Home Blog Page 78

Data Package War

0

Agus Majidi sighed with relief when he finally got his own Internet connection. As a university student, he was pleased that he would no longer have to go to an internet kiosk (warnet) but could now use a CDMA modem, Venus VT-12, to surf the Net from his lodgings. By paying Rp 375,000, he was satisfied with the modem manufactured by Fren, which has a speed of 230.4 Kbps – faster than the cable modem and Wi-Fi (64 Kbps) or PSTN modem (56 Kbps).

Today, not only Fren but also other operators are involved in the data communication business. Although some companies do not find the business too profitable, it is growing at a rapid pace.

Smart Telecom, for example, sells cell phones that can also function as Internet modems with a subsidized subscription rate. However, Smart Telecom still finds it possible to make money with its subscription rate. “Our records show a significant increase in sales,” the West Java Regional Commercial head of PT Sinar Mas Telecommunication (Smart), Jabar Antony Pandapotan, told detikcom.

As a result, data usage has shown an increasing trend over the past year. However, he admits that at peak hours, such as lunch or dinner time, the network experiences some connection trouble or delays at several locations. That is the natural tendency of wireless connections, either CDMA or even GSM, in that the network becomes congested during peak hours when there are many users.

Information data communication is a process of sending and receiving data and information from two or more devices, such as computers, laptops, printers or other communication devices, which are connected within a network, both either on local or on a wider network, like the Internet.

Generally, there are two types of data communication: terrestrial infrastructure and satellite. Terrestrial infrastructure uses cable or wireless for access. This type involves a large investment. Some of the services included in terrestrial connection are: Direct Data Connection (SDL), Frame Relay, VPN Multi-Service and Data Package Communication Connection (SKDP).

Meanwhile, data communication via satellite usually covers a larger area and can cover areas where it is not possible to construct terrestrial infrastructure, although it takes longer for the communication process. The weakness of the satellite type is disturbance from sun radiation (sun outage). The worst disturbance occurs once every 11 years.

Photo by Rasheed Kemy on Unsplash

The main problem with both types of data communication is limited bandwidth, which of course can be expanded. Access through satellite usually experiences a propagation delays so terrestrial infrastructure has to be built to strengthen it.

With all the plus and minus points, all operators offer various attractive packages. Telkomsel, for instance, offers a package called Telkomsel Flash. Using a slogan offering unlimited use, customers are rushing to switch to the Telkomsel package, which has a daringly low rate, starting from Rp 125,000 with data access up to 256 kbps for the first 3 GB. The balance of the “unlimited” offer is up to 64 kbps.

Hotel Favorit – National Geographic Traveler

0

PERJALANAN wisata dan bisnis telah melahirkan sebuah kebutuhan mendasar bernama akomodasi komersial, yang diwadahi dalam bentuk resor dan hotel berbagai kelas. Terminologi berangkat dari tersedianya tempat hunian sementara dengan fasilitas tertentu sesuai stándar yang diinginkan. Dalam kamus para pejalan independen, keinginan itu dituangkan dalam kalimat pendek yang terdengar puitis; a home away from home.

Artinya, penyedia akomodasi perlu menyediakan tempat tinggal yang mampu membuat pengguna kerasan dan ingin kembali lagi karena berbagai faktor. Mulai lokasi, layanan, kelengkapan fasilitas sampai keramahan petugas atau hal-hal bersifat non-teknis.

Badan Pusat Statistik (BPS) sebagaimana dikutip Pusformas Departemen Kebudayaan dan Pariwisata menyebut, Tingkat Penghunian Kamar (TPK) atau okupansi hotel-hotel di 14 provinsi di Indonesia pada Desember 2008 mencapai rata-rata 49,69%. Angka ini mencakup hotel bintang satu sampai lima, dengan perolehan terbesar ada pada hotel bintang tiga (48,35%) pada kategori di bawah hotel bintang empat dan lima, dan hotel bintang empat (55,42%) pada kategori hotel bintang empat dan lima. Tingkat okupansinya sendiri berfokus di tiga provinsi: Bali (63,23%), DI Yogyakarta (57,38%) dan Sumatra Barat (55,40%).

Pergerakan angka yang menunjukkan grafik menaik ini merupakan hal yang patut disambut baik. Apalagi bila diiringi dengan pertimbuhan tingkat okupansi di berbagai provinsi lain di seluruh Indonesia, berangkat dari pemahaman bahwa pariwisata Tanah Air merupakan salah satu komoditi penting.

Lepas dari konteks pengertian hotel berbintang atau pun kelas melati seperti yang diklasifikasikan Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI), National Geographic Traveler menggelar sebuah serasehan untuk mengungkap kriteria dan sisik-melik kondisi sebuah tempat bermalam yang diinginkan para pejalan. Termasuk keputusan memberi predikat penyedia akomodasi lain mendapat predikat favorit atau terbaik, karena memiliki keunikan tertentu.

