang terbesar dalam pertumbuhan belanja iklan global, melesat di atas pertumbuhan iklan televisi (US$ 25,2 juta), koran (US$ 6,4 juta), media luar-ruang (US$ 5,5 juta), majalah (US$ 3 juta), dan radio (US$ 2,6 juta).  

Bagaimana dengan Indonesia? Belum ada angka khusus untuk iklan di media internet dalam riset tersebut, tapi secara umum Indonesia potensi periklanannya akan bertumbuh secara signifikan. Kontribusi pertumbuhan belanja iklan Indonesia pada kurun waktu 2012 hingga 2015 diprediksi menduduki peringkat keempat di dunia atau sekitar US$ 4,1 juta – di bawah AS (US$ 21,1 juta), Tiongkok (US$ 13 juta), Argentina (US$ 4,8 juta), dan Rusia (US$3 ,28 juta).    

Yang jelas, menurut praktisi komunikasi Indira Abidin, Manager Direktur Fortune PR, sektor digital sudah mulai mendapat perhatian penting, bahkan pertumbuhan iklannya masih akan terus meroket hingga 2015 mendatang.  

Ini bisa dipahami, mengiklan di internet jauh lebih akurat, karena dapat melacak kebiasaan para pengguna internet. Sementara para pengiklan mengakui, media digital sangat efektif untuk membangun brand dan mempengaruhi konsumen dalam pembelian produk.  

Indira juga memperkirakan, mobile advertising, iklan internet yang dikirim ke smartphone dan tablet, akan tumbuh lima kali lipat lebih cepat dibandingkan iklan internet melalui desktop/laptop. “Kami memperkirakan iklan mobile akan tumbuh 67 persen pada 2013, dan tumbuh rata-rata 51 persen pada 2012-2015,” tukasnya.  

Lonjakan iklan mobile ini didorong oleh meningkatnya penjualan smartphone dan tablet. Pengeluaran global untuk iklan mobile mencapai US$ 8,6 miliar pada 2012 atau sekitar 9,8 persen dari total belanja iklan internet dan 1,8 persen belanja iklan semua media.  

Pada 2015, diperkirakan belanja iklan di ponsel dan tablet  mencapai US$ 29,4 miliar atau menjadi 21,9 persen belanja iklan internet dan 6,1 persen total belanja iklan. “Sebaliknya, kami memperkirakan iklan internet desktop hanya tumbuh 10 persen per tahun,” ujar peraih Certificate of Excellence untuk kategori Social Education & Philanthropy: Corporate Social Responsibility (CSR) Campaign of the Year itu.  

Yup! Berbagai riset menyebutkan, investasi digital, tidak bisa tidak, harus dikuasai, digali dan dikembangkan. Sebab di masa-masa yang akan datang, media inilah yang akan terus naik daun dan menjadi ‘nyawa’ bagi periklanan dunia dan Indonesia. (Burhan Abe)

Digital Interactive Magazine

0

Cover bertajuk #lastprintissue, Newsweek pada Desember 2012 mengakhiri edisi cetaknya untuk beralih ke edisi digital. Edisi cetak Newsweek yang pernah mencapai tiras 3 juta eksemplar perlahan-lahan mulai mengecil sehingga tak mampu lagi untuk menopang biaya produksi. Berhentinya edisi cetak dari media yang bermarkas di Manhattan, New York dan telah berumur lebih dari 80 tahun ini menambah daftar panjang print media yang tumbang di daratan Amerika karena pertumbuhan dan peralihan pembaca online.  

Para kampiun media di Indonesia, sudah cukup lama mewaspadai kecenderungan seperti ini dan menyiapkan langkah peralihan dari print ke digital (online). Rata-rata media massa mainstream saat ini telah mempunyai situs berita online dan juga menerbitkan publikasi cetaknya dalam bentuk digital. Surat kabar harian kini rata-rata sudah mempunyai versi e-paper yang bisa diakses gratis maupun dengan cara berlangganan.  

