Home Blog Page 94

Duh Ibu Kartini, Maafkan Kami!

0

Ketika perempuan Indonesia merayakan Hari Kartini tahun ini, saya teringat tulisan di halaman muka harian nasional beberapa waktu yang lalu. Tulisan itu sebenarnya mengulas acara drama reality show yang sedang ditayangkan di RCTI, Joe Millionaire, tapi meluas ke aspek gender. Keprihatinan terhadap sebuah acara televisi, yang kalau dilihat dari sisi feminitas, katanya sangat “merendahkan” perempuan, karena para aktris (20 orang) yang memerankan diri sendiri dalam tontonan tersebut harus memperebutkan cinta Marlon Gerber – seorang peselancar yang “disulap” menjadi seorang miliarder. Pada akhir tulisan itu sang wartawan (tepatnya wartawati) memasukkan opininya; Duh Ibu Kartini, Maafkan Kami!

Saya bisa memahami, di tengah dunia yang katanya masih didominasi pria (male chauvinism domination), gerakan feminisme adalah sebuah keniscayaan. Gerakan persamaan hak antara pria dan wanita tidak hanya diperjuangkan Kartini seabad yang lalu yang idenya relevan sampai hari ini, tapi juga pemikir perempuan yang lahir sesudahnya.

Jujur saya sangat mengagumi mereka, para perempuan pejuang emansipasi. Saya mengagumi pemikiran Kartini yang tercermin dari surat-suratnya, saya mengagumi Rohana Koedoes melalui esei jurnalistiknya, saya mengagumi Maria Hartiningsih, wartawati senior yang selalu menyuarakan keperempuanan dalam artikel-artikel yang ditulisnya, saya juga mengagumi Karlina Leksono yang tidak hanya filosofis eseinya tapi juga seorang praktisi yang ikut turun ke jalan dalam memperjuangkan hak-haknya dalam “Suara Ibu Peduli”. Tidak hanya mereka, masih banyak lagi tokoh feminis yang saya kagumi.

Saya jelas sejalan dengan pemikiran feminisme, yang saya pahami bukanlah perang melawan laki-laki tapi memperjuangkan kemanusiaan itu sendiri. Hanya saja, saya tetap saja tidak mengerti ketika tayangan Joe Millionaire dikritik atas nama feminisme. Buntut-buntutnya tayangan ini dianggap tidak berbudaya Indonesia, melecehkan harkat wanita, terlalu mengumbar kekayaan, tidak edukatif, dan seterusnya.

Bahkan sebuah forum menggelar diskusi tentang kontroversi reality show ala Fox International yang sudah didaptasi di 13 negara ini dari layak ditayangkan di Indonesia. Sebagai salah seorang penulis skenario acara ini saya tidak pernah menyangka bahwa Joe Millionaire akan menjadi kontroversi. Ini bukan pembelaan, tapi saya hanya ingin mengatakan bahwa cerita Joe mirip dengan cerita rakyat Indonesia yang sangat populer Ande Ande Lumut, tapi dalam kemasan moderrn. Dalam versi Barat juga ada kisah Cinderella yang terpilih menjadi kekasih seorang pangeran tajir, setelah mengalahkan para pesaingnya.

Dalam Joe saya hanya menuangkan cerita – tanpa mengubah pakem dari Fox International sebagai pemilik program ini – dengan setting masa kini, dan khas Indonesia. Tidak seperti Naratama Rukmananda, yang sempat ragu-ragu menerima tawaran menyutradarai Joe, saya langsung tancap saja ketika dihubungi production house yang mendapatkan hak dari Fox International yang awal tahun ini, dan mengajak syuting ke Bali.

Bersama tim penulis saya mendiskusikan ide, mengembangkan alur cerita, membuat plot, dan membayangkan dating yang akan dilakukan Marlon dan para kandidat di tempat-tempat eksklusif dan classy di Bali, serta menampilkan eksotisme lengkap dengan heritage culture Pulau Dewata tersebut. Sejumlah selebriti dan pakar berbagai bidang didatangkan dari Jakarta untuk mengisi baterei para kandidat – di antaranya adalah Ibu Sari Narulita, Pemimpin Redaksi Her World.

Para profesional yang terlibat dalam acara ini bukan orang-orang sembarangan, ada Dewi Alibasyah yang menjadi penyunting terbaik dalam film Arisan, fotografer kawakan Darwis Triadi, penata rambut Rudy Hadisuwarno, aktris kawakan Rima Melati, dan lain-lain.

Juga, yang membahagiakan adalah beberapa pihak bersedia mendukung acara ini, mulai dari Martha Tilaar (make up), Metro Department Store dan Sebastian Gunawan (wardrobe), Gold Mart (perhiasan), dan lain-lain – penyebutan nama-nama sponsor ini sekadar untuk menunjukkan bahwa acara ini dipikirkan secara serius sebagai acara yang prestisius, baik dari sisi sinematografis maupun lifestyle-nya.

Bos Perempuan, Siapa Takut?

0

Cerewet dan terlalu memakai perasaan ketimbang rasio, itulah anggapan umum tentang bos wanita, yang sulit dipatahkan. Tidak penting, itu mitos atau fakta, jika tahu strateginya, konon tidak sulit menghadapi bos perempuan yang — mengutip sebuah lagu dari Seriues – juga manusia. (Burhan Abe)

Apa bedanya punya bos laki-laki dan bos perempuan? Tadinya saya tidak percaya dengan protipe yang telanjur melekat selama ini, bahwa bos perempuan itu reseh, mengedepankan perasaan ketimbang rasio, dan sifat-sifat lain minor yang lain. Tipikal seseorang, demikian pendapat para aktivis perempuan yang juga saya amini, bukan karena masalah jender, tapi persoalan personal orang tersebut.

Namun, maaf para perempuan, keyakinan saya tersebut runtuh ketika saya akhirnya mengalaminya langsung, mempunyai bos perempuan, bahkan sampai dua kali – yang pertama di penerbitan majalah dan yang kedua di konsultan PR (public relations).

Stigma cerewet itu ternyata benar adanya. Semua sepertinya tidak ada yang luput dari perhatiannya. Yang dipersoalkan kadang-kadang bukan yang penting-penting amat. Soal penampilan yang salah, misalnya, bisa menjadi sasaran kritikan. Memang, kritiknya membangun, tapi seringkali menyakitkan. Teman sekerja saya, perempuan, pernah kena semprot gara-gara penampilannya kurang rapi, ketika akan bertemu dengan klien. Mengapa juga harus ribet, yang menjalani saja pede abis!

Dalam mengelola perusahaan bos-bos perempuan lebih personal. Tidak hanya urusan kantor, urusan pribadi pun kadang-kadang masuk dalam materi rapat. Pernah saya diajak bicara empat mata dari hati ke hati, topiknya tidak hanya urusan kantor tapi juga topik-topik yang menyangkut wilayah privat. Tidak kalah dengan acara gosip di televisi.

Yang menyebalkan, topik yang berkategori “confidential” itu ternyata tidak hanya “milik kami berdua” saja, tapi sudah menyebar ke para karyawan. Hah? Seperti tayangan infotainmen, tidak ada rahasia pribadi, yang ada adalah rahasia umum.

Sudah begitu, yang menjadi perhatiannya bos perempuan adalah hal-hal kecil. Misalnya, kenapa si anu datangnya siang? Kenapa orang marketing harus pergi ke acara itu, kalau secara potensial bisnis tidak menjanjikan apa-apa? Siapa yang membuang tisu di wastafel? Kok mobil tidak dicuci? Dan urusan remeh-temeh yang lain.

Pernah, dalam satu edisi dalam majalah yang terbit, ada kesalahan cetak – menyangkut istilah bahasa Inggris yang bos sangat menguasai. Tak ayal, meledaklah amarahnya. Pemimpin redaksi dipanggil, sebagai redaktur pelaksana saya juga dimintai pertanggungjawaban.

Memang begitulah seharusnya. Cuma, yang menyebalkan, kasus salah cetak yang seharusnya sudah “menjadi bubur” itu menjadi soal benar, hingga rapat yang lebih strategis pun hari itu batal diadakan. “Kalau hal-hal kecil saja luput dari perhatian, bagaimana bisa mengambil keputusan besar,” alasannya.

Tapi benarkah bos perempuan terkenal dengan sifat-sifat minornya tersebut? Saya nomer satu yang mengatakan tidak setuju, karena sifat-sifat mayor (lawan kata minor) bos perempuan banyak juga yang menonjol, misalnya bijaksana, teliti karena sifatnya yang sangat perhatian terhadap hal-hal kecil, empatinya tinggi, lebih mengerti perasaan orang lain, dan seterusnya.

Targeting Creme de la Creme Market

0

Lacking cash but intent on buying a motorbike? Rest assured there is no need to approach a financing company. If you have a Citibank credit card, all you have to do is swipe it and — viola! — everything is taken care of. You can buy a motorbike on credit over a certain period of time (let’s say three months) and perhaps not have to pay interest at all.

Bank Mandiri credit cardholders can also enjoy a similar facility. If you buy electronic goods from specified merchants, in particular, you will enjoy an interest-free transaction, payment for which may be made over a period of up to two years.

So, on one hand, credit cards have become inseparable from modern life. As people have become increasingly busier and are highly mobile, they demand easy and practical facilities.

On the other hand, competition to lure new credit card clients has become increasingly tighter. When walking around shopping and office centers, for example, it is common to be approached by credit card company representatives scouting for new clients. Often two or three outlets “offering” credit cards can be found in close proximity to one another.

The credit card business is indeed lucrative, especially given the fact that in Indonesia the number of credit cardholders is still small compared to the size of its population, namely not more than 8.4 million cards per last June, including 100,000 Platinum cards, with transactions amounting to Rp 31.4 trillion in the first half of the year.

Of course, to obtain good clients is not easy, which makes it understandable why card issuers compete fiercely with one another ion offering a million facilities just to maintain customer loyalty. Take Bank BCA, for example, which issues Visa Platinum credit cards as its prime service to its premium clients. This particular card is issued only to wealthy people and carries a maximum credit limit of Rp 50 million.

As the segment is limited, the target for this credit card has been set at 50,000 clients up to the end of this year. If you have one of these credit cards, you can enjoy a lot of facilities, including medical assistance services, which cover medical consultation to evacuation assistance, and also life insurance in the case of accident worth up to Rp 1 billion, which automatically comes into effect when the cardholder leaves on a journey paid for via the credit card.

Visa Platinum credit cards are also an “All-in-One” package, which constitutes a combination of various benefits offered by other BCA credit cards, such as BCA VISA Batman and BCA MasterCard MC2 and BCA Gold Card. “BCA is committed to constantly renewing and producing significant breakthroughs in banking services,” said Suwignyo Budiman, BCA director, during the launch of Visa Platinum in June this year.

Not wanting to lag behind, Panin has launched the Panin Platinum Visa. “The market potential of the platinum credit card is big. At the early stage, we have set a target to issue 2,000 special cards for our premium customers and then after a year we expect to see a rise of to up to 20,000 cardholders,” said Chandra Gunawan, president director of Bank Panin, after the signing of a cooperation agreement at Grand Hyatt Hotel, Jakarta on Sept. 18 this year.

According to the country manager of Indonesia for Visa International, Ellyana C. Fuad, Visa Platinum offers a lot of advantages. “If you have one of these cards, you can enjoy various advantages, such as 24-hour service, a Visa Platinum concierge and access to 200 renowned golf clubs around the world. In addition, you will be insured against accidents with a maximum insurance value of US$500,000,” she said.

Citibank also applied a similar strategy by launching its Ultima Card and Platinum Card for its premium customers. Citibank issues nine types of credit cards to cater to various segments of society from the middle to upper classes. The target market for Ultima and Platinum covers executives and businessmen. As for the Ultima, its membership is “by invitation only” as Ultima Card is indeed designated only for Indonesia’s crŠme de la crŠme segment.

In what way are these two credit cards special? Both Platinum and Ultima attract special rates at the best hotels, special programs with discounts and benefits in over 40,000 stores, restaurants and other outlets, such as Hyatt Hotels & Resorts, Four Seasons Hotel, Hotel Mulia Senayan, Raffles Hotels & Resort, Nirwana Bali Golf, Emeralda Golf, Bimasena Spa, Chiva-Som Resort in Thailand, Evason Hideaways & Six Senses Spa in Vietnam.

The premium class is indeed a lucrative market. According to the World Wealth Report 2007 by Capgemini, following the improvement of the global economy, there are more new rich people. The so-called “high net worth” individuals with assets of more than $1 million increased 8.3 percent in 2006 to 9.5 million and the number of “ultra high net worth” individuals with assets of more than $30 million grew by 11.3 percent to 94,970. Their total prosperity rose by 11.4 percent to $37.2 trillion in 2006. Singapore, India, Indonesia, Russia, the United Arab Emirates and China were among the top 10 countries recording the highest growth rate in wealthy populations.

The issuance of platinum credit cards is a response to the economic dynamics and rapid economic development followed by an increasing growth in the number of middle- to upper-class people. Despite the prospect of fat profits, however, the business of this “magic” card entails a high risk in the form of unsettled loans. That’s why intensive efforts must be made not only to push commercialism but also to ensure that there will be a financial equilibrium so that banks, micro-wise, and the economy, macro-wise, will always be sound. (Burhan Abe)

The Jakarta Post, September 28, 2007

Plastic card that brings happiness, changes lifestyle

0

Like or not, the credit card has become an indispensable part of urban life. Plastic money can indeed be a supportive tool in today’s life of comfort. It bring happiness to those who like shopping as they can pay the bills over several months. “I just charged it and went home with a new laptop,” Ira Lestari, an entrepreneur, told The Jakarta Post.

“Particularly for those who like traveling, having a credit card can be so helpful. It is very convenient since you don’t have to carry much cash to a place where you are a stranger,” she added. “And when you need more cash, a credit card’s cash advance service enables holders to withdraw money at any major ATM worldwide.”

Furthermore, many restaurants offer significant discounts to credit cardholders. And the credit card automated billing program enables you to avoid standing in long lines to pay utility bills. In addition, purchasing merchandise, booking airline tickets or hotel rooms online is just a matter of tapping away at a computer keyboard at your convenience.

Indeed, this 8.5 by 5.5 cm card can be a great financial help if a person can make use of it wisely. Not only does it facilitate making purchases when cash is not on hand, but also allows people to delay payment for 30 days or more with no interest depending on the terms and conditions set by the credit card issuer. “As long as you don’t bite off more than you can chew, a credit card is really helpful,” Ira continued.

It means that a credit card should be seen as a basic need rather than a luxury. Otherwise, “If we are unable to pay for the expensive goods or services we buy, it is not unthinkable that the interest will end up costing more than the actual product purchased,” Ferry Hartono (not his real name), a government official who chooses not to have a credit card, asserted.

A credit card is nothing but a clever deception, Ferry continued. “Despite all the advantages, no credit card gives you free money. The interest rate is simply a sly way to take your money.”

Whether you agree with Ira’s or Ferry’s sentiments, the fact that the increasing number of credit cards being offered to the public by many financial institutions is an interesting phenomenon. Tight competition between credit card companies gives cardholders more attractive incentives such as reward points, cash back, education and health services.

American Express (AMEX) Card Services of Bank Danamon Indonesia introduced September last year its latest membership rewards program, in which AMEX cardholders can redeem their reward points with hundreds of reward items such as a round trip to Singapore with 38 airlines, fashion merchandise and other exclusive items. The reward program offers up to five times bonus points to its members at participating merchants.

“That way our privileged members can earn points faster and enjoy their rewards sooner,” Darwin Tan, senior vice president for AMEX Card Business Head, explained to The Jakarta Post.

The company collaborates with a number of premium multi-industry business partners such as Harley-Davidson and Nokia, “AMEX card members now can redeem their reward points for either a Harley-Davidson motorcycle or a Nokia E-90 Communicator,” he added.

In addition to reward points, credit cardholders now can enjoy the cash back program. HSBC Visa and MasterCard, for instance, offer up to Rp 800,000 in a cash back reward upon approval of an application. This promotion is valid until Oct. 31 this year. GE Money, in cooperation with Kartu Belanja Carrefour, Smart Shopping Cash and Manulife Gold Card, also offers an array of benefits to cardholders, such as education and health services. GE Money credit cards offer convenient tuition fee payment arrangements from kindergarten to university level. “And GE money credit card facilitates easy access to health services at participating hospitals,” GE Money CEO, Harry Sasongko, told Kompas.

However, all the attractive incentives are no more than a marketing approach by credit card companies. Many cardholders admit that such incentives were one of the reasons they applied for a credit card. Interestingly, quite a number of cardholders have become trapped by unrestrained use of their credit card. Obviously they find it easier to spend that to manage their finances.  

Unless a person earns a steady income, they should put on hold any plan to get a credit card. Moreover, timely financial management is crucial for those with plastic money. Eko B. Supriyanto, director at the InfoBank Research and Bureau, advised that a credit cardholder should not charge more than 30 percent of his or her monthly income to their card in any given month. “Otherwise, a problem will gradually emerge, especially when they have to pay off other debts like car or mortgage payments,” Eko was quoted by Kompas as saying.

A credit card, thus, should not be treated as an instrument to incur debt. Rather, it should be used as a convenient tool to make a transaction. (Aulia Rachmat)

The Jakarta Post, September 28, 2007

Pria-pria Penjual Cinta

0

Mereka adalah pria-pria pintar dan profesional dalam urusan pekerjaan. Tapi mengapa harus memacari wanita kaya atau bahkan bosnya sendiri di kantor. Demi karier atau untuk memicu gairah dan kesenangan semata? Yang jelas, inilah hubungan asmara yang paling berisiko, bahkan memicu skandal. (Burhan Abe)

Sebuah penelitian di Italia menyimpulkan bahwa bercinta dengan bos ternyata lebih mengasyikkan. Para bos (pria) ternyata bukan hanya piawai di tempat kerja, tapi juga lebih hot di ranjang. Setidaknya, begitulah pengakuan 2/3 wanita yang pernah punya pengalaman dengan bos mereka.

Studi terhadap sejumlah responden tersebut menyimpulkan bahwa wanita yang bercinta dengan bos mendapatkan pengalaman yang paling memuaskan. Hal ini agaknya berkaitan dengan daya tarik bos itu sendiri, yang lekat dengan citra kekuasaan, uang, dan seks. ”Sebetulnya bukan karena bos itu hebat bercinta, tapi karena dia adalah orang yang berpengaruh. Apalagi bila mereka juga dijanjikan sesuatu, yang menjadi stimulus bagi gairah dan kesiapan bercinta,” demikian kesimpulan studi yang dilakukan oleh Institute for Interdisciplinary Psychology tahun 2002.

Bagaimana jika sang bos seorang wanita? Apakah para pria yang bercinta dengan sang atasan akan mendapatkan pengalaman serupa? Memang belum ada penelitian khusus terhadap masalah ini. Boleh jadi, ada sejumlah pria yang mendapatkan pengalaman yang mengasyikkan bila bercinta dengan wanita ”powerful” yang belum pernah mereka dapatkan sebelumnya. Namun beberapa nara sumber pria yang menjalin hubungan dengan sang bos yang diwawancarai ME, tidak mengindikasikan sedikit pun seputar ”ranjang”. Yang muncul justru tentang hubungan sosialnya: relasi antara ”atasan dan bawahan”, ”karier dan cinta”, dan seterusnya.

Bahkan Irwan M. Hidayana, Pengamat Sosial dari Universitas Indonesia (UI) Jakarta memastikan bahwa pria-pria yang menjalin asmara dengan wanita kaya yang usianya lebih tua atau dengan atasannya, motivasinya justru lebih banyak berkaitan dengan pekerjaan. “Cara ini oleh sebagian eksekutif dianggap cukup efektif untuk menaikkan karier,” katanya.

Dengan menjalin asmara dengan wanita kaya atau bosnya sendiri, demikian Irwan, akan menaikkan status mereka. Jabatan di kantor cepat terangkat, dan materi pun berkecukupan. Itu pula yang dialami oleh, sebutlah Peter Edward dan Boy Firmansyah. Dengan menjalin asmara dengan atasan, kedua pria eksekutif itu tidak hanya bisa beroleh materi, tapi membuat jalan kariernya mulus tanpa hambatan.

”Saya memang punya target ketika melihat peluang bisa mendekati bos saya. Tujuan saya jelas, agar promo saya lebih mulus saja. Saya perlu karier yang bagus serta kehidupan sosial keluarga yang baik,” aku Eward yang mempunyai keluarga itu terus terang.

Di perusahaan alat-alat berat tempat ia bekerja bapak dua anak itu memang cepat melejit kariernya. Semula ia hanyalah seorang staf di divisi engineering, tapi setelah menjalin asmara dengan sang bos, ia langsung bisa menduduki posisi manajer di divisi marketing communication.

Boy Firmansyah mempunyai pengalaman kurang lebih sama. Setelah berhubungan “khusus” dengan sang bos, karier yang baru dipupuknya selama setahun lebih itu langsung melesat bak roket. Berawal dari staf pemasaran biasa, kini ia menyandang asisten manajer bidang pemasaran. Maklum, sang kekasih yang juga atasannya itu menjabat sebagai regional manager di perusahaan yang sama, yang tentunya mempunyai pengaruh yang besar terhadap kariernya.

Boy memang sempat membantah kalau hubungannya dengan sang atasan memuluskan kariernya. Apalagi, kunci kesuksesan di bidang pemasaran adalah networking, bukan koneksi atasan. Tapi yang tidak dimungkiri, sang pacar yang atasannya itu selalu membantu Boy membuka jalan dan meluaskan pergaulan bisnisnya. Tidak hanya itu, segala kebutuhannya pun, mulai dari kredit kepemilikan rumah hingga mobil mewahnya, selalu mendapatkan “subsidi” dari kekasihnya. Nah, kan?

Dating at Work

Karier memang sangat penting dalam dunia kerja. Penghasilan yang lebih tinggi dan semakin menguatnya eksistensi diri menjadi salah satu alasan mengapa hal yang satu ini selalu dikejar banyak orang.

Mobil-Mobil Mewah di Catwalk Jakarta

0

Mobil-mobil mewah makin banyak berseliweran di jalanan Jakarta. Mulai dari bentuk fisiknya yang menarik, teknologi yang makin dapat di andalkan, hingga kenayaman maksimal bagi pengendaranya. Siapa saja pemiliknya? (Burhan Abe)

Mobil-mobil mewah, apa pun mereknya, dengan mudah bisa kita jumpai di Jakarta. Sebutlah BMW, Audi, Volvo, Bentley, Mercedes Benz, Jaguar, Porsche, bahkan Rolls-Royce. Paling tidak, bintang-bintang kendaraan kelas dunia itu hadir di Gaikindo Auto Expo XIII yang berlangsung di Jakarta Convention Center (JCC), 8-17 Juli lalu.

Lihat saja, Porsche melalui agen tunggal pemegang merek (ATPM)-nya di sini, PT Eurokars, menyuguhkan koleksi sedan mewah 911 Carrera S yang harganya, mencapai Rp2,3 miliar per unit. Mobil berbodi ramping, bahkan terkesan imut, ini memiliki 6 silinder yang mampu menghasilkan tenaga sebesar 355 bhp dengan torsi maksimum 400 nm.

Sementara Porsche Boxter, yakni tipe sedan coupe dua pintu, yang harganya dibanderol Rp1,075 miliar off the road, mesinnya menggunakan tipe 6 silinder 2.687 CC dengan tenaga maksimum 340 bhp. Mobil ini bisa memacu adrenalin pengemudinya, karena bisa dipacu hingga kecepatan maksimum 250 km per jam.

Mercedes Benz tidak mau ketinggalan. Mobil dengan kemewahan klasik itu menampilkan empat koleksi sedan dan SUV, di antaranya sedan C Sport 4 pintu, SUV Mercedes A150, SUV Mercedes ML 350 dan juga sedan imut. Mercedes ML 350, yang harganya Rp 1,5 miliar, merupakan mobil paling anyar yang diluncurkan 8 Juli lalu dan meraih the best car untuk kategori sedan di pameran otomotif paling bergengsi di Indoneia itu.

Seperti tipe sebelumnya, tipe terbaru Mercedes tetap konsisten menghadirkan kemewahan dalam berkendaraan. Disain interiornya mengusung nuansa futuristik sehingga menumbuhkan kesan sangat elegan. Sementara Mercedes-Benz C Sport yang menjadi pemenang top gear best choice 2004 eksekutif sedan ditawarkan dengan harga Rp 505 juta, sedangkan CLS 350 harganya Rp 1,628 miliar.

Jaguar, melalui PT Grand Auto Dinamika, menampilkan mobil-mobil keluaran terbaru. Harganya bervariasi, mulai dari Rp545 juta untuk X-Type Estate 2.0 V6 hingga Rp 2,125 miliar untuk New XJ8 4.2 V8 LWB SE Super dan New XKR 4.2 V8 Supercharged. Kendaraan prestisius ini mengusung tema elegan, futuristik, namun juga memperhatikan aspek keselamatan dan aspek hiburan.

Keunggulan yang patut dibanggakan dari seri-seri baru ini adalah paduan modernisme dan klasik ala Jaguar. Bodi hampir semuanya terbuat dari alumunium yang ultra kuat namun ringan seperti yang digunakan pesawat terbang. Selain itu, Jaguar tipe XJ juga mengadopsi teknologi body-in-white atau BIW hingga 40% lebih ringan dari kerangka bodi baja, tapi lebih kokoh 60% dari baja.

Yang mendapat perhatian terbanyak apalagi kalau bukan Bentley dengan dua andalannya, yakni Continental GT dan Flying Spur. Kedua jenis mobil ini dipakai David Beckham, pemain sepakbola tenar dari Inggris, dan baru masuk ke Indonesia sejak 2003.

Bentley yang harganya mencapai 520.000 dolar AS atau sekitar Rp5,2 miliar, konon dibuat secara hand made, tidak dibuat secara massal, sehingga kesannya elegan dan eksklusif. Sementara Continental GT yang harganya Rp4,8 miliar memang sangat istimewa. Mobil mewah dua pintu ini sanggup melesat dengan kecepatan lebih dari 190 km/jam. Akselerasinya pun terbilang handal. Untuk mencapai angka spedometer 100 km per jam, Continental GT hanya butuh waktu 4,8 detik. Wow!

Sensualitas yang Mendebarkan

0

Tato berasal dari bahasa Tahiti “Tatu” yang artinya tanda, ternyata memiliki sejarah panjang. Dalam khasanah tradisional tato bisa jadi sebuah status sosial, tapi dalam dunia modern – meski sempat mendaoat stigma negatif, tato adalah fashion. Hmm, itukah sebabnya para eksekutif pun ikut-ikutan merajah tubuhnya dengan tato”

Tidak berlebihan memang kalau tato disebut sebagai “penanda”. Sejak 12.000 tahun sebelum Masehi, bahkan hingga sekarang anggapan tersebut masih berlaku. Vanda Jones, 49, wanita asal Inggris adalah salah satu kasusnya. Ibu nyentrik ini kerap lupa akan hari jadi kelima anaknya, sampai akhirnya menemukan ide menarik dengan cara menato tanggal ulang tahun anak-anaknya di bagian lengannya.

Vanda kini tahu persis kapan waktunya membeli hadiah dan kartu ucapan bagi anak-anaknya, Alwen,l8, Grace, 16, Rhian,l4, Lowri, 13, atau si bungsu Vernon yang berusia 12 tahun. “Ketika saya membawa anak-anak ke klinik kesehatan, seringkali saya tak ingat tanggal lahir mereka, jadi saya memutuskan untuk menato tangan saya dengan inisial anak-anak beserta tanggal lahir mereka. Kini semuanya jadi lebih mudah. Saya tinggal melihat lengan saya dan tak akan lupa lagi hari ultah anak-anak,” ujar wanita yang yang tinggat di Penygroes, dekat Caernarfon itu, seperti yang dilansir The Daily Post, Oktober lalu.

Tidak hanya inisial nama anak-anaknya serta tanggal lahir mereka di tangannya, Vanda ternyata jugs menato dadanya dengan gambar naga Welsh serta kalimat “Wedi’i wneud yn Nghymru” (atau Made in Wales).

Vanda memang tidak sendiri, di Tanah Air ada Melanie Subono yang gemar memakai tubuhnya sebagai medium untuk menyimpan kenangan layaknya album foto. Tato-tato yang menempel di tubuhnya mempunyai riwayat sendiri-sendiri. Bagi putri promoter Adrie Subono ini, tato adalah penanda perjalanan hidupnya. “Mulai dari kelahiran, perkawinan, perceraian, semua ada Lambangnya berupa tato,” ujarnya.

Sebuah representasi perjalanan dirinya hingga saat ini, dituangkan dalam wujud sebuah tato kupu-kupu di pergelangan kirinya. Memang, sebagian besar tatonya bergambar kupu-kupu, ada yang juga yang bergambar kunci F, sebagai wujud passion-nya dalam dunia musik.

Kupu-kupu, menurut Melanie, adalah lambang perjuangan hidup. Kupu-kupu adalah keindahan yang bermetamorfosis dari ulat, menjadi kepompong, hingga menjelma menjadi kupu-kupu.

Pilihan gambar sedikit banyak menunjukan jati diri pemilik tato, seperi juga busana yang memiliki kredo “you are what you wear”. Juga jangan heran katau ada orang-orang tertentu yang menuliskan nama kekasihnya dalam bentuk tato di tubuh. Hanya saja, sebetum memutuskan menato tubuh, kesiapan psikis adalah yang paling penting, apalagi kalau kita memilih tato permanen – yang kalau telanjur menempel akan susah dihapus, kalau di kemudian hari ternyata tidak suka.

Memang, dengan berkembangnya seni tato, kini telah ditemukan jenis tinta baru yang lebih aman dipakai dan jauh lebih mudah dihilangkan bila kelak ternyata Anda merasa salah gambar. Sejauh ini belum ada standar keamanan untuk pewarna yang dipakai dalam seni melukis tubuh, bahkan Badan Urusan Makanan dan Obat-Obatan AS (FDA) pun.

Photo by benjamin lehman on Unsplash

Tato biasanya menggunakan bahan-bahan seperti karbon hitam, garam-garam logam, dan bahan lain yang juga dipakai dalam percetakan dan pengecatan mobil. “Padahal logam-logam berat dan bahan beracun yang ada dalam pewarna tersebut bisa masuk ke sistem kelenjar getah bening,” ungkap Martin Schmieg, penemu tinta aman untuk tato.

Presiden perusahaan Freedom-2 di Philadelphia ini kini sedang memperkenalkan serangkaian produk pewarna yang telah disetujui FDA untuk digunakan dalam dunia kosmetik, makanan, obat, dan peranti kedokteran – yang tentunya aman untuk tato.

Perkawinan di Simpang Jalan

0

Setiap orang pasti menginginkan kehidupan rumah tangga yang ideal dan harmonis. Tapi mempertahankan tali perkawinan bukanlah perkara mudah. Apalagi, dalam kehidupan perkotaan yang banyak godaannya. Kebosanan, konflik internal, hingga kehadiran orang ketiga, tidak ayal membuat perkawinan seperti berada di ujung tanduk. (Burhan Abe)

Selingkuh? Kosa kata ini sangat populer dalam 5-6 tahun terakhir ini. Tidak seperti dulu, yang sekadar mengucapkannya merasa tabu, tapi kata tersebut kini hadir dengan entengnya dalam percakapan sehari-hari, dalam seminar, dalam fiksi, bahkan dalam lirik lagu-lagu pop.

Begitulah, selingkuh adalah godaan yang biasa dalam kehidupan rumah tangga. Hanya saja, selingkuh bukan badai besar tapi godaan kecil saja dalam kehidupan. Bahkan mungkin Anda pernah mendengar istilah “Selingkuh itu Indah”, yang seolah-olah menegaskan bahwa hubungan di luar pernikahan yang sah itu adalah sebuah keniscayaan, yang tidak perlu ditanggapi secara serius.

Asal tahu saja, satu dari lima orang di Indonesia (20 persen) mengaku pernah mengirim SMS selingkuh, yakni mengirimkan SMS berkonotasi seks atau rayuan kepada orang lain yang bukan pasangannya. Demikian hasil riset yang melibatkan 8.518 orang pengguna seluler dari berbagai negara. Riset tersebut dilakukan lembaga riset asal Inggris Ipsos MORI, bekerjasama dengan perusahaan spesialis pesan singkat LogicaCMG Telecoms.

Hasil riset yang dilakukan November 2006 itu juga menyebutkan bahwa orang Indonesia memiliki rasa curiga yang tinggi terhadap pasangannya. Terbukti ada seperempat (25 persen) responden mengaku mengetahui pasangan mereka pernah mengecek ponselnya untuk mencari pesan-pesan mencurigakan.

“Kamu Sadar Aku Punya Alasan Untuk Selingkuh ‘kan Sayang?” Aha, inilah judul buku kumpulan cerita pendek yang ditulis oleh Tamara Geraldine. Dengan gamblangnya, pembawa acara, host, dan pemain sinetron ini bertutur tentang kehidupan kiwari, perkawinan masa kini yang diwarnai dengan hubungan perselingkuhan. Cerita ini konon berdasarkan hasil pengelihatan dan penjiwaan Tamara dalam menjalani hidup. Bukan semata-mata rekaan, melainkan realita dan kepahitan dalam hidup.


Maafkan aku menduakan cintamu
Berat rasa hatiku tinggalkan dirinya
Dan demi waktu yang bergulir di sampingmu
Maafkanlah diriku sepenuh hatimu
Seandainya bila ku bisa memilih…

Itulah sepenggal lirik Demi Waktu yang dinyanyikan oleh grup Ungu, yang saat ini mungkin menduduki tangga teratas di percaturan musik pop Indonesia. Namun Sonia, sebutlah demikian, merasa aneh juga ketika suaminya ikut menyenandungkan lagu tersebut. Syairnya yang mellow kalau tidak bisa dikatakan cengeng, sangat bertolak belakang dengan kepribadian sang suami, yang paling tidak selama ini kelihatan macho.

“Tadinya saya tidak terlalu perhatian, lagu itu tentang apa. Tapi karena suami saya suka banget, saya jadi penasaran. Wah, ternyata tentang selingkuh,” ujar Sonia.

Magic VS Cinta Buta

0

Guna-guna, pelet, santet dan sejenis bukan monopoli masa lampau, tapi juga fenomena masyarakat modern. Fenomena ini hampir sama dengan fenomena sosial lainnya, berkembang sesuai dengan zaman. Era kini komunitas dukun mengganti nama menjadi paranormal padahal esensinya sama. Mengapa istri muda suka memanfaatkannya?

Kisah Cut Memey yang memenuhi tayangan infotainment dikisahkan kembali di sinetron Selebriti Juga Manusia. Memang, dalam tayangan yang diproduksi Indika Entertainment dan disiarkan 4 Juni lalu itu, nama-nama yang terlibat dalam kejadian aslinya diubah. Cut Memey berganti nama menjadi Maya, sementara Jackson Perangin-angin menjadi Jony yang diperankan Toro Margen. Elza Syarief yang menjadi pengacara Cut Memey pun sempat hadir menjadi dirinya sendiri. Tapi, seperti pengakuan Memey, kisah tersebut adalah nyata adanya.

Dalam cerita tersebut, Jackson digambaxkan sebagai pria yang tergila-gila kepada wanita lain di luar istri sahnya, yang tak lain adalah Memey. la juga sering mentransfer uang ke rekening Memey. Sejak itu artis 25 tahun berdarah Aceh itu kepincut dengan kebaikan Jackson, hingga akhirnya mereka menikