Home Blog Page 80

Nasi Goreng Jancuk

0

Surabaya bukan kota yang asing sebetulnya, tapi selalu saja ada sisi menarik. Dan menginap di Surabaya Plaza Hotel (SPH) adalah pilihan yang tepat karena lokasinya di tengah kota, bersebelahan dengan salah satu mal terkenal, Surabaya Plaza Shopping Center. Ke objek wisata mana pun tergolong dekat, masih dalam hitungan menit, sebutlah ke House of Sampoerna, Mesjid Cheng Hoo, dan lain-lain.

Meski berbintang empat, fasilitas hotel ini boleh diacungi jempol. Hotel yang seluruh kamarnya berjenis suite, berjumlah 210 kamar ini, mempunyai motto ”Yes, I Care”. Yang menarik, terhitung sejak Februari 2009 hotel ini membebaskan dari rokok, bahkan kalau ada tamu yang melanggar akan didenda Rp 1 juta. “Ini memang demi kenyamanan tamu sendiri,” ujar Yusak Anshori, General Manager SPH.

Tinggal di SPH tidak lengkap rasanya kalau tidak merasakan Nasi Goreng Jancuk. Memang, ada yang risih mendengar kosa kata tersebut, karena itu merupakan umpatan khas Surabaya, tapi sebenarnya sekaligus menunjukkan keakraban. 

Menu ini sengaja diciptakan untuk memuaskan lidah “arek-arek Suroboyo” dan para tamu tentunya. Diramu secara khusus oleh Chef Eko Sugeng Purwanto yang telah belasan tahun berpengalaman di dunia kuliner, keistimewaan dari nasi goreng ini terletak pada rasa, porsi dan bumbunya. Bumbunya pun sangat khas Surabaya yaitu menggunakan terasi yang citarasanya cukup kental di lidah. Yang juga tak kalah menarik adalah penyajiannya di atas piring berukuran jumbo yang diberi alas daun jati. Sungguh komplit rasanya. 

Dengan rasa ekstra pedas akan membuat para penikmat makin penasaran untuk melahapnya terus menerus. Porsinya tidak perlu diragukan lagi, bahkan sepiring–mungkin lebih tepatnya senampan–Nasi Goreng Jancuk bisa dinikmati oleh empat hingga lima orang dewasa. Jadi, bagi Anda yang ingin bernostalgia dengan citarasa khas Surabaya silakan mampir ke Surabaya Plaza Hotel. Berani mencoba? (Abe

Surabaya Plaza Hotel 

Plaza Boulevard – Jl. Pemuda 31 – 37, Surabaya 60271

Phone : (031) 531 6833 – Fax : (031) 532 2129

Bom Jakarta

0

Bom lagi, bom lagi. Kali ini sasarannya Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton, Mega Kuningan, Jakarta, 17 Juli lalu. Sejumlah korban sipil, di antaranya warga asing, berjatuhan.

Terorisme sungguh keji. Inilah kekerasan yang dirancang menciptakan ketakutan di masyarakat (Thorton, 2001) atau bentuk operasi psikologi (McEwen, 2001). Sementara Hrair Dekmejian mengatakan, mengapa para teroris berlaku keji atas nilai-nilai kemanusiaan adalah karena mereka dilanda sindrom kekalahan atas kehidupan. Kematian dipilih sebagai solusi atas ketidakberdayaan mereka, yang dalam istilah disebut sindrom rendah diri akibat kekalahan bertubi-tubi.

Kita belum tahu pasti siapa pelakunya dan apa motif serta latar belakang sesungguhnya, tapi ledakan bom itu merupakan serangan atas kemanusiaan dan peradababan manusia. Implikasinya pun bisa sangat luas. Tidak hanya Australia yang buru-buru mengeluarkan travel warning, tapi lebih dari itu investasi untuk menumbuhkan industri pariwisata menjadi sia-sia.

Indonesia dikenal sedang giat-giatnya membangun. Tidak hanya plaza-plaza megah, nama-nama hotel berbintang lima berjaringan global pun hampir semuanya ada di Indonesia – khususnya di Jakarta, Bali, dan beberapa kota besar lainnya. Sebutlah Hilton, Shangri-La, St Regis, Melia, Four Seasons, Kempinski, Nikko, Oakwood, Hyatt, dan lain-lain.

Ritz-Carlton dan JW Marriott tergolong new entries di Indonesia. Ritz-Carlton adalah jaringan hotel mewah di 23 negara dan bermarkas utama di Chevy Chase, Maryland. Sementara JW Marriott adalah jaringan perhotelan tersukses di dunia, dikembangkan dalam waktu relatif singkat, 20 tahun oleh JW ”Bill” Marriott Jr.

Apakah kedua hotel tersebut menjadi target teroris karena berbau Amerika, wallahu a’lam! Yang jelas, masyarakat industri perhotelan di Indonesia berduka. Bertahun-tahun membangun kepercayaan, hancur dalam sekejap. Tidak hanya kerugian fisik semata, tapi lebih jauh adalah kepercayaan asing, apakah Indonesia masih menarik sebagai tempat berinvestasi.

Dalam sebuah diskusi yang diselenggarakan majalah National Geographic edisi Traveler, saya dan beberapa undangan lain, di antaranya William Wongso dan Jay Subiyakto, sempat merumuskan tentang hotel yang paling OK di Indonesia. Jawabannya ternyata memang tidak mudah. Memang, banyak hotel-hotel mewah yang dibangun di Indonesia, bahkan dikelola oleh jaringan global, tapi yanga namanya “hotel Indonesia” itu susah ditemukan.

Hanya beberapa bangunan hotel di Indonesia yang peduli dengan kaidah arsitektur Indonesia. Yang paling banyak adalah ‘tempelan’ semata, dengan menambahkan unsur-unsur etnik Indonesia. Dan yang paling parah, demikian William Wongso, jarang hotel di Indonesia yang mampu menyajikan makanan Indonesia secara benar. Kebanyakan makanan kontinental. Kalau pun ada makanan tradisional, “Pada hari ketiga biasanya para tamu biasanya sudah bosan. Variasinya sangat sedikit, padahal kekayaan kuliner Nusantara sangat luar biasa,” katanya.

Apa boleh buat, penggagas pembangunan hotel di Indonesia adalah para investor yang cuma tahu untung-rugi di industri perhotelan. Tidak punya passion sebagai orang perhotelan yang basis bisnisnya adalah jasa atau hospitality. Demikian pula dengan makanan, yang dipandang semata-mata sebagai makanan, bukan the art of cooking, yang memberi karakter Indonesia pada hotel tersebut.

Industri jasa perhotelan di Indonesia memang belum berkembang secara matang – bahkan dibandingkan dengan Thailand, misalnya, yang jati dirinya sangat kuat. Proses belajar untuk tahap yang benar memang masih jauh, dan bom yang memporak-porandakan JW Marriott dan Ritz-Carlton Jakarta makin memperburuk keadaan. (Burhan Abe)

Belajar dari Sang Maestro, Bob Sadino

0

Bob Sadino, siapa yang tak kenal. Pria yang setia dengan celana pendek jins dan kemeja kutung adalah sosok entrepreneur yang sukses di bidang F&B dan pasar swalayan, dengan jaringan usaha Kemfood dan Kemchick. Begitu mendapat kesempatan untuk mewawancarainya, jelas ada kebanggan tersendiri, selain rasa rasa was-was. Maklum, pria bernama lengkap Bambang Mustari Sadino kelahiran Tanjungkarang, Lampung, 9 Maret 1933 ini dikenal dengan gaya bicaranya yang ceplas-ceplos dan sering tak terduga. 

Benar saja, hampir semua tim Appetite Journey yang datang ke rumahnya di kawasan Cirendeu Jakarta Selatan yang asri tak luput dari semprotannya setiap kali salah merumuskan pertanyaan atau mengemukakan opini yang tidak mengena. “Goblok, kamu!”

Apa boleh buat, Bob Sadino memang maestro di bidang bisnis, sehingga apa pun yang keluar dari mulutnya adalah memang kebenaran semata. Mungkin saja ada kata-kata yang menurut awam “menyakitkan”, tapi begitulah cara Om Bob – begitu ia akrab disapa, memberi pelajaran kepada para muridnya. Bahkan salah satu judul bukunya menggarisbawahi sikapnya tersebut, “Belajar Goblok dari Bob Sadino”, terbitan Kintamani Publishing, 2007. 

Tanpa tujuan, tanpa rencana, tanpa harapan. Begitulah Om Bob menjalani usaha, juga menjalani hidupnya, “Seperti air yang mengalir saja,” tukasnya. “Buat apa saya punya rencana yang hebat-hebat? Padahal Tuhanlah yang menentukan segalanya. Dialah master planner saya,” katanya lagi.

Sikap pria berambut putih yang rada cuek ini ternyata sejalan dengan pola pikirnya yang apa adanya. Sebab, demikian Om Bob, apa yang diraihnya saat ini adalah berkat pola pikir yang apa adanya itu. Tanpa target, apalagi obsesi yang muluk-muluk, tapi yang penting adalah berbuat dan berusaha total dalam menggeluti apa saja. 

Tapi bukan berarti ia menjalani hidup yang datar-datar saja, justru seperti lirik dalam lagu The Beatles, ia harus menempuh The Long and Winding Road. Hidup pria lulusan SMA ini cukup keras dan berliku, pernah menjalani berbagai profesi, mulai dari sopir taksi hingga kuli bangunan untuk sekadar bertahan hidup.

Ia juga pernah merantau selama sembilan tahun ke Amsterdam (Belanda) dan Hamburg (Jerman), sejak 1958. Sebetulnya di negeri orang tersebut ia pernah mencapai titik aman, menjadi pegawai Djakarta Lloyd yang bergaji besar. “Tapi saya meninggalkan semua kemapanan itu, dan kembali ke Tanah Air,” ujarnya.

Mengapa ia mau meninggalkan comfort zone dan memulai dari nol? “Yang saya cari adalah kebebasan,” kata drop out Fakultas Hukum UI Jakarta ini. 

Kebebasan, itulah kata kunci Om Bob saat keluar dari kantor yang diidam-idamkan banyak orang, dan berniat menjadi juragan bagi diri sendiri – dan tentu bagi banyak orang, kelak. 

Demi cita-cita meraih kebebasan itu pula yang membuat ia rela menempuh jalan hidup hidup yang tidak mulus, bersama istri tercintanya. Modal yang ia bawa dari Eropa adalah dua sedan Mercedes tahun 1960-an. Yang satu ia jual dan uangnya ia belikan sebidang tanah di Kemang, Jakarta Selatan. Sedang yang lainnnya ia manfaatkan sebagai taksi yang disopirinya sendiri. 

Going Digital

0

Mobile phones have become an inseparable part of life. Almost half of the world’s population depends on them. In Indonesia, the use of mobile phones grows an average 6 percent per year. The growth of mobile phone ownership and telecommunication development in Indonesia is among the fastest in the world, along with India, China and Brazil.

A few years ago, only certain people in a few major cities used cell phones, but today usage is more widespread. People in villages and even small children now are using mobile phones for communication. The Indonesian Telecommunication Regulator Agency (BRTI) predicts that in 2011, the number of mobile phone users, both 2G and 3G, will reach more than 100 million.

Significant increases are not only seen in mobile phone usage but also in computers. Previously, PCs were expensive and could not be carried everywhere, but now there are sophisticated and low-cost notebooks, which are portable. With numerous Wi-Fi spots available in many places, notebooks are likely to be another mass product in the near future.

Based on Gartner survey company data, in 2002 the number of notebooks was only 20 percent of the total PCs worldwide. However in 2006, the figure increased to 40 percent. At the end of this decade, notebook numbers are predicted to exceed PCs.

There are several reasons behind this phenomenon. First is today’s mobile lifestyle that requires many people to work while on the move. Another factor is the success of Intel Centrino in popularizing Wi-Fi connections for easy access to the Internet. Both factors have led to the production of various types of notebooks, which are affordable for many.

What is interesting is that both notebooks and mobile phones have turned into vital gadgets of communication for both voice and data. There can also be a combination or convergence of the two gadgets. For example, BlackBerry and other similar gadgets can be used for communication with a mobile phone or Internet function.

Meanwhile, the iPhone can be regarded as a mini notebook, while it can also be used as a mobile phone. It offers the following services: mobile Internet, data application, digital media and news, wallpaper, ringtone, streaming video, and much more.

Notebooks and mobile phones indeed play an important role in today’s telecommunications. In a discussion last year in Jakarta, the Chairman of the Telecommunication Committee of the Indonesian Chamber of Commerce, Anindya Bakrie, said that conventional media companies had to revamp their facilities to anticipate the penetration of the Internet and mobile phones if they did not want to be left behind.

“The convergence of media has become a new challenge, because there is a new potential that is untapped, the television, computer and mobile phone,” said Anindya, who is also the president director of Bakrie Telecom.

Thus, almost all aspects of life, without one really feeling it, are directed toward digital convergence, which offers various new solutions for both common consumers as well as businesspeople. Therefore, it is not surprising that the Indonesian telecommunications industry, as the largest infrastructure for digital data service, is investing on a huge scale.

Memanfaatkan Peluang di Pasar yang Melemah

0

KRISIS global yang berawal dari Amerika Serikat dampaknya ke seluruh belahan dunia. Bisnis properti tak luput dari imbasnya. Kendati demikian, fenomena ini merupakan tantangan tersendiri bagi para pelaku bisnis properti untuk memberikan berbagai kemudahan dan diferensiasi produk yang akan dirilis. Problemnya adalah bagaimana merangkul pasar dengan strategi jitu dan mendapatkan respon positif dari konsumen.

Guna melakukan terobosan pasar, pelaku bisnis real estate memerlukan strategi jeli untuk melahirkan produk yang inovatif dan kreatif. Setidaknya produk tersebut harus mampu mengakomodir keinginan pasar, namun bujet yang digelontorkan haruslah realistis di tengah masa sulit ini. Siasat jitu yang mengadopsi pada kebutuhan pasar adalah langkah penting demi eksistensi bisnis. Sementara itu, elemen yang terlibat di dalamnya tidaklah sedikit. Diperlukan sikap proaktif dari pebisnis untuk mempelajari pasar yang dinamis. Efisiensi juga memegang peranan penting namun tetap merilis output yang maksimal.

Secercah harapan yang bisa dirangkul itu bukan sekedar untuk bertahan di jalur bisnis, melainkan untuk bangkit menjadi sosok yang lebih kuat. Sudah sepantasnya jika pengembang juga membantu konsumen dalam mengembangkan bisnis, karena mereka sudah terlanjur basah berinvestasi.  Intinya, pebisnis di jalur ini harus mampu mengoptimalisasi produk yang efisien dan diterima pasar, khususnya para tenant. Berikut beberapa tips:

  • Optimalisasi Lahan

Perusahaan harus peka terhadap lahan atau ruang  yang lebih akomodatif optimal. Sementara itu, ruang yang yang efektif juga tak lepas dari beberapa faktor. Misalnya, pemanfaatan ruang tersebut harus maksimal penggunaannya. Ruang yang tersedia juga harus memenuhi standar sistem informasi teknologi yang efisien sehingga format workstation bisa dihindari.  Hal ini diharapkan mampu meningkatkan kinerja SDM. Meminimalisir area juga memegang peranan penting, seperti area resepsionis, ruang pertemuan, ruang mewah, ruang menunggu, ruang bersantai, yang penggunaannya bisa dialokasikan ke hal yang lebih penting dan produktif.

  • Kelengkapan dan Akurasi Data

Kelengkapan dan akurasi data memegang peranan penting dari perencanaan portofolio dan prediksi biaya manajemen. Kemampuan untuk mempelajari dinamika dan variasi pasar sangat diperlukan demi terciptanya biaya yang efisien. Hal ini menuntut adanya data yang valid perihal harga sewa, leasing, persyaratan, kondisi bangunan, kekuatan landlord, nilai aset, pembagian wilayah, efektivitas penggunaan, namun yang paling penting adalah memaksimalkan peluang untuk meredam biaya ke arah yang lebih efisien.

  • Bertahan di Pasar

Banyaknya tawaran dan proyeksi sewa masih bersifat fluktuatif dalam masa 12 bulan. Pasalnya, permintaannya justru cenderung negatif untuk pasokan baru dalam memasuki pasar. Ini merupakan celah menguntungkan bagi perusahaan untuk mempelajari perubahan harga sewa, nilai pasar, dan dinamika yang terjadi. Maka, diperlukan identifikasi yang komperehensif dan negosiasi cemerlang demi hasil yang maksimal.

  • Identifikasi Surplus

Bangunan yang bisa memaksimalkan produktivitas karyawan adalah salah satu opsi terbaik dalam membentuk portofolio untuk kemudian disewakan lagi. Ada beberapa faktor yang harus diperhatikan perusahaan untuk sublease (menyewakannya kembali). Misalnya, kekuatan dan fleksibilitasnya, nilai kontrak yang sesuai pasar, efisiensi operasional gedung, fitur khusus pemasaran, kualitas landlord, dan biaya yang harus disiapkan untuk sublease.

  • Bergerak Cepat!

Merangkul pasar di tengah kondisi yang melemah adalah sebuah tantangan besar. Maka, perusahaan harus jeli memanfaatkan “langkah pertama” untuk mendapatkan lahan secara cepat dengan strategi negosiasi yang fleksibel ketika sublease tenant yang potensial sudah ditemukan.

  • Memfungsikan Outsourcing

Ketika memasuki masa downsizing, mengeksplorasi cara-cara baru dengan outsourcing atau melakukan negosiasi ulang kontrak layanan yang ada memang memberikan keuntungan tersendiri. Misalnya, bisa meningkatkan leverage untuk menurunkan biaya-biaya. Selain itu memberikan level efisiensi yang lebih tinggi. Dan, memberikan kemampuan untuk menyesuaikan kembali layanan berdasarkan tingkat kebutuhan yang kerap berubah-ubah.

  • Mempertahankan Penyewa

Ketika permintaan menurun dan vacancy yang bertambah, persaingan di antara landlord semakin sengit untuk mempertahankan penyewanya. Penyewa yang akan habis masa sewanya memiliki kesempatan bernegosiasi untuk melanjutkan okupansinya. Salah satu kelebihan yang bisa diciptakan adalah harga sewa yang rendah atau bahkan sewa gratis dalam periode tertentu.

  • Meredam Biaya Okupansi

Tinjau ulang semua biaya okupansi demi mengidentifikasi area mana yang bisa dialokasikan sebagai bentuk penghematan. Perusahaan harus jeli meninjau kontrak dan mampu melihat kesempatan untuk bernegosiasi atau bahkan melakukan tender ulang yang kompetitif.

  • Menciptakan Peluang

Di tengah iklim yang serba sulit ini, diperlukan strategi jitu sebagai bentuk kekuatan modal jangka panjang. Ketakutan terbesar landlord  adalah kredit macet dengan jumlah akun yang signifikan. Justru di sinilah kesempatan untuk membeli, lalu menjualnya atau menyewakan kembali dengan jangka waktu panjang.

  • Apa yang Harus Dilakukan Jika Masa Sewa Berakhir?

Untuk masa sewa yang berakhir dalam kurun waktu 12 bulan ke depan, pasti hanya terdapat dua pilihan. Umumnya, perusahaan harus memperpanjang sewa atau pindah ke lokasi lain. Jika sewa diperpanjang, persyaratannya pasti di level minimum. Alternatif lainnya, kontrak pembaharuan dengan syarat yang sewaktu-waktu bisa saja berhenti di tengah jalan atau berhenti di pertengahan. Hal ini akan memungkinkan perusahaan untuk mengambil keuntungan sewa yang lebih rendah di tengah pasar yang juga menurun. (Cushman & Wakefield Indonesia)

Jalur Perdagangan Obat Kuat (Seks)

0

Impotensi dan ketidakmampuan dalam berhubungan seks menjadi masalah paling klasik bagi pria sepanjang masa. Tabu dan sensitif, yang menyertai persoalan ini, justru membuka peluang bagi para pengusaha (perseroan atau pun perorangan) untuk terjun ke bisnis obat “kuat” dan berbagai metode yang berkaitan dengan problem seksual. Apa saja yang mereka tawarkan? Mana obat yang teruji secara medis, mana yang hanya mitos? 

Bagaimana kaum Arab Sudan yang ukuran kejantannya mencapai 25 cm lebih dengan melakukan latihan yang sederhana dan mudah yang diajarkan oleh ayah-ayah mereka pada masa pubertas? Kaum pria Arab ini juga telah tercatat di World Book of Records sebagai bagian dari pemilik penis-penis terbesar di dunia.

Itulah salah satu iklan yang di internet tentang program latihan meningkatkan kemampuan kejantanan pria. Iklan tersebut juga mengungkapkan beberapa fakta bahwa rata-rata ukuran “alat vital” orang Indonesia saat ereksi hanyalah 13 cm; 90% pria tidak puas dengan ukuran ini. Merujuk pada survei yang diadakan oleh Durex Condoms, 67% wanita mengatakan bahwa mereka tidak bahagia dengan “ukuran” pasangannya. Jadi, masihkah Anda ingin mengatakan size doesn’t matter?

Begitulah, masalah ketidakjantanan, entah itu persoalan ukuran penis, ketidakmampuan berhubungan badan, impotensi, lengkap dengan mitos-mitosnya, menjadi persoalan pria sepanjang masa.

Berbagai riset kedokteran (bahkan juga perdukunan) dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah tersebut. Ini tidak saja membuka berbagai inovasi yang berkaitan berbagai penemuan obat-obatan yang berkaitan degan masalah kesehatan seksual, tapi sekaligus peluang bagi para pedagang yang menjual dan mendistribusikannya yang ujung-ujungnya adalah bisnis.

Viagra adalah puncak penemuan obat anti impotensi dalam era modern ini. Di AS dan negera-negara Eropa, viagra diyakini sebagai obat ampuh yang mampu mengatasi persoalan impotensi. Di Indonesia, tablet berwarna pink yang didistribusikan secara resmi oleh Pfizer itu juga menjadi barang yang tidak asing, yang membuat pria menjadi perkasa, mampu menaklukkan pasangannya, bahkan wanita hiperseks sekali pun.

Sebelum Viagra, banyak bahan-bahan alami (kadang-kadang bercampur dengan mitos) yang diyakini sebagai penyembuh atau pembangkit gairah seksual. Campuran darah ular kobra dengan serbuk giok hijau, misalnya, menurut mitos di China, India, serta Mesir, mampu meningkatkan potensi seksual pria. Sementara di Korea, banyak yang mempercayai ginseng sebagai minuman penambah vitalitas kejantanan.

Indonesia juga mengenal berbagai berbagai ramuan tradisional yang tidak hanya mampu mengobati penyakit yang berhubungan dengan seks, tapi juga memberikan kenikmatan syahwati. Sebutlah akar pasak bumi dari Kalimantan, tangkur buaya, atau bahkan baru-baru ini, di Mojokerto (Jawa Timur), daging biawak tiba-tiba menjadi favorit para laki-laki di sana, karena mereka yakini bisa menambah vitalitas keperkasaan mereka sebagai laki-laki. Belum termasuk berbagai makanan dan minuman yang diyakini sebagai zat afrodisiak yang mampu membangkitkan gairah seksual.

Saat ini Anda tentu tahu, setidaknya pernah mendengar merek-merek obat kuat, seperti Blue Moon, Caligula Kapsul, Cobra-X Kapsul, Hwang Di Shen Dan, Kuat Tahan Lama Serbuk, atau Tripoten. Asal tahu saja, obat-obatan tersebut menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengandung tadalafil, yaitu bahan kimia obat keras.

“Tadalafil dapat menyebabkan nyeri otot, pusing, sakit kepala, mual, diare, muka memerah, hidung tersumbat, dan hilangnya potensi seks secara permanen,” kata Husniah Rubiana Thamrin Akib, Kepala BPOM.

Gugur Satu Tumbuh Seribu

0

Anda kenal dengan nama-nama ini: Raymond, Aldrin, Miko, Winky, Milinka, Tammy, Adit, atau Dree? Tidak semua tahu, tapi bagi pada clubber, nama-nama tersebut tentu tidak asing lagi. Ya, merekalah para bintang di dunia malam, para disc joeckey (DJ) yang selalu meramaikan suasana dengan kepandaiannya meramu musik.

Para DJ itulah yang dipercaya untuk mengisi acara penutupan Embassy, klub ternama yang berlokasi di Taman Ria Senayan Jakarta beberapa waktu yang lalu. Closing party perlu digelar untuk menandai berakhirnya klub tersebut pertengahan Januari lalu.

Tapi klub di Jakarta bak pepatah, tutup satu tumbuh seribu. Klub yang satu berakhir, segera muncul yang baru. Saat ini pada partygoers Jakarta sedang dibuat terpesona oleh klub-klub yang muncul belakangan, mulai dari Dragonfly, Blowfish, X2, atau yang terbaru Indochine dan Immigrant. Yang disebut terakhir mungkin yang paling istmewa saat ini, bahkan boleh disebut sebagai sebagai Jakarta’s newest hot spot. Berlokasi seluas 1400 meter per segi di lantai paling atas Plaza Indonesia Extension yang baru, dari lounge venue tersebut para pengunjung bisa menikmati pemandangan Jakarta, khususnya di sekitar jalan Thamrin dan Bundaran HI, karena sebagian area memang dibuat open air.

Kota Jakarta selalu bergerak, orang-orangnya adventurous, selalu mencoba hal-hal baru, maka klub-klub yang hadir harus memberikan sesuatu yang baru bagi mereka. Itu pula yang ingin dihadirkan oleh Immigrant, yang mempunyai tagline “Becoming One for Many”.

Ya, penduduk Jakarta yang super sibuk selalu membutuhkan hiburan untuk melepaskan kepenatan, para clubber membutuhkan keriaan yang sesuai dengan jiwa mereka yang dinamis. Suasana gembira, kilatan lampu, dan dentuman musik techno yang dimainkan oleh para DJ.

Dunia gemerlap (dugem) memang kagak ade matinye. Budaya clubbing sebetulnya lahir pada akhir dekade 1980-an di Eropa yang dengan kemajuan teknologi musiknya melahirkan house music. Klub-klub di Ibiza, Italia dan London menjadi surga berdenyutnya musik jenis ini. Seiring berjalannya waktu, musik ini juga berevolusi – dari house ke trance, lalu hardcore, jungle, progressive dan drum & bass.

Dari Benua Eropa budaya ini mulai mewabah ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Klub-klub musik dan tempat-tempat hiburan malam di kota-kota besar, sebutlah Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, dan Bali, bermunculan. 

Di Jakarta kita ingat ada Zodiak, Terminal One, M Club, B1 atau Poster Café. Bengkel adalah satu yang terbesar pada masanya kendati sekarang berubah konsep menjadi tempat karaoke. Masih banyak klub di wilayah Kota yang beberapa di antaranya masih eksis, sebutlah Hailai, Sydney 2000, Gudang, 1001, Millenium, Bvlgari, V2, dan juga Sands di Mangga Dua Square. Yang paling “angker” apalagi kalau bukan Stadium, yang kabarnya akan membuka cabangnya di luar Kota, tepatnya di Menara Imperium Kuningan. Dengan pengunjung yang membludak venue-venue tersebut menghasilkan rupiah yang berlimpah.

Selama ada massanya dunia clubbing di Jakarta tampaknya akan terus hidup. Entah itu di kawasan barat dengan musik yang lebih ritmenya lebh cepat, atau pun gaya selatan yang lebih stylish, bahkan cenderung “jaim” (jaga image). Selamat datang di dunia gemerlap malam! (Burhan Abe)

Appetite Journey, July 2009

In Vino Veritas (2)

0

Popularitas wine di Jakarta makin tinggi. Indikasinya tidak hanya makin banyak wine lounge yang berdiri, tapi ritual minum wine kini bak minum bir saja. Bukan berarti wine menjadi murahan, tapi wine kini tersosialisasikan dengan lebih baik dibandingkan dengan era sebelumnya.

Dulu hanya di hotel berbintang lima saja yang menyediakan wine, atau wine lounge di kawasan Kemang yang banyak ditinggali para ekspatriat. Kini, tempat minum wine mulai meluas wilayahnya, mulai dari Mega Kuningan hingga Kelapa Gading. Bahkan ada juga di mal-mal dan plaza-plaza. Sebutlah Cork & Screw yang cabang keduanya hadir di Plaza Indonesia.

Lokasi yang disebut terakhir ini sangat strategis, karena berada di lantai dasar dan berhadapan langsung dengan Bundaran HI. Suatu sore dengan view air mancur yang indah saya dijamu oleh yang empunya, Reeza Budhisurya. Kami memilih red wine Australia. Entah mengapa akhir-akhir ini saya suka anggur asal Negeri Kangguru itu. Apalagi ketika saya mem-posting foto-foto kegiatan wine tasting di Facebook, seorang teman yang kini tinggal di Canberra memberi komentar, “Kenapa nggak mencoba wine Aussie, nggak kalah dengan produk Prancis loh!” 

Ya, selera orang memang tidak sama, dan kebetulan lidah saya paling cocok dengan wine Australia, yang lebih light. Sebelumnya saya juga merasakan red wine Australia juga di The Wine Centre, milik Sarana Tirta Anggur, yakni Mid Day Shiraz. Rasa tidak bisa bohong, kata sebuah iklan. In vino veritas, dalam anggur ada kebenaran!

Tapi saya memang bukan wine expert, apalagi sommelier, jadi setuju saja dengan pilihan penjamu, yang tentunya lebih ahli. Dari merekalah saya banyak belajar wine, dari Reeza, Suryadi yang empunya The Wine Centre, atau Yohan Handoyo yang menulis buku “Rahasia Wine”, juga dari teman baik saya Dave Graciano, yang memang berkecimpung di F&B, termasuk wine. Mereka adalah orang-orang yang tidak pelit membagi ilmunya.

“Manusia telah membuat minuman anggur sejak sekitar lima ribu tahun yang lalu,” cerita Reeza. Wow, itu berarti pada zaman Nabi Nuh wine sudah ada.

Itu memang masih debatable, meski kalau saya mendebatnya tidak punya dasar, dan juga nggak penting. Tapi yang tidak bisa dimungkiri, wine adalah minuman yang populer di dunia – mungkin hampir menyamai popularitas kopi dan teh.

Negara-negara yang penduduknya banyak mengkonsumsi wine adalah Prancis, Italia, Amerika Serikat, Jerman, Spanyol, Argentina, Inggris, China, Rusia, dan Rumania. Jika tolok ukur yang digunakan adalah angka per kapita, daftar tersebut menjadi Luxemburg, Perancis, Italia, Portugal, Kroasia, Swiss, Spanyol, Argentina, Uruguay, dan Slovenia.

Tapi minum wine tidak seperti air biasa tentu, ada ritual tersendiri. Minimal, wine tidak untuk diminum sebagai “obat haus”, tapi sebagai teman makan, disebut juga sebagai social drink, sehingga wine tidak bisa diminum sendirian.

Mencicipi wine sebotol sendirian, selain memabukkan, jelas kurang elok. Apalagi tujuan mencicipi wine bukan untuk mabuk-mabukan, tapi sebagai sarana bersosialisasi. Sebuah klub pecinta wine “kelas atas” yang disebut Gran Cru saja membutuhkan 13 orang (jumlah yang optimum) untuk mencicipi sebotol wine premium – maklum, harganya ada yang Rp 50 juta per botol.

Deal Bisnis (dan Asmara) di Padang Golf

0

GOLF, tak pelak, menjadi pilihan olah raga yang mengasyikkan bagi para eksekuktif – sebagian besar pria. Tidak sekadar olah raga tentu saja, juga gengsinya, tapi yang menarik justru di luar urusan keluar keringat tersebut yang secara fisik tentu menyehatkan, banyak alasan lain yang membuat kegiatan yang satu ini terasa mengasyikkan. Tidak hanya deal-deal bisnis penting yang konon bisa terjadi di lapangan golf, tapi asmara pun bisa bersemi di padang hijau ini.

Yang terang, golf – paling tidak pembicaan tentang olah raga ini, kembali ramai. Apalagi kalau bukan dipicu oleh kasus asmara cinta segitiga antara dua pejabat tinggi yakni Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen dengan mantan Ketua Komisi Pemberantan Korupsi (KPK) Antasari Azhar dengan seorang caddy cantik Rani Juliani, yang berakhir dengan penembakan terhadap Nasruddin.

Yup, golf tidak hanya mengayun stick, tapi lebih sophisticated. Ada urusan sportivitas, ada urusan bisnis, ada juga urusan seputar asmara dan “esek-esek”. Olah raga yang berasal dari tradisi Skotlandia ini sudah dimainkan oleh orang-orang di Britania Raya sejak lebih dari lima abad silam. Salah satu bagian yang penting dalam golf adalah caddy. Kata caddy ini memang berasal dari bahasa Perancis, le cadet yang bermakna sebagai “anak laki-laki”, tapi profesi ini kini banyak dilakoni para perempuan – yang belakangan menjadi daya tarik tersendiri.

Tidak jarang memang, padang golf yang menyediakan caddy-caddy perempuan – selaian lapangannya yang menawan tentu saja, segera menjadi favorit bagi para pemain golf, baik yang amatir maupun profesional. Bahkan, golf tour ke sebuah negara yang dijual oleh biro perjalanan khusus, segera menarik perhatian kalau iming-imingnya adalah caddy-caddy-nya perempuan. “Memang tidak ada jaminan bahwa mereka bisa ‘dipakai’, dan itu memang urusan masing-masing personal. Tapi pegolf pria mana yang tidak bersemangat, kalau caddy-nya cantik dan seksi,” ujar Yudha Gunawan, konsultan pemasaran, yang sering mengikuti golf tour itu.

Profesional yang berkantor di segitiga emas Jakarta itu yang kerap menjuarai berbagai kejuaraan dan turnamen golf di tanah air itu tidak hanya menjajal lapangan golf domestik, tapi sering mencari tantangan baru ke luar negeri. Bisa berenam atau berdelapan dengan teman-temannya. Australia adalah salah satu destinasi yang disukai. Selain pemandangannya indah, jenis lapangannya juga unik. “Pernah saya berjalan di lapangan seluas sembilan kilometer persegi. Panas terik tak terhiraukan, apalagi saya bisa mendapat score tinggi,” ungkapnya.

Bermain di Joondalup Country Club, Australia Barat, adalah salah satu pengalaman yang tak terlupakan bagi Yudha. Betapa tidak, ketika mengayunkan stik dalam kesejukan udara, tiba-tiba di pinggir fairway berdiri sekelompok kanguru seakan menyaksikan permainan para pegolf yang sedang unjuk kelihaian lapangan golf 27 holes ini.

Lapangan golf yang sering disebut sebagai The Whole In One – karena fasilitasnya yang lengkap dan berkelas – bukan sekadar tempat olah raga, tapi juga tujuan wisata, sekaligus tempat tetirah yang memberikan suasana damai dan asri. “Pengalaman di padang golf selalu menyenangkan, tapi cerita di luar off court pun tak kalah serunya. Olah raga ini berawal dari lapangan, tapi sering berakhir di ranjang,” ujar pria 39 tahun itu lagi sambil tertawa.

Ia tidak menceritakan secara spesifik bahwa yang memberikan “pelayanan” di luar lapangan itu adalah caddy. Tapi ia mengatakan bahwa jika para pegolf itu menginginkan servis di luar urusan olah raga, bukan hal yang susah untuk didapatkan. Para agen perjalanan yang mengatur acara semacam ini pun pasti sudah mafhum dengan kebutuhan para kliennya, yang hampir semuanya pria.

Massage parlour

Di Indonesia kita memang belum mendengar ada pengelola lapangan golf atau penyelenggara turnamen golf yang terang-terangan “menjual” caddy perempuan sebagai caddy sebagai daya tariknya. “Prioritas pertama adalah penyediaan kebutuhan olah raga. Kalau ada caddy yang mencoba ‘macem-macem’ di luar urusan pekerjaan, pasti akan ada sanksinya, entah peringatan bahkan pemecatan,” ujar seorang pengelola golf course di bilangan Jababeka.

Tapi siapa yang menjamin bahwa golf course benar-benar steril dari urusan esek-esek. Apa pun bisa terjadi di padang hijau ini. Simak saja cerita Jack, sebut saja begitu. Bapak tiga anak yang berusia 42 tahun ini semula iseng-iseng saja bermain golf bersama teman-temannya, tapi kemudian ia keranjingan.

Tidak hanya olah raganya sendiri yang membuat badan semakin sehat. Tapi yang membuat ia ketagihan adalah adanya pelayanan massage parlour setelah beroalah raga. Dengan pijatan profesional dari MP tersebut, badannya yang kelelahan sehabis bergolf ria dan berjalan kaki berkilo-kilometer, langsung bugar.

Sebetulnya MP tersebut bukan bagian dari pelayanan yang ditawarkan pengelola padang golf tersebut, tapi didatangkan Jack dari luar. Jack pun tidak pernah berprasangka apa-apa sampai sang MP ternyata memberikan pelayanan lebih. Yang dipijat MP ternyata bukan hanya dengan tangan saja, tapi ada all in, dan ending-nya silakan tebak sendiri. Memang, apa pun bisa terjadi di padang golf. Bukan hanya deal bisnis, tapi urusan esek-esek hingga skandal asmara pun bisa terjadi. Pemian olf tidak hanya konsentrasi di lubang-lubang di lapangan saja, cewek caddy pun disebut-sebut sebagai hole yang lain dari permainan olah raga bergengsi ini. (Burhan Abe)  

POPULAR, Juni 2009

Distinguished Buzz at Dragonfly

0

Themed “The Final Thursday Industrie-Red Carpet Affair,” Dragonfly threw a spectacular bash last Thursday night presented DJ Jayo and DJ Rama as well as fashion show by Jakarta’s socialites.

The idea of inviting a number of socialites to stage at the party is a reflection of Dragonfly as a nest for sociable character people who appreciate the art of living, according to Amanda Putri, the club’s marketing and promotion manager. Pointing at the crowd, she exclaimed, “It’s another one of a kind happening event!”

Indeed, socializing with people from different walks of life accompanied by clubby soundtrack of funky house put the crowd in a jovial mood. The Thursday night’s event was interesting in a way that the club designed the party to fit those whose career are in the field of industry like that of fashion, law, music, telecommunication, banking, oil and gas, to name a few.

Nevertheless, quite a few guests from non-industrial career background were seen at the event owing to the club’s hot spot. “Spun by talented DJs, the music really elevates me. And if it gets too loud, you can just simply move to the restaurant side for a chill out,” Ade, one of the guests, told The Jakarta Post. “Or go to the right side to jam on the dance floor.”

To deliver the best quality of dance music, Dragonfly has hosted a myriad of world-class DJs and acclaimed entertainers such as DJ Nixon and Louie Vega, respectively.

Situated at Graha BIP building on Jalan Gatot Subroto has since last year reincarnated into becoming a smarter looking venue. After being renovated, the hottest restaurant and lounge are conjoined so as to provide a night-out experience to the fullest.

Having the concept created by the Ismaya Group, Dragonfly serves a variety of well-designed menu that allows visitors to have the taste of both east and west. In addition to serving the savory modern Asian cuisine, the restaurant at Dragonfly includes tapas menu of Spanish and Canadian. Nevertheless, the food has the strong influences from the Indochine region with the taste of sweet, hot, sour and salty. Deep fried marinated calamari and sweet and sour orange stir-fried dory fish are among the menu’s favorites.

Along with the menu to tickle the visitors’ palate, an array of selected wines and seductive Asian cocktails are lined up to boost the spirit. With the special Thursday all night long, visitors can get great deal for selected wines. Dragonfly Martini and Grilled Lime Mojito are respectively among the club’s drink signatures and stick drinks.

“But you should try the long and powerful cocktails on the list like One Night Stand and Illusion,” Michael, an expatriate from an oil company suggested adding, “Sipping a glass of wine while enjoying egg croquette tapas in a Dragonfly’s lively relaxing ambience creates a vibrant lifestyle.”

Awarded one of the top ten design bars by an acclaimed media, Dragonfly has created a unique decoration that can be described as modern Asian elegant, though many will agree with the term “avant-garde.” Embedded within the club’s contemporary wall lighting is an alluring leaf patterns, an essence of Asian influence of vintage old wood and seductive translucent lightning.