Detik.com salah satu pelopor media online di Indonesia yang kini diambil alih oleh kelompok Trans Corp, bergerak lebih cepat ketimbang yang lainnya. Detik.com telah menerbitkan dua majalah yang murni dipublikasikan dalam versi digital. Yang pertama adalah Majalah Detik yang lahir 15 Desember 2011 dan tak sampai satu tahun kemudian terbit MALE (Mata Lelaki) pada 2 November 2012.  

Saya sendiri sempat men-download dan membaca Majalah Detik beberapa edisi, namun karena isinya tak jauh berbeda dengan berita-berita online lainnya maka kebiasaan men-download-nya tak saya teruskan lagi. Dan secara tak sengaja ketika menyambangi detik.com saya melihat cover majalah Mata Lelaki yang ternyata sudah terbit 12 edisi. Segera saya download dalam versi PDF di komputer saya.  

Halaman demi halaman majalah yang diklaim oleh penerbitnya sebagai Digital Interactive Media itu saya lahap, namun dalam versi pdf ternyata kurang maksimal, link videonya misalnya tidak bisa diputar. Kemungkinan karena sofware yang ada di PC saya tidak kompatibel. Oleh karenanya dua edisi terakhir saya download melalui applikasi MALE yang saya pasang di Galaxy Note 10.1. Dan dengan hasil download-an MALE terasa digdaya dibaca dengan ezPDF Readers Pro. Semua navigasi yang ada di user guide bisa digunakan secara maksimal.  

Tak rugi rasanya membaca MALE di tengah minimnya majalah laki-laki dewasa yang beredar di tanah air. MALE mengisi ceruk yang selama ini mungkin hanya diisi oleh Matra (almarhum, pen) dan FHM yang terbit dalam edisi cetak dan berharga puluhan ribu rupiah. Saya sendiri sudah cukup lama tak lagi membeli majalah laki-laki dewasa lantaran tak selalu tersedia di lapak-lapak. Namun kini menjadi mudah dengan hadirnya MALE, cukup sekali sentuh andai jaringan tidak lelet tak sampai 5 menit lembar demi lembar segera bisa saya nikmati.  

Dan yang penting meski gratisan, apa yang disajikan dalam MALE bukanlah bahan kacangan. Entah bagaimana mereka bisa memberikan layanan gratis dengan isi yang memuaskan, saya tak memikirkan hal itu karena memang bukan urusan saya. Urusan saya sebagai konsumen media adalah berharap akan lahirnya media-media kategori Digital Interactive Magazine (Newspaper) yang syukur-syukur bisa ikut-ikutan gratis.      

Kenapa kok saya ngarep gratis tapi bermutu? Fakta sekarang ini media-media mainstream dikuasai oleh kelompok besar yang melakukan konvergensi dalam penerbitannya. Dengan cengkeraman pengaruhnya maka kelompok media-media besar ini mampu meraup pendapatan dari iklan. Mereka ini bisa sekali mendayung, dua tiga pulau terlampaui. Sekali melakukan reportase atau pembuatan program maka hasilnya bisa disiarkan, dipublikasikan dalam berbagai saluran media. Jadi kalau ongkos produksi dan keuntungan sudah bisa dipenuhi kenapa pula mesti mengutip ‘recehan’ dari konsumen medianya.  

Perubahan memang tidak selalu menghasilkan dampak baik terutama terhadap media-media yang mapan dan tak mampu menyesuaikan diri dengan jaman. Tanda-tanda kematian media cetak di Indonesia mungkin masih jauh, namun dengan semakin bertumbuhnya pemakai smartphone, manusia-manusia online masa kepunahan media cetak pasti akan tiba.

Maka apa yang dilakukan oleh detik.com dengan majalah detik dan MALE patut dijadikan batu penjuru yang layak untuk diikuti sebagai langkah antisipasi jika ingin terus bertahan dalam belantara layanan informasi. (Yustinus Sapto Hardjanto)  

Pondok Wiraguna, 11 Februari 2012