Home Blog Page 93

Fidel Castro versus Demi Moore

0

Produk gaya hidup itu bernama cerutu. Bukan sekadar gulungan tembakau, tapi ada citra dan gengsi pengisapnya. Cerutu kini tidak hanya monopoli pria, tapi wanita pun ikut menikmatinya. Dengan emas coklat itu, kata orang, wanita terlihat lebih seksi. Hmm! (Burhan Abe)

“Women & Cigar”. Tema itulah yang diusung pada acara pesta yang berlangsung di Zen Bar & Lounge, Jakarta Jumat, 30 Juli lalu. Venue yang terletak di Menara Thamrin, Gedung Parkir lantai 8 itu tak ayal kebanjiran pengunjung, acara unik tersebut berhasil mengundang rasa penasaran para partygoers Ibu Kota.

Jam menunjukkan pukul 23.00. Keriaan pun makin seru. Para penari seksi bergoyang di bar berbentuk U yang dijadikan panggung. Iringan musiknya yang biasanya techno, kali ini digabungkan dengan petikan gitar live yang kental dengan nuansa Latin, sesuai dengan asal cerutu. Di panggung itu pula, pada sesi berikutnya, para peragawati berlenggak-lenggok bak di catwalk, mengenakan berbagai busana, mulai dari busana malam yang anggun hingga bikini yang seksi. Tidak lupa, di salah satu adegan, di mulut mereka terselip cerutu. Wow!

Lalu, apa hubungan antara wanita dan cerutu? “Penggemar cerutu di Jakarta tidak banyak, dan hampir semuanya pria. Kami ingin mensosialisasikan bahwa perempuan pun layak mengonsumsi cerutu,” tutur Yadie Dayana, Operations Manager PT Gemilang Cahaya Utama (GCU), distributor sejumlah merek cerutu asal Dominika, sponsor utama acara malam itu.

PT GCU sahamnya dimiliki oleh Java Match Factory, perusahaan patungan antara pengusaha domestik yang berkedudukan di Surabaya (60%) dan perusahaan global Swedish Match (40%) – manufaktur dan distributor cerutu premium di dunia. Pada 2001 mereka membuka cigar outlet pertamanya di Asia, yang diberi nama Club Macanudo, tepatnya di Hotel Shangri-La, Jakarta. Kini, gerai yang menyediakan 200-an merek cerutu itu tidak hanya terdapat di hotel tersebut, tapi sudah tersebar di 27 tempat lainnya di Jakarta, satu di antaranya di The Peak, Bandung.

Club Macanudo memang bukan klub untuk cigar society yang pertama, karena beberapa tahun sebelumnya, yakni tahun 1997 sudah ada klub serupa, namanya Lacasa del Habano, yang berpusat Hotel Mandarin Jakarta, yang primadonanya adalah cerutu-cerutu eks Kuba. Sebutlah Cohiba, Montecristo, Partagas, Hoyo de Monterrey, Romeo Y Julieta, H Upmann, Puch, Sancho Panza, Trinidad, Vegas Robaina, dan Bolivar.

Cerutu memang lahir di Kuba dan “ditemukan” Columbus pada tahun 1492, tapi kini produsennya ada di beberapa negara, serta penggemarnya sudah merebak ke seluruh dunia. Di Indonesia, menurut Yadie, saat ini penjualan premium cigars – kebanyakan eks negara-negara Karibia (Dominika, Kuba, Jamaika, Brasilia, Nikaragua, Honduras, dan lain-lain) – baru 7.000 batang (terbesar dari Club Macanudo, 2.500 batang) per bulan. Nilainya sekitar Rp 500 juta.

Tidak besar memang. Jangankan dengan AS yang penjualan cerutunya terbesar di dunia, dibandingkan dengan negara sesama Asia saja, sebutlah Hong Kong, Indonesia belum ada apa-apanya. Di negara kepulauan itu satu gerai mampu membukukan penjualan sekitar 3.500 dolar AS (setara dengan Rp 30 juta) setiap bulannya. Padahal setiap hotel berbintang lima di sana pasti mempunyai cigar outlet.

Memang, menjual cerutu tidak seperti menawarkan barang komoditi biasa, tapi menjual gaya hidup.Cerutu bukan sekadar gulungan tembakau tapi ada citra dan gengsi di sana. Menikmati cerutu barangkali mirip dengan mengapresiasi wine, cognac, liquor, champagne, dan sejenisnya. Lebih jauh, seperti yang dikatakan pemikir budaya pop David Chaney, produk gaya hidup seperti Porsche, jins, juga cerutu, adalah semacam artefak budaya material yang mempresentasikan identitas sosial pemakainya.

Secara faktual cerutu memang disukai tokoh-tokoh dunia yang kharismatis, sebutlah PM Inggris pada Perang Dunia II, Winston Churchill, pemimpin revolusi Amerika Latin Che Guevara, tokoh legendaris AS John F. Kennedy, gembong mafioso Don Corleone, bintang Hollywood Bill Cosby, Tom Selleck, hingga penyanyi seriosa Luciano Pavaroti.

Lembar Sejarah Cerutu Indonesia

0

Cerutu tidak monopoli Kuba, atau negara-negara Karibia. Indonesia ternyata juga salah satu produsen cerutu yang patut diperhitungkan. Setidaknya, bahan baku tembakaunya telah memasok kebutuhan cerutu dunia.

Pada pra kemerdekaan RI, cigar culture ditularkan oleh Belanda. Kebiasaan mereka bercerutu dari negeri asalnya tidak bisa dihentikan ketika mereka berada di Indonesia. Mereka tidak hanya membawa cerutu dari Eropa dan negera-negara Amerika Latin, mereka juga membudidayakan tembakau di Indonesia, terutama di Deli (Sumatera Utara) dan Besuki (Jawa Timur), yang sampai kini dikenal sebagai tembakau berkualitas tinggi.

Selain mempunyai kebun-kebun tembakau, pada saat itu di Indonesia juga berdiri beberapa pabrik cerutu (dan industri rokok, tentu saja). Kini, boleh dikatakan hanya industri rokok yang masih bertahan, bahkan beberapa di antaranya meraksasa dan menyumbang cukai sangat besar untuk negara, seperti Djarum, Gudang Garam, Dji Sam Soe, dan lain-lain. Tapi sayangnya, industri cerutu yang survive agaknya bisa dihitung dengan jari, di antaranya yang diproduksi PD Tarumartani, perusahaan milik keluarga Kraton Yogyakarta. Sementara merek cerutu yang diproduksi indutsri rokok besar adalah Wismilak dan Dos Hermanos.

Hanya saja, dua merek yang disebut terakhir bukan berasal dari tradisi lama, tapi dilahirkan setelah melihat peluang pasar yang besar di industri cerutu. PT Djarum, misalnya, menciptakan produk cerutunya pada Mei 1977, setelah sebelumnya sempat melakukan serangkaian riset mendalam di Honduras dan Amerika Serikat. Produk perdananya adalah cerutu long filler dengan standar internasional.

Kualitas dan kestabilan rasa cerutu Indonesia ini ternyata tidak kalah dibandingkan dengan premium cigars yang lain. Itu sebabnya, gulungan tembakau asal Kudus ini berhasil diterima di mancangera, seperti Belanda, Belgia, Jerman, Singapura, dan beberapa negara lainnya. Nama Dos Hermanos sendiri sebenarnya baru dipakai pada September 1999 untuk pasar Indonesia. Namun demikian produk ini juga disukai para turis asing, bahkan sering dibawa ke manca negara sebagai cindera mata asal Indonesia.

So pasti, Dos Hermanos – yang masuk dalam rating bergengsi dari majalah Cigar Afficionado, juga Wismilak, adalah cerutu made in Indonesia, yang ikut meramaikan pasar cerutu dunia. (Burhan Abe)

Majalah SWA, 02 September 2004

Tips dan Ritual

0

Menikmati cerutu membutuhkan waktu sekitar 30 menit hingga satu jam. Utuk itu diperlukan suasana yang nyaman, dengan ritual tersendiri. Menikmati sendirian di ruang tertentu sambil mendengarkan musik, misalnya, memang tidak dilarang, tapi tidak direkomendasi.

Seperti wine, pera penggemar cerutu biasanya memuaskan hobinya dengan berkumpul di suatu tempat bersama-sama. Bisa di klub khusus atau di restoran mewah. Tidak jarang disertai makan malam dalam acara yang disebut sebagai cigar dinner. Atau dalam pesta seru yang belakangan ini sering diadakan di kafe-kafe di Jakarta.

Mengapresiasi cerutu bisa dilakukan sambil mengobrol dan membahas topik-topik tertentu secara santai. Bisa topik ekonomi dan bisnis, atau topik ringan sehari-hari, tapi bisa juga soal politik, tergantung siapa yag terlibat di dalam acara dan obrolan tersebut.

Tidak ada aturan khusus untuk bercerutu ria. Namun ada beberapa hal yang harus diketahui oleh cerutuwan dan cerutuwati pemula. Misalnya, ketika memilih cerutu yang bagus, seorang ahli biasanya meremas-remas lembut dekat telinganya. Kualitas cerutu konon bisa dideteksi dari suara yang dihasilkannya. Setelah acara pemilihan, barulah ujung cerutu digunting dengan cutter khusus. Sementara untuk menyalakannya pun tidak boleh sembarangan. Ada yang memakai kayu cedar, tapi ada juga yang memakai lighter khusus, supaya aromanya tidak bercampur dengan aroma yang lain.

Mengisapnya pun ada seninya, tidak boleh sampai habis. Bahkan kalau masih panjang, bisa disimpan kembali dan diisap ketika ada kesempatan lain. Agar cerutu dalam kondisi yang tetap prima, sebaiknya peyimpanan dilakukan di humidor, kotak khusus untuk cerutu. Suhu ruangan tidak boleh lebih dari 18 derajat Celsius dengan kelembaban 70-75 persen.

Seperti rokok, asap cerutu juga bisa membahayakan paru-paru. Nikotinnya merusak kesehatan. Hanya saja, tingkat bahayanya lebih ringan ketimbang rokok. Maklum, cara mengisap cerutu tidak sampai mendalam, asapnya hanya dikulum di sekitar mulut, kemudian dikeluarkan secara perlahan-lahan. Agaknya dengan cara inilah nikotin bisa direduksi. Untuk bisa mendapatkan kenikmatan yang lebih mendalam, beberapa orang suka memasangkannya dengan minuman, misalnya wine – hanya saja penggemar wine tidak sependapat, karena aroma wine akan dikalahkan cerutu –, cognac, whiskey, atau cappucino. Yang terakhir ini sering dilakukan oleh Addie MS. (Buhan Abe)  

Majalah SWA, 02 September 2004    

How to Handle Premium Clients

0

Although the number of premium clients is small, they contribute the largest portion of a bank’s turnover. That is why banks have started to pay full attention to VIP clients by applying various marketing strategies, such as providing special interest rates, offering merchandise at discounted prices or offering personalized financial management.

There are various names for such services, with banks calling it personal, priority or private banking. The premium banking market has a lot of potential as there are about 1.5 million people in the country with an average income of Rp 500 million per year. Some bank managers estimate the number to be double that. As an example to demonstrate the size of the contribution to banks by premium clients, BCA says 80 percent of its assets originate from high income customers, making it no surprise that BCA is aggressively marketing BCA Prioritas.

To join this program, a customer is required to deposit at least Rp 250 million. Currently, BCA serves its priority customers in special VIP rooms at 114 branches throughout Indonesia. In addition, there are also executive lounges at 20 main airports in the country.

The bank also regularly offers such clients exclusive items at special prices, such as property, luxury cars, paintings and shares in line with the bank’s slogan for the products, “exclusively for BCA’s priority customers”.

Undeniably, today’s customers demand that a bank understands their needs specifically and individually. Wealthy clients demand not only topnotch services, but also return on investment, security and convenience. These are some of the challenges faced by domestic banks in the form of private banking and wealth management with facilities that meet customers’ requirements. Also provided are personalized and customized services.

Each customer is served by a special “relationship manager” who provides consultation and various facilities, including specially designed programs that cover banking and non-banking transactions. It is not only BCA that is being aggressive in this field. Bank Internasional Indonesia (BII) also strives to keep its premium customers happy.

On Aug. 27, the bank held an event called “Grandparents’ Day” in appreciation of its BII Platinum Access wealth management customers at Hotel Darmawangsa, South Jakarta. The event was a family program offering activities for all members of a family — grandchildren, parents and grandparents — such as story telling, face painting, handprints of grandparents and grandchildren, T-shirt painting and a children’s performance.

“All this is in line with our theme, family banking, which has been incorporated into BII Platinum Access,” said Sanjay Kapoor, director of BII consumer banking.

BII Platinum Access has been developed with the bank’s wealth management program as one of its priority services. BII also provides services that give clients end-to-end benefits through highly personalized service by trained investment staff. Among the services and facilities offered by the bank are asset management, wealth management, special privileges, global information services, personalized assistance and worldwide services.

Some of the products offered are bancassurance, mutual funds, time deposits and savings and checking accounts. Other investment tools are structured investment and government bonds. BII Platinum Access was introduced in May 2003 and is available at branches in Jakarta (BII Thamrin, Wisma Mulia, Kelapa Gading, Pondok Indah and Puri Kencana), Medan, Surabaya and Bandung. Wealth management is becoming increasingly popular.

Competitions Amidst ptimism

0

The country’s political map may be changing, but the automotive industry can sigh in relief as it has largely remained unaffected. The various elections for regional heads and governors has not shaken the domestic automotive business at all. Will Angove, president director of Ford Motor Indonesia, said that this year the company’s sales had increased and as of August sales had been recorded at 3,600 vehicles, including 938 Escapes, 1,238 Everests, 518 Focuses and 428 Rangers. “In total, Ford’s sales in 2007 have increased 56 percent from 2006,” he said.

Although 2006 was not a very bright year for Ford in terms of local sales, Angove is optimistic that the situation will turn for the better.

Data at the Association of Indonesian Automobile Manufacturers (Gaikindo) say car sales in Indonesia reached 300,000 vehicles last year, but by the middle of 2007 car sales had surpassed 320,000 units. It is predicted that the number will reach 410,000 vehicles by the end of the year. “Next year car sales will likely reach 500,000 units, just like in 2005,” Angove said.

Indeed, competition is getting tougher among premium car brands. To fight in this segment Ford relies on a number of strategic factors: products are designed for the Asia Pacific market, especially Indonesia; a wide sales network comprising 26 stores; resale value; as well as highly skilled and comprehensive principal dealer manpower, from sales force to mechanics.

Apart from marketing its luxury brands, Ford is full of optimism about its preparations to enter another lucrative segment next year — small cars. Funds are being made available for the Ford Kuga and Ford Verve, which are manufactured in Thailand.

Equally optimistic about business is Astra International president director Michael D. Ruslim. He was predicting two years ago that the automotive industry would experience a revival in 2008. The improvement, he said, was in line with the development of infrastructure that would boost investment in Indonesia. Should people’s purchasing power be still low in 2007, then 2008 would be a recovery year.

However, Toyota still remains the market leader in Indonesia. In the middle of 2007, Toyota enjoyed a market share of 33.7 percent with sales of 12,927 vehicles comprising Kijang Innova, Avanza and Camry.

A survey conducted this year by an international organization, J.D. Power Asia Pacific, indicated that Toyota was top of the Customer Satisfaction Index (CSI) as the best brand selected by customers. “We are optimistic that domestic car sales will keep growing as the macro economy has become more stable, and it is home-coming time at Lebaran, so car sales will pick up by between 10 and 20 percent,” said Johnny Darmawan, president director of PT Toyota Astra Motor.

His confidence seems well founded, because the Islamic New Year or Lebaran is often a time to buy new things, from new clothes to new cars. So, a car seems to be another logical item on the shopping list. Domestic car sales have always increased during Lebaran.

Returning to hometowns has been a tradition in this country for decades. Although airfares have become cheaper, many people still prefer to travel by car with their family members. Of course, cars that suit such trips have spacious cabins and luggage space to enable passengers to carry gifts for their relatives and neighbors in their hometowns.

Virtual Office: Office Image and Solution

0

Tipuk Satiotomo has a major headache. After devoting herself to being a housewife for several years, Tipuk, a public relations officer, yearns to be active again. She would like to start up her own business, especially since a large company has entrusted her with its public relations affairs.

It would be impractical for her to set up an office in her home in Bekasi, West Java. Tipuk, a mother of three, would like to have a decent office in Jakarta. She imagines the ideal office to be several rooms in a building that is furnished with standard office furniture, such as desks, chairs and communications equipment. It also would have a secretary or a telephone operator. Unfortunately, due to financial constraints, she does not think she can have the office that she envisions.

Tipuk is not the only one to get a headache thinking about an office. Many people would like to start their own business but, for financial reasons, cannot afford to rent a house, a shop-house, let alone office space in a high-rise building, to use as their place of work. If only they were familiar with the instant office concept, or the virtual office, then their problem would be solved.

Indeed, providers of instant office services can be found in major cities like Jakarta, where rent for office space is high. CEO Suite was the first to provide this particular type of service. Today, however, more and more companies offer business services and facilities at relatively low rates. Such services are often advertised, offering virtual offices located in prestigious places such as in Jakarta’s Golden Triangle.

Virtual office services are offered at rates ranging between Rp 500,000 and Rp 1 million monthly. Meanwhile, if you want to rent office space, the rates range between Rp 7.5 million and Rp 15.5 million a month. As the rates are in rupiah, they will not be burdensome to lessees in Indonesia.

Although the rates are relatively low, it should not be assumed that only minimum facilities are provided. Besides basic facilities — such as a fully furnished office, electricity, air-conditioning, a telephone line, a fax machine and a photocopier — receptionists and a 24-hour security system are also provided.

There is also a lobby where you can receive guests and a meeting room, which you can rent on an hourly basis and use for internal meetings or for meetings with clients. To make all this operational, a virtual office comes with a secretary, who will take phone calls and receive your clients. For extra, telemarketing can even be conducted.

One instant office provider is Asia Suite. As advertised, Asia Suite facilitates businesspeople in organizing business activities, such as correspondence, communications and meeting venues.

The following may serve to illustrate the services that Asia Suite provides. Jeff, for example, has a software business with a workshop in his house. To facilitate his business, he uses the Virtual/Instant Office service from Asia Suite. One of the benefits of using this service is that Jeff no longer needs to take his business partners to his house, which is far from the city center, for business or coordination or for a product demo. His business partners simply go to the Virtual/Instant Office of Asia Suite, which is located downtown.

Jeff may use the address of Asia Suite on his business cards and on his letter head, therefore augmenting the value of his business prestige. If a letter addressed to Jeff arrives or if someone phones to speak to him, he is immediately notified by SMS so that he can pick up the letter or phone back the caller.

Memanfaatkan Gaya Hidup Menjadi Ladang Bisnis

0

Mengikuti gaya hidup tertentu kata orang identik dengan menghambur-hamburkan uang. Bisa jadi, karena kebiasaan merawat diri di salon, nongkrong di kafe, serta berburu fashion dan aksesoris bermerek, misalnya, tentu harus mempunyai kecukupan finansial. Tapi jangan salah, justru dari gaya hidup ada yang bisa menjadikannya sebagai ladang bisnis yang menguntungkan. (Burhan Abe)  

Tidak selamanya Olga Lydia berjalan di catwalk. Model cantik berkulit terang ini ternyata tertarik terjun ke dunia bisnis. Bersama teman-temannya ia menanamkan uangnya untuk mendirikan La Forca, Pool & Lounge, yang mulai beroperasi sejak November 2004. Music lounge seluas 700 meter persegi yang dilengkapi 19 meja biliar itu berlokasi di Setia Budi Building, Kuningan Jakarta. “Sejak lama sebenarnya saya ingin berbisnis, tapi belum menemukan bidang yang cocok. Dari banyak pilihan, kayaknya saya cocok dengan yang sekarang ini,” ujarnya.

Olga menggagas bisnisnya dalam naungan PT Lima Perintis. Kebetulan para pendidi perrusahaan ini tahu banget soal biliar, bahkan tergolong maniak. Sedangkan Olga sendiri mengaku tidak asing dengan yang namanya kafe, klub, music lounge, dan sejenisnya. “Basic-nya adalah life style, dan saya memang dekat dengan itu,”ujar pemain sinetron dan film itu – film terbarunya berjudul 12 am saat ini sedang diputar di bioskop-bioskop di Jakarta dan beberapa kota besar di Indonesia.

Lajang 29 tahun ini mengaku sangat menikmati peran barunya sebagai promotion manager. Yang aneh, katanya, tanpa bujet promosi ia berhasil menggaet banyak pengunjung ke tempatnya. Itu antara lain karena networking yang ia bina selama ini. Klub yang menyasar kalangan eksekutif itu pada Jumat dan Sabtu bahkan bisa menggaet sekitar 200 orang. Pertama, karena lokasinya yang strategis. Kedua, orang-orang yang suntuk seharian bekerja, sambil menunggu macet reda, butuh santai sejenak, dan La Forca adalah tempat yang cocok untuk itu, kata Olga memberikan analisis.

Olga bukannya tidak percaya dengan dunia entertaimen yang membesarkan namanya, lulusan teknik arsitektur ini tidak ingin selamanya menjadi “pegawai”meski sejatinya kata tersebut tidak tepat diterapkan dalam industri hiburan, tapi ia ingin juga merintis jalan sebagai entrepreneur. Presenter beberapa acara TV itu enggan mengungkapkan sisi-sisi bisnis La Forca, seperti besarnya besarnya investasi serta pendapatannya setiap bulan, tapi melihat animo masyarakat yang demikian besar terhadap La Forca, ia berharap bahwa break event point akan lebih cepat dari yang diperkirakan. Tidak lebih dari dua tahun.

Photo by Gallery 7 Star on Unsplash

Menjadikan gaya hidup sebagai ladang bisnis memang bukan cerita baru. Sebelumnya, langkah serupa juga ditempuh Sonia Wibisono, 27 tahun, dokter yang lebih banyak berkecimpung di industri hiburan. Model, presenter, dan bintang iklan ini membuka restoran Thailand, Sup Sip di kawasan Dharmawangsa Square dan butik Shanghai Tang di Plaza Senayan Jakarta.

“Saya seorang dokter, dan dokter itu adalah profesi yang tujuannya membantu sesama, bukan mencari uang. Nah, seperti yang sering diingatkan kedua orang tua saya yang juga dokter, kalau ingin mengumpulkan uang, lebih baik dari bidang lain,” ujar pemilik tinggi 165 cm dan berat 44 kg yang hobi menari, teater, dan mendesain itu.

Kalau toh yang dipilihnya adalah kafe dan butik, Sonia mengaku karena ia tertarik dengan dua bidang yang sangat dekat dengan gaya hidup. Dan yang pasti, bisnis tersebut cukup menjanjikan, dan tidak terlalu besar untuk skala pemula seperti Sonia. “Start with something small, kafe dan butik adalah kebutuhan primer manusia. Saingannya memang banyak, karena itu harus pintar pintar memilih konsep yang unik, dan lain dari yang lain. Jadi mempunyai kelas dan konsumen tersendiri yang loyal,” ujar istri Robert Wardhana, yang memberinya seorang putra, Ramses (1,2 tahun) itu.

Seni Pertunjukan Indonesia di Pasar Dunia

0

Betapa beragam dan dahsyatnya karya seni pertunjukan Indonesia, seperti yang mereka tampilkan di Indonesia Performing Arts Mart (IPAM) ke-3 di Bali, 6 – 9 Juni 2005. Mereka memadukan unsur bunyi, gerak, kostum, dan tata panggung dengan baik. Mengapa masih ada di antara kita yang meragukan potensi luar biasa ini, dan justru bangsa asing yang memberikan apresiasi tinggi? (Burhan Abe)

Slamet Gundono, dalang Wayang Suket, memukau para penonton yang memadati salah satu arena pertunjukan di Hotel Nusa Dua Beach, Bali. Ambil bagian di Indonesia Performing Arts Mart (IPAM) ia memainkan Celangan Bisma, yang menceritakan perkawinan Bisma dengan Dewi Amba.

Para penggemar wayang, setidaknya yang pernah membaca komik wayang karya RA Kosasih, misalnya, pasti tahu persis tentang Resi Bisma dalam lakon Mahabarata itu. Tapi di tangan Slamet, cerita menjadi terbalik, minimal tidak berjalan sama persis dengan pakemnya. Menjadi tontonan yang menarik, bahkan cenderung lucu. Dengan bahasa Jawa dialek Tegal, yang kadang-kadang diselipi bahasa Inggris, Slamet yang bertubuh tambun itu tidak sakadar bertutur sebagaimana layaknya dalang, tapi juga ikut menari. Ia juga dibantu penari beneran yang memperkuat pengadeganan dalam lakon tersebut.

Slamet hanya salah satu penampil. Penampil lain yang juga mendapat sambutan hangat adalah Rury Nostalgia. Tari Kumala Bumi hasil karyanya, yang pernah dipentaskan di hadapan delegasi Republik Rakyat China di Istana Negara saat Konferensi Asia Afrika, April lalu, ditampilkan kembali, meski hanya sepenggal, 15 menit. Tarian yang dibawakan sembilan perempuan dalam formasi bedaya itu berkisah tentang legenda Ménak Jayengrana, pertarungan dua putri, yakni Putri Kelaswara dari Kerajaan Kelan dan Putri Adininggar dari negeri China, untuk memperebutkan cinta Jayengrana dari Kerajaan Puser Bumi.

Inilah karya keempat Rury setelah sebelumnya ia menyusun koreografi Bedah Madiun (2000), Kelaswara Tanding (2002), dan Roro Mendut (2003). Namun, dalam tiga koreografi terdahulu itu, Rury masih berada di bawah nama Padneswara, sanggar tari milik ibunya yang melenga di dunia tari klasik, Retno Maruti. Dalam Kumala Bumi, ia tampil dengan labelnya sendiri.

Meski “sampel”, karya Rury, juga suguhan Slamet, mendapat aplaus yang positif dari penonton, yang terdiri dari para presenter internasional (yang terdiri dari manajer artis, promotor, agen, dan produser) dari berbagai penjuru dunia yang datang pada waktu itu untuk “belanja” seni pertunjukan yang ditampilkan dalam acara tersebut.

Lebih dari 30 agen pertunjukan dan pemantau budaya dari Singapura, Afrika Selatan, Amerika Serikat, Jepang, Jerman, Kanada, Belanda dan Indonesia sendiri tentunya, tampak terhenyak menyaksikan 20-an karya seni pertunjukan Indonesia yang terdiri dari berbagai kategori – tradisional, klasik, modern, dan kontemporer, mulai dari pentas musik, drama dan wayang. Semuanya ditampilkan bergantian di Keraton Ballroom dan Kertagosa Ballroom.

Selain Slamet dan Rury, beberapa nama peserta lain yang tampil adalah Keraton Mangkunegaran (Solo), Metadomus (Jakarta), Nurroso Art Community (Solo), Rury Nostalgia (Jakarta), Independent Expression (Solo), Nyoman Sura Dance Company (Bali), Wayan Sadra and Friends (Bali), Nan Jombang (Padang), Agung Suharyanto Ensemble (Medan), Laksemana Dance Center (Pekanbaru), Sahita (Solo), dan Studio 28 (Kendari). IPAM ke 3 ini juga menampilkan beberapa peserta yang dinilai lebih berorientasi ke pop, seperti Simak Dialog, Didi AGP, dan Wayan Balawan bersama kelompoknya, Batuan Etnik.

IPAM yang digagas I Gde Ardika saat menjabat Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, adalah program pemasaran seni pertunjukan Indonesia ke pasar internasional, dengan mengundang para calon pembeli potensial seni pertunjukan Indonesia dari manca negara, untuk dipertemukan dengan para performing artist Indonesia.

Bayangkan, Indonesia adalah negara kepulauan yang berpenduduk lebih dari 220 juta orang, dengan keberagaman tertinggi di dunia. Bangsa yang terdiri dari ratusan kelompok etnis, bahasa dan dialek. Unik, khas, dan atraktif. Setiap kebudayaan yang bersumber dari khasanah tradisional mempunyai nilai-nilai luhur yang tumbuh dari waktu ke waktu. Kebudayaan yang agung dan adiluhung tersebut telah menginspirasikan para seninam untuk berkreasi dengan karya-karya mereka yang indah. Hanya saja, karya-karya tersebut akan menjadi kenangan jika tidak ada “pembelinya”, komunitas penontonnya.

Kemajuan Istri, Dorongan Suami

0

Kata orang, suami berperan penting bagi karier isteri. Tapi sampai batas mana perempuan boleh berkarier? Benarkah isteri yang terlalu maju, merupakan “ancaman” bagi suami? Ditulis oleh Burhan Abe.

Beberapa waktu yang lalu secara tidak sengaja saya nonton sebuah talkshow di TV. Temanya “perempuan dan karier”. Memang tema klise sih, dan terkesan jadul (jaman dulu), seolah-olah hidup kita hidup pada jaman Siti Nurbaya, yang kaum perempuannya tidak bisa memilih dan menentukan sendiri jalan hidupnya. Tapi berhubung dipandu oleh host yang cantik dengan seorang bintang tamu selebriti yang juga cantik, mata saya tertahan dan tidak jadi memencet remote control, pindah ke channel lain.

Ada juga pembicara lain, seorang pria eksekutif muda, bapak dari dua orang anak, yang tergolong sukses. Juga serta seorang pengamat, tepatnya, perempuan aktivis dari YLBHI yang baisa memberikan bantuan hukum kepada kaum perempuan yang bermasalah, baik dalam lingkungan pekerjaannya maupun dalam rumah tangga.

Pembicaraan tersebut tergolong lancar, bahkan tidak ada gejolak-gejolaknya. Jayus banget, istilahnya masa kini! Tidak seperti acara talk show dari luar sono yang dipandu Oprah Winfrey, apalagi Ricky Lake yang selalu seru, bahkan kadang-kadang tidak jarang terlontar umpatan kasar dari para pembicara. Apakah karena orang Indonesia orang-orangnya kurang ekspresif dalam mengungkapkan perasaannya, atau bahkan pandangan orang bule kita budaya Timur terkesan introver, sehingga acara yang saya saksikan tersebut rada monoton, jauh dari konsep modern tontonan talk show masa kini.

Itu sebabnya, tidak semua pembicaraan bisa menancap di benak saya dengan baik. Tidak ada pertentangan yang berarti. Hampir semua pembicara sepakat, tidak ada perdebatan, bahwa perempuan berkarier itu wajar dalam jaman modern seperti ini, bahkan ketika ia sudah berstatus menjadi isteri. Saya cuma menggarisbawahi ketika sang pria berpendapat, kira-kira begini, “Isteri saya adalah seorang ibu rumah tangga, tapi saya memberikan kebebasan kepada dia kalau dia ingin bekerja.”

Tidak ada yang salah, seorang perempuan memang tidak harus bekerja, tapi juga punya hak untuk menjadi ibu rumah tangga saja – yang menurut saya tidak kalah mulianya dengan pekerjaan publik. Tapi kalimat suami tersebut bahwa akan “memberikan kebebasan” kepada isteri, justru menerbitkan tanda tanya bagi saya. Bukankah kebebasan itu milik semua orang? Sejak kapan kebebasan hanya monopoli suami, dan isteri hanya mendapatkan kebebasan jika diberi izin oleh suami?

Pendapat tersebut memang sering disuarakan oleh kaum feminis, dan saya hanya mengiminya saja. Apalagi, saya termasuk suami yang sangat mendukung kemajuan isteri. Cielah! Saya bukan tipe suami yang takut jika karier isteri melesat, bahkan jauh melebihi suami. Bukankah sejauh-jauh bangau terbang, pulangnya ke kubangan juga. Emang nggak nyambung!

Yang jelas, setelah isteri saya agak lama vakum, sayalah yang mendorongnya untuk bekerja kembali. Sama sekali bukan karena merendahkan pekerjaannya sebagai isteri dan pengasuh anak, tapi perempuran harus mempunyai kegiatan yang positif di luar rumah. Dengan demikian wawasannya menjadi luas, juga mempunyai angle yang juga positif dalam memandang dunia.

Tidak hanya berkutat di rumah, nonton TV, mengasuh anak, dan melakukan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang melekat pada perempuan, sebutlah memasak, mencuci, menyetrika. Padahal pekerjaan-pekerjaan yang dianggap “perempuan” seperti itu menurut saya adalah tanggung jawab bersama, tidak berdasarkan gender. Bahwa pekerjaan tersebut diberikan kepada baby sitter dan pembantu rumah tangga, karena kita tidak bisa mengerjakannya sendiri, itu soal lain.

Pernikahan itu menurut saya semacam kontrak sosial, perjanjian antara suami dan isteri yang mengikatkan diri dalam sebuah ikatan rumah tangga. Suami dan isteri tidak harus melebur menjadi satu, tapi masing-masing individu mempunyai kehidupan pribadi sendiri-sendiri. Masing-masing mempunyai kesenangan sendiri, hobi, temen-teman, network, pendeknya masing-masing individu harus berkembang. Tidak hanya suami, isteri pun berhak untuk mempunyai kegiatan sendiri di luar rumah.

Metroseksual, Tidak Harus Saltum

0

Orang menyebut mereka pria metroseksual. Pria-pria dandy yang menikmati hidup (mewah), gemar ke mal dan kafe, rajin ke gym membentuk tubuh, merawat diri di salon dan spa, berburu fashion dan aksesori bermerek, tapi tidak jarang yang sampai kebablasan. Fenomena ini ditulis oleh Burhan Abe.

Metroseksual. Kosa kata baru ini seolah menyihir para pria metropolitan saat ini. Setelah pemain sepekbola tersohor David Beckham bergaya dan berdandan necis, pria-pria “genit” di seluruha dunia seolah tidak mau ketinggalan. Pria urban jenis baru ini memuja gaya hidup hedonisme, tampil trendi, dan selalu mengikuti tren global. Parfum, busana, aksesori bermerek ternama yang dulunya hanya menjadi incaran wanita, kini tidak diharamkan menempel di tubuh pria metroseksual.

Sebetulnya, evolusi tren gaya pria bisa dilacak melalui film-film James Bond. Di era 1970-an, pria ideal digambarkan seperti Sean Connery yang macho, dengan rahang keras dan berewokan. Di era berikutnya agen rahasia Inggris sang jagoan tampil lebih lembut dan necis, diwakili oleh Roger Moore dan Timothy Dalton.

Nah, memasuki dekade 1990-an, agen 007 ini berubah menjadi sangat dandy, semakin stylish dengan busana dan aksesoris yang branded, rambutnya pun sangat kelimis. Konon, Piere Brosnan – yang mewakili era ini – inilah yang disebut sebagai cikal bakal pria metroseksual. Tapi yang jelas, istilah metroseksual, yang diperkenalkan Mark Simpson, kolomnis fashion Inggris, pada 1994 untuk menggambarkan kelompok anak muda berkocek tebal yang hidup di kota besar, sangat menyayangi bahkan cenderung narsistik, serta sangat tertarik pada fashion dan perawatan tubuhnya, mulai merebak tidak hanya di Eropa tapi juga di seluruh belahan dunia, termasuk Indonesia.

Tren ini katanya hanya menjangkiti para model, artis dan orang-orang media. Tapi belakangan justru meluas ke kalangan olahragawan, profesional muda, pengacara, bahkan diplomat! Majalah The Economist bahkan pernah mengungkapkan bahwa di AS jumlah kaum metroseksual mencapai 30%-35%. Mayoritas dari mereka adalah pekerja profesional dan eksekutif muda. Mereka mengagumi George Soros tapi juga tergila-gila pada Chaterine Zetta Jones. Suka nongkrong di kafe, menikmati kehidupan malam, tapi sekaligus peduli kesehatan, dan memakai krim malam sebelum tidur.

Tidak ada yang salah sih, bahkan revolusi ini seakan-akan mendobrak tradisi berpakaian para pria yang cenderung konservatif. Kesehatan pun mulai diperhatikan. Yang juga bergembira dengan fenomena ini adalah para pemasar, paling tidak desainer pakaian pria akan mempunyai pasar yang lebih besar. perusahaan-perusahaan kosmetik menemukan pelanggan barunya. Bahkan Jean Paul Gaultier, misalnya, berani meluncurkan kosmetik khusus untuk pria. Tidak hanya lip balm untuk pria, tapi juga bedak, cat kuku, serta pinsil untuk alis dan garis mata. Wah!

Kalau di deretan pesohor dunia ada David Beckham, Brad Pitt, George Clooney, Antonio Banderas, Ian Thorpe, Tom Cruz, dan masih banyak lagi. Di Indonesia punya Fery Salim, Ari Wibowo, Nicholas Saputra, Jeremy Thomas dan Adjie Massaid. Memang, mereka semua adalah bagian dari kalangan selebriti yang memang harus selalu tampil menawan dan selalu mengikuti fashion.

Tapi kalau yang mengikuti mereka kemudian adalah “orang-orang biasa”, sebutlah orang-orang kantoran yang kerjanya di bidang finansial atau teknik, atau jauh dari dunia kreatif atau keartisan, tentu menjadi pertanyaan besar, apa sebanarnya yang mereka cari. Apa jadinya kalau pegawai bank harus mengecat rambutnya menjadi pirang atau hi light warna tertentu, serta mengecat kukunya seperti suami Victoria Posh itu.

Mengikuti gaya metroseksual sebenarnya boleh-boleh saja, tapi kalau tidak sesuai dengan kepribadian tentu menimbulkan persoalan tersendiri. Sama dengan orang yang pergi ke pesta tapi salah dress code-nya. Kalau sekadar wangi dan berkesan lebih macho tentu bukan problem, tapi kalau kelihatan justru lebih kemayu dan kewanita-wanitaan, bukan metroseksual lagi, meski pun itu hak asasi. Apa boleh buat, batas gender antara pria dan wanita memang kian kabur. Pria bukan lagi dari Mars, dan wanita pun tak selalu dari Venus. (Majalah Her World)