Kami mengundang beberapa public figure, pelaku seni, jurnalis serta pribadi-pribadi dari berbagai latar-belakang, dengan kekhususan kerap melakukan perjalanan dalam tataran wisata maupun bisnis agar dapat menggambarkan keinginan dan kebutuhan yang diperlukan pejalan.

Mereka adalah William Wongso (pakar kuliner), Jay Subyakto (seniman), Riyanni Djangkaru (presenter dan ibu rumah tangga), Burhan Abe (pemimpin redaksi dua media cetak, gaya hidup dan kuliner), Muhammad Gunawan ”Ogun” (pendaki gunung dan pemandu khusus), Ade Purnama (pengelola sebuah komunitas pejalan), Siti Kholifah (produser acara wisata sebuah stasiun televisi swasta), Amir Shidarta (kurator) dan Heryus Saputro (jurnalis).

Bersama National Geographic Traveler, mereka mengkaji nilai-nilai yang sebaiknya dimiliki oleh sebuah tempat menginap atau akomodasi komersial, dengan titik tolak selaras dengan wisata ramah lingkungan dan berkelanjutan atau sustainable tourism.

Dari sarasehan “Hotel Favorit” yang digelar National Geographic Traveler beserta para peserta panel diskusi dengan berbagai latar-belakang bidang kekhususan tadi, ada sederet penilaian yang bisa dituangkan untuk kategori sebuah tempat menginap. Dengan tidak mengadakan perbedaan berdasar klasifikasi daya tampung dan kategori hotel secara umum. Rumusan dari nilai-nilai yang diperbincangkan dalam sarasehan mencangkup:

Pengertian penginapan sebagai ’the place to stay in’ secara umum: Penginapan yang mengedepankan kekhususan tertentu: Sajian makanan khas; Gerai cendera mata unik dengan kepedulian terhadap lingkungan; Tidak mengedepankan hal yang dilarang, berkait pelestarian lingkungan hidup dan satwa langka; Keunikan dalam hal latar belakang, seperti nilai historis dan budaya; Hospitality atau keramahan yang dimiliki para petugasnya serta layanan, dengan tidak melakukan pembedaan berdasar ras, suku, golongan tertentu; Kelengkapan khusus yang dimiliki penginapan, seperti jasa pemandu atau pemesanan tiket dengan cepat; Kepedulian pihak pengelola penginapan untuk memberdayakan sumber daya manusia di kawasan sekitarnya serta mengajak para tamunya agar peduli terhadap isu lingkungan, meski dalam hal kecil sekalipun, dan; Penginapan dengan lokasi yang beda atau tidak biasa, semisal di atas sungai.

(National Geographic Traveler, September 2009)

The Place to Stay In

0

Kata ‘hotel’ yang selama ini digunakan untuk menyebut akomodasi komersial dirasa kurang tepat. Karena pada dasarnya, tempat menginap tak dapat di klasifikasikan rata atau standar begitu saja. Tapi mesti mengandung keunikan yang membuatnya berbeda, tetap disukai dan ingin dikunjungi atau diinapi kembali.

Penggunaan kata hotel yang saat ini di gunakan, rasanya kurang tepat. William Wongso mengungkapkan, ”Lebih pas adalah penginapan yang memiliki personalitas dan terkesan kita menginap di rumah teman.”

William Wongso mengungkapkan, ”Di masa depan, masyarakat ingin mendapatkan sesuatu yang pribadi. Hingga tempat menginap juga harus memiliki sebuah personality. Bukan sekadar untuk bermalam, juga bukan kategori the best.”

Menurutnya, mesti ada semacam kriteria dalam mengedukasi pengguna akomodasi komersial ini. Dan sebaiknya, nama juga bukan ’hotel’ tapi ’tempat menginap’. ”Yang diinginkan dari tempat menginap dengan personality itu, akan melahirkan rasa ’seperti menginap di rumah teman atau tetangga yang telah kita kenal’.”

Jadi dalam hal ini, sama sekali tidak ada batasan bahwa nilai eksklusif berbanding lurus dengan kamar harus dalam kondisi prima, serba bagus, serba kelas satu atau mewah. Tempat atau lokasipun tidak dibatasi berada dalam atau luar kota, tapi juga bisa di atas air, seperti pelayaran sungai dan live aboard.

Photo by Paolo Nicolello on Unsplash

Bagi Heryus Saputro, hal terpenting yang diinginkan pejalan saat menginap atau bermalam adalah keamanan dan kenyamanan. ”bila unsur ini sudah dipenuhi, maka nilai yang dibayarkan untuk harga hotel bisa ditekan, karena orang akan berpikir; mengapa harus bayar mahal, bila konsepnya manghabiskan waktu di luar hotel.”

Sedang Jay Subyakto menambahkan, beberapa pejalan atau pelaku wisata, terkesan masih takut keluar dari kenyamanan bila berada di luar rumah. ”Padahal, di luar Pulau Jawa, tak semua penginapan bisa menawarkan nilai mewah dan eksklusif. Bisa saja penginapan biasa, tapi atmosfernya menyatu dengan alam sekitar dan masyarakatnya. Model tempat bermalam seperti ini laik mendapat perhatian lebih.” (National Geographic Traveler, September 2009)

Lokasi yang Tidak Biasa

0

Soal pilihan tinggal di penginapan dengan konsep hijau dan dekat dengan alam sebagai rujukan, para peserta sarasehan mengungkapkan bahwa letak si hotel atau tempat tinggal sementara tidak harus berada di atas luasan tanah untuk mendapatkan predikat terbaik. Tempat menginap alternatif yang bukan berupa bangunan masih juga disukai, karena mendatangkan rasa kedekatan dengan alam dan lingkungan hidup. Dalam hal ini, tenda dan wahana terapung di atas sungai dan laut dimasukkan sebagai kategori khusus. Tetap bisa mendapatkan predikat terfavoit, khususnya untuk pencinta alam bebas dan kegiatan outdoor.

Heryus saputro mencontohkan live aboard untuk pariwisata bahari yang dikemas khusus. Contohnya yang ia alami saat berada di kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan. ”Penginapan di atas laut ini bisa dikemas khusus atau ’dijahit’ sesuai keinginan Anda, termasuk dengan merancang sendiri makanan yang ingin disantap selama perjalanan. Lalu bahan-bahan dibawa ke atas kapal dan dimasak,” tukasnya merespon William Wongso selaku pakar kuliner. Hingga perjalanan bahari terasa makin bermakna dan sesuai dengan kemauan pejalan.

Untuk perairan sungai, Riyanni Djangkaru menyorot ekowisata Sungai Sekonyer di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting, Kalimantan Tengah bisa dikemukakan sebagai salah satu kandidat untuk meraih predikat terobosan menggelar akomodasi. ”Pejalan diajak menyusuri sungai dengan perahu, bermalam pakai matras dan kelambu di bawah langit terbuka serta disuguhi masakan yang dibuat oleh awak perahu sendiri. Tentunya hal ini sebuah pengalaman menarik. Apalagi sesudahnya, bisa bertandang ke Camp Leakey menengok orangutan.”

Kembali ke panorama alam yang ada di daratan, tinggal di tenda merupakan bagian dari pertualangan mengasyikkan. Bila tolak ukurnya adalah resor atau jaringan perhotelan ternama, Amanwana di Pulau Moyo bisa dikemukakan sebagai contoh. Ada dua pilihan dari tenda eksklusif yang ditawarkan; menghadap laut Flores atau menghadap ke arah hutan.

Riyanni dengan antusias menambahkan, salah satu pilihan berkemah dengan fasilitas lima bintang bisa didapat di Rakarta, Tanakita Campground. Lainnya, menginap pakai tenda di camping ground yang disediakan Taman Safari Indonesia, Sukabumi. Tidur dengan matras dan sleeping bag, disuguhi bajigur dan aneka makanan tradisional, dengan kesempatan mengintip harimau sumatera terlelap. ”Mungkin terkesan tidur kita jadi kurang nyaman dengan peranti sederhana. Tapi hal ini bisa ditawarkan pada para keluarga yang ingin mengajak anak-anaknya lebih mengenal lingkungan hidup dan aneka satwa.” Dan hal ini, tentu saja sebuah nilai khusus bagi penyelenggara akomodasi itu. (National Geographic Traveler, September 2009)

Batik, World Heritage

0

Batik akhirnya diakui sebagai world heritage, 2 Oktober lalu. Pada tanggal itu pula, bertepatan dengan hari Jumat, Jakarta (juga kota-kota di Indonesia yang lain) seperti lautan batik. Tidak hanya di perkantoran, tapi juga di jalanan, di mal-mal, bahkan di pusat-pusat hiburan (di panti pijat ada nggak ya). Paling tidak, di hari itu kita boleh berbangga sebagai bangsa.

Tapi, tahukah saudara-saudara, dari 76 seni dan budaya warisan dunia yang diakui Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan PBB (UNESCO), Indonesia hanya menyumbangkan satu, yakni batik tersebut, sementara China 21 dan Jepang 13 warisan. Apa boleh buat!

Dan yang penting, pengakuan saja tidaklah cukup sebenarnya, karena di dalamnya juga ada tuntutan dan tanggung jawab. Apalagi, batik sebetulnya bukan monopoli Indonesia. Jepang dikenal juga seagai negara pembuat batik, meskipun sekarang sudah langka. Demikian India, China, Thailand, dan negeri jiran Malaysia. Memang, yang membuat hati berbunga sebagai bangsa, batik Indonesia memang beda, sebagai produk sangat canggih dan punya karakter yang kuat.

Yang juga membuat bangga, pengakuan UNESCO juga menumbangkan klaim Malaysia terhadap batik – meski klaim-klaim terhadap yang lain sebagai miliknya belum juga kita bereskan, sebutlah angklung, reog, tari pendet, dan belakangan klai terhadap beberapa jenis makanan yang sebetulnya sudah bercokol lama di Bumi Nusantara.

Yang jelas, batik Indonesia, terutama Jawa, menjadi acuan dunia karena teknik pembuatannya unik dan coraknya kuat, tidak sekadar kain bercorak tapi memuat pandangan dan filosofis hidup pembuatnya. Batik Jawa mempunyai corak yang khas; berbasis motif geometris, dan motif inspirasi dari dunia flora dan fauna. Seni adiluhung ini bertali-temali dengan wujud budaya yang lain, seperti seni ukir, pertunjukan wayang, pertanian, bahkan bahasa.

Dengan adanya pengakuan UNESCO, kita memang wajib berbangga diri sebagai bangsa Indonesia. Tapi pengakuan ini juga, kita dituntut untuk selalu mengembangkan industri batik di Tanah Air, selalu melakukan promosi, preservasi, dan proteksi warisan budaya dunia ini.

Pengukuhan ini seharusnya bukan euforia sesaat, tapi juga membawa konsekwensi yang tersendiri. Di antaranya adalah tanggung jawab pemerintah dan masyarakat untuk selalu menyosialisasikan pemakaian batik sebagai bagian dari budaya, tidak sekadar tren fashion sesaat, di Indonesia. Batik memang bukan sekadar tekstil bermotif batik, tapi lebih dari itu, selain ada teknologi (pembuatannya) yang membedakan dengan kain tekstil yang lain, ada filosofi yang terkandung di dalamnya.

Sebetulnya tidak hanya batik yang patut mendapat pengakuan lembaga seperti UNESCO sebagai warisan budaya dunia. Masih banyak budaya aduluhung lain yang patut kita perjuangkan untuk mendapat pengakuan, atau kita klaim sebagai milik kita dengan mendaftarkan copyright-nya – sebelum kita kebakaran jenggot karena negeri tetangga melakukannya terlebih dahulu.

Masih banyak aspek budaya di negeri ini yang masih sangat perlu perhatian dan jika memang ingin dikaitkan dengan momentum batik Indonesia yang masuk dalam daftar warisan budaya dunia versi UNESCO. Sesungguhnya warisan budaya dunia itu ada di Indonesia! (Burhan Abe)

Antasari, KPK, dan Belitan Cinta Segitiga

0

Salah satu yang membuat orang selalu tegar dalam menghidupi masalah adalah dukungan keluarga. Mantan ketua KPK ini, selain mendapat dukungan keluarga juga dianggap sebagai sosok yang paling dibanggakan. Apalagi ada anggapan di kalangan masyarakat bahwa sosok Antasari identik dengan KPK, karena beliau sangat gencar dan tanpa takut memberantas korupsi.

Investigasi dalam buku ini akan menyingkap banyak sisi yang selama ini mungkin tak diketahui publik: Pembentukan dan kinerja KPK; Sepak terjang Antasari dan citra KPK di mata masyarakat; Seberapa kuat KPK tanpa Antasari; Konspirasi apa yang dirancang oleh para koruptor untuk menyingkirkan orang-orang yang hendak menghalangi aksi mereka; dan lain-lain.

Judul Buku: Antasari, KPK, dan Belitan Cinta Segitiga

  • Penulis: Burhan Abe & Faisyal
  • Kategori: Nonfiksi/Sosial, Politik dan Budaya/Politik
  • Ukuran: 14 x 21 cm
  • Tebal: 196 halaman
  • Penerbit: Gramedia Group
  • Terbit: Juli 2009
  • Harga: Rp 24.000
  • ISBN: 978-979-22-4814-2; IQ 41101090023

Lebaran di Jakarta

0

SETIAP Idul Fitri saya (dan keluarga) selalu mudik. Tapi tahun 2009 ini absen, alias berlebaran di Jakarta saja. Bagaimana rasanya? Nyaman, karena jalanan tidak macet sama sekali, bahkan cenderung lengang. Tapi rasanya ada yang hilang, Lebaran di Ibukota tidak seseru di kampung halaman, saling berkunjung ke saudara-saudara, ketemu teman-teman lama. Ada sesuatu yang hilang….

Selamat Idul Fitri 1430 H. Minal Aidin Wal Faizin. Mohon Maaf Lahir dan Batin.

PS. Terima kasih kami haturkan untuk teman-teman yang sudah mengirim SMS “Lebaran”: Dewi Damayanti (Ritz Carlton Jakarta, Pacific Place), Sonia Wibisono, Kushindarto (wartajazz.com), Tiara Maharani (Venue Magazine), Jenny Suriahyani (Cognito), Meilinawati K. (Cognito), Robert (Cognito), Dewi Anggraini (Intercontinental Bali Resort), Ade Sarah (Mitra Adi Perkasa), Nita Tjindarbumi, Edhi Sumadi (Pernod Ricard), Santi Pudjo (AS), Stallone Tjia (sendokgarpu.com), Kris Wijayanto, Lestari Nurhayati, Ambar (KID), Siska Leonita (XL), Apul Maharaja (Batak Post), Wida (Lotus PR), Jeanny Wulur (Lippo Group), Indra Junor (Rolling Stones), Rian Sudiarto (SWA Network), Aming, Dijan Subromo, Prih Sarnianto, Liey Setiawan (Registry), Moammar Emka, Saiful Hadi, (PDAM Gresik), M. Nuzul (Hexindo Adiperkasa, Pekanbaru), Riant Nugroho, Budi Suwarna (Kompas), Agung Yuswanto, Retta Simson (Mulia Hotel Jakarta), Diana, M.Lutfi (PT Petrokimia Gresik), Zayanti Zaidir, Ronald Holoang (Versus Magazine), Bimo, Hani (Tempo), Okta (Chevron Indonesia), Elizaberth Fang (ME Magazine), Mucharor Djalil, Joko Sugiarsono (SWA Magazine), B Gunawan, Franz Wolfgang (Nokia Siemens Network), Prehanto Abdurrahman, Ratih Poeradisastra, Salmah, A. Nashir Budiman, Didiek WS, Andri (Little Black Café)..

Lanjut..

Arief Soeharto (Koran Jakarta), Ilham, Ferry S. Badjeber, Ollie R. Sungkar (Vox Populi Syndicate), Iwan S. Jatmiko (Vox Populi Syndicate), Faisal Chaniago (Appetite Journey), Ade Irwan Trisnadi (Appetite Journey), Ety Suryani (Appeite Journey), Hadi (Appetite Journey), Revi (Appetite Journey), Tri Parjoko (Appetite Journey), Edoy Sunarto (Appetite Journey), Argo (Appetite Journey), Niki (Nikko Hotel), Mala (KID), Azza (KID), Audi (The Jakarta Post), Fithri (The Jakarta Post), Mia Rubiyanti (The Jakarta Post), Yayuk Sardjono (Julambi), Tresnawati (Suara Merdeka), Rene Suhardono (True), Irwan (Gatra), Dadang Tri, Joko (EE Communications), Rahmaji Asmuri (Asuransi Takaful), Wisnu (SWA), Hendra (SWA), Taufik Hidayat (SWA), Tutut (SWA), Harmanto Edy Djatmiko (SWA), Evi Puspa (Online Marketing Indonesia), Evi Erawati (perempuan.com), Echy (IM3), Budiman Tanuredja (Kompas), Budiman, Ita Sembiring, Shafril Pane, Danang (Grand Tropic), Honorus Hendriyarno (Pertamina, Bontang), Wisnu (ME), Yulius (ME), Andrizah Hamza (ME), Dila (Grand Kawanua), Ika Sastrosoebroto (Prominent), Tipuk Satiotomo (Prominent), Sintya Dyta (titik), Gatot S. Dewa Broto (Kahumas Deparpostel), Imam Wahyoe, Alda Siregar, Nasyth Madjidi (Parents Guide), Danang Kemayan Jati (Lippo Group), Jatiningsih, Aswadi Munir, Tety S. Chairul (Popular), Faisal (Popular), Ferdinand Pey, Ludi Hasibuan, Tedjo Iskandar, Tatik Hafidz, Jon Minofri, Nandoz Purba, Dadi R. Sumaatmaja (Metro TV), Ermina (BRI), Bayu (Tamasya), Riyadh, Victor Tanusiwa, Andi, Kevin, Gigin Praginanto, Elprisdat, Erina Elprisdat, Rahmat Yunanto (Metro TV), Suprobo, Benny (Infobank).

Ambil nafas dulu….

Lira (The Dharmawangsa), Eman, Evieta (U Magazine), Harsya Soebandrio, Eddy (Sheraton, Bandung), Tito (Eksekutif), Ari Prastowati, Nanang Junaidi, Syamhudi (Profesi), Rizka, Ferdy Hasan, Henni (SWA), Sabpri Piliang (Suara Karya), Dwi S. (Esquire), Indra Bustomi, Lulu Pasha (Soliter), Mardi Luhung, Mita, Babas Basoeki, Nazir Amin, Hersubeno Arief, Herry Drajat (Venue), Suharjanto, Endang Wahidin, Ditri K, Dicky, Shinta (Discovery Kartika Plaza, Bali), Aries Kelana (Gatra), Lilies Sri Lestari, Martha, Heri Warsito, Dodi, Intan Pulungan (Int Comps), Ajeng Campagnita (EE Communications), Dody Rochadi (Maverick), Danu Kuntoaji (Studio Tiga), Irfan, Lily G. Nababan, Kemal E. Gani (SWA), Sulistyo, Lanny Rahadi (Martha Tilaar Group), V. Elisawati, Sastro Gozali (sendokgarpu.com), Arif Tritura (Total), Teges P. Soraya (Grand Indonesia), Kusnan Djawahir, Maya (Cognito), Dede Marlia, Dede Suryadi (SWA), Devita (detik.com), Dharmesti Sindhunata (Cushman & Wakefield Indonesia), Sugeng (Laguna, Bali), Diana (Mandarin Hotel), Dino Musida.

Last but not least…

Doddi (ARTi), Freedian Marpaung, Wawan (MIX), Hartono, Hartono Iggi Putra, SS Budi Rahardjo, Musthafa Helmy, Marah Sakti Siregar, Farid Mahmud, Icha (T&T), Anchali (Now Jakarta), Sisca (Vin+), Sujianto, Suryansyah (Metro TV), Taufan (Design Plus, Cikarang), Tjandra Wibowo (Samuan), Dina (Samuan), Amazon Dalimunte, Siti Nurbaiti, Anif Puntodewo (Republika), Risma Sidabutar, Atik (HI ‘82), Cepi S. Husada (Ford), Untung Hartono (Inmark Communications), Yusuf Ahmad, Ayu Hermawan (Dateline Communications), Yogasworo (Deadline Design), Wagiman (CSIS), Antyo Rentjoko (dagdigdug.com), Moeryanti, Dony, Dian (Indonesia Travel Tourism Fair), Ketut Sumarta, Chairul Fanani, Daneshwari, Avianto, Bakarudin, Raymon Yunanta, Swastika Nohara, Ferry Salim, Michael Zhang, Benny Amilie, Bintoro, Ajub Gautama, Nungki Sutrisno (Neo), Martha Lorry (The Plaza Hotel), Ramayanti (bw Communications), Sonny Octarina (Central Park, Agung Podomoro), Wahyuana, Nugroho Setiatmadji, Candra Muaz, dan lain-lain yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Thanks anyway, karena SMS dari Anda semua, cukup menghibur hati yang ‘kosong’! I love u full!

A Home Away From Home

0

KALIMAT puitis tersebut sangat lekat dengan dunia traveling. Ke mana pun para traveler menginap, harapan mereka adalah ketemu hotel atau penginapan yang senyaman di rumah sendiri, a home away from home! Itu sebabnya hotel yang baik adalah yang mampu membuat para tamunya kerasan, yang entah itu diwujudkan, mulai dari fasilitas yang memadai, lokasi yang strategis, sampai hal-hal yang non teknis, pelayanan yang baik atau pun keramahan petugasnya.   

Memang, hampir dipastikan tidak ada hotel yang seperti di rumah sendiri. Lagi pula, apa menariknya traveling kalau harus menginap di rumah sendiri, tentunya lebih seru kalau berbeda dengan suasana rumah, ada pengalaman baru. Nyaman seperti di rumah memang sebuah ungkapan, yang berkonotasi nyaman dan membuat sang tamu kerasan. Membuat tamu betah memang bukan monopoli hotel berbintang lima saja yang memang fully facility, tapi hotel-hotel kecil pun, mempunyai peluang untuk menjadi hotel idaman yang membuat penghuninya kerasan, feel like at home, selalu ingin kembali dan kembali lagi.   

Sayangnya, dalam sebuah sarasehan yang diselenggarakan National Geographic Traveler beberapa waktu yang lalu, di mana saya termasuk di dalamnya, terungkap bahwa tidak banyak hotel-hotel di Indonesia yang mempunyai syarat-syarat yang disebut di atas. Bahkan hotel-hotel mewah pun kadang-kadang tidak mempunyai personality sebagai hotel Indonesia.  

Memang, banyak hotel yang mematut diri dengan mengambil tema lokal yang kuat, misalnya, dengan mengadaptasi arsitektur dan interior setempat, tapi tetap saja breakfast-nya ala Continental yang standar. “Tidak ada yang berani menyajikan menu tradisional. Kalau pun ada, di hari ketiga para tamu sudah mulai bosan, menunya itu-itu saja,” ujar William Wongso, pakar kuliner yang hadir dalam sarasehan itu.  

William maklum, para investor di bisnis hotel di Indonesia umumnya tidak mempunyai passion yang mendalam terhadap industri perhotelan, apalagi F&B. Sehingga yang ada di benak mereka adalah investasi, serta perhitungan untung-ruginya belaka.  

Jay Subyakto, peserta yang lain, bahkan menyayangkan, ada hotel-hotel tertentu yang meski arsitekturnya indah, tapi sering tidak mengindahkan alam sekitarnya. Tidak ada kepedulian dari pihak pengelola untuk memberdayakan sumber daya manusia di kawasan sekitarnya, serta mengajak para tamunya agar peduli terhadap isu lingkungan, meski dalam hal sekecil sekali pun.

“Jadi, sebetulnya saya heran di event internasional beberapa waktu yang lalu, ada yang bangga bisa memecahkan rekor dunia: bisa rame-rame menyelam di laut dalam dengan anggota penyelam terbanyak. Padahal, ini kan sedikit banyak bisa merusak terumbu karang,” tukasnya.  

Memang, hotel atau resor yang baik haruslah mendukung sustainable tourism, mengedepankan nilai-nilai yang selaras dengan wisata ramah lingkungan. Demikianlah dengan para tamu yang seyogyanya peduli dengan lingkungan, yang tidak sekadar membuang sampah pada tempatnya, tapi juga tidak mencoba makanan dari satwa langka atau tidak membeli cendera mata ilegal, misalnya.   

Memang, berbicara tentang hotel di Indonesia tidak melulu cerita sedih. Hotel-hotel yang sederhana pun kadang-kadang meninggalkan kesan yang mendalam, bukan hanya karena tarifnya relatif murah tapi kuliner yang disajikannya pun otentik. Pisang goreng, nasi timbel, dan sambel cobek, misalnya, masih bisa dijumpai Desa Wisata Bumihayu, Subang. Begitulah pengalaman Siti Kholifah, produser acara Koper & Ransel di salah satu stasiun televisi itu.   

Sementara William menemui sebuah hotel di Tomohon, Sulawesi Utara, namanya Gardenia, memiliki sajian kuliner yang mengesankan. Saya sendiri juga pernah merasakan makanan lokal di sebuah hotel mewah di Karangasem Bali, Alila Manggis. Selain makanan western, di situ juga tersedia pula makanan ala Bali yang asli, yakni mengibung – nasi dengan lauk rupa-rupa, yang dalam tradisi aslinya dimakan rame-rame. Kalau bosan makan di hotel, pihak hotel pun bersedia mengantar tamu ke warung-warung sekitar yang direkomendasi, untuk sekadar menyantap makanan setempat yang orisinal dan tentu saja nikmat.   

Banyak yang harus diperhatikan kalau ingin industri perhotelan Indonesia maju. Akomodasi komersial, yang diwadahi dalam bentuk hotel atau resor tersebut, tidak hanya mampu menjawab kebutuhan standar para traveler (wisata dan bisnis), tapi juga harus mempunyai sesuatu yang unik yang membedakan dengan hotel atau resor (negara) lain, yang mengagungkan alam dan tradisi. Sesuatu yang berbeda (diferensiasi) itulah yang harus terus dicari dan dicari, kalau kita memang ingin mengejar ketertinggalan kita dari negara-negara lain. (Burhan Abe)

French Paradox

0

Wine mulai menjadi bagian dari gaya hidup kota-kota besar, tak terkecuali Jakarta. Tidak susah mendapatkan wine di Ibukota, tidak hanya di wine cellar di hotel-hotel berbintang, tapi juga wine lounge yang tersebar di berbagai tempat.

Konsumen wine pada dasarnya terbagi menjadi tiga kategori. Pertama, mereka yang minum wine memang budayanya. Kedua, mereka yang menikmati wine karena ingin merasakan sensasinya, juga sebagai social drink dalam komunitasnya. Dan ketiga, mereka yang memandang wine sebagai “obat”. 

Yup, banyak yang meyakini, segalas wine, tepatnya red wine sehari membuat hidup menjadi sehat. Kandungan flavonoid dalam anggur merah sudah dibuktikan oleh orang Perancis dapat menurunkan kadar kolesterol jahat dan mendongkrak kalesterol baik, sehingga melindungi kesehatan jantung.

Banyak riset ilmiah yang menunjukkan korelasi antara penurunan angka kematian akibat penyakit jantung dengan konsumsi wine. Dalam Wine, Alcohol, Platelets and the French Paradox for Coronary Heart Desease (1992), dua orang peneliti Perancis yang berbasis di Lyon, Serge Renaud dan Michel de Lorgeril, melaporkan bahwa masyarakat di Perancis Selatan dan Mediterania, yang sehari-hari mengonsumsi lemak dalam porsi tinggi dan merokok, serta berolah raga secikupnya, justru memiliki angka kematian yang disebabkan oleh penyakit jantung rendah. Mereka menyimpulkan, semua itu dikarenakan tingginya konsumsi masyarakat Perancis akan wine. Inilah yang disebut sebagai “French Paradox”. 

Dari situlah muncul kesadaran baru bahwa wine yang memabukkan kalau mengonsumsinya tidak berlebihan, ternyata juga menyehatkan. Para ahli dan ilmuwan AS pun dari penelitiannya menyimpulkan: wine menurunkan risiko penyakit jantung koroner sehingga memungkinkan berusia lebih panjang. “Orang yang minum wine satu-tiga gelas per hari memiliki 40-50% peluang untuk terhindar dari penyakit pembuluh koroner daripada mereka yang sama sekali tidak minum,” demikian publikasi American College of Cardiology tahun 1996.

Begitulah, minuman beralkohol yang dibuat dari sari anggur jenis Vitis vinifera ini ternyata bukan minuman biasa. Wine dibuat melalui fermentasi gula yang ada di dalam buah anggur, yang biasanya tumbuh di area 30 hingga 50 derajat lintang utara dan selatan. Ada beberapa jenis wine, yakni red wine, white wine, rose wine, sparkling wine, sweet wine, dan fortified wine. 

Tapi yang diyakni mengandung obat adalah red wine yang dibuat dari anggur merah (red grapes). Beberapa jenis anggur merah yang terkenal di kalangan peminum wine di Indonesia adalah merlot, cabernet sauvignon, syrah/shiraz, dan pinot noir.

Tentu ini berita baik bagi penggemar wine. Bahkan dalam penelitian terbaru pun ditemukan pula bahwa mengomsumsi secara moderat red wine akan menurunkan risiko paru-paru pada pria. Demikian hasil yang diperoleh Chun Chao dari Department of Research and Evaluation, Kaiser Permanente Southern California.

Dalam penelitian tersebut, para responden (sebanyak 84.170 orang) diminta untuk mengonsumsi segelas red wine per hari selama sebulan. Hasilnya, risiko mereka terkena kanker paru-paru berkurang 2%, dengan yang paling besar adalah pria perokok yang mengonsumi 1 – 2 gelas red wine per harinya, risiko penurunannya mencapai 60%.

Penelitian tersebut cukup, tapi Chun Chao memberikan peringatan merokok sambil minum red wine bukanlah gaya hidup yang sehat. Apalagi, tidak sedikit laporan penelitian yang menunjukkan bahwa setiap alkohol, termasuk red wine, dapat meningkatkan risiko kanker lain, seperti kanker payudara. Nah, lo! Ini juga paradoks yang lain. So, minumlah wine dengan cerdas dan bijak. (Burhan Abe)

Exploring Bali

0

The most famous of Indonesia’s 17,000 plus islands, Bali lies between Java to the West and Lombok to the East at the coordinates of 8°25′23″S, 115°14′55″E. It is one of the country’s 33 provinces with the provincial capital at Denpasa towards the South of the island. Predominantly Hindu anrd the country’s most popular tourist destination, Bali is rightly renowned for its arts, including dance, sculpture, painting, leather, metalworking and music.

Tropical describes Bali’s equatorial climate in just one word. In the lowlands, temperatures average between 21 to 33 degree Celcius. In the mountains, temperatures may dip as low as 5 degree Celcius. Humidity in Bali varies but is always present, between 60 % to 100 %.

In general, Indonesia experiences two yearly seasons of monsoon winds: the southeast monsoon, bringing dry days from from May to October, and the northwest monsoon, bringing rain normally between November to April with a peak around January/February when it may rain for several hours each day.

Rain on Bali follows a fairly predictable pattern. Before it rains, the air gets very sticky; afterwards it is refreshingly cool and the sun usually appears. The changing seasons can bring high waves which attracts legions of surfers to the isle. The dry season, May to October, is a better time to visit Bali, and especially June to August. This is the time to climb mountains or visit nature reserves; when wild bulls go in search of water and sea turtles lay eggs.

Bali lies 3.2 km East of Java and approximately 8 degrees South of the equator. East to West, the island is approximately 153 km wide and 112 km North to South (95 by 69 miles, respectively), with a surface area of 5,633 km2. The highest point is Mount Agung at 3,142 m (10,308 feet) high, an active volcano that last erupted in March 1963. Mountains cover the center to the Eastern side, with Mount Agung the Easternmost peak. Mount Batur (1,717 m) is also still active. About 30,000 years ago it experienced a catastrophic eruption — one of the largest known volcanic events on Earth.

The principal cities are the Northern port of Singaraja, the former colonial capital of Bali, and the present provincial capital and largest city, Denpasar, near the Southern coast. The town of Ubud (North of Denpasar), with its art market, museums and galleries, serves as the cultural center of Bali.

There are major coastal roads and roads that cross the island mainly North-South. Due to the mountainous terrain in the island’s center, the roads tend to follow the crests of the ridges across the mountains. There are no railway lines.

The island is surrounded by coral reefs. Beaches in the South tend to have white sand while those in the North and West, black volcanic sand. One anomaly, Padangbai in the Southeast boasts both: the main beach and a secret beach have white sand while the town’s southern beach and the blue lagoon have much darker sand. The population of Bali is 3,156,392 (at 2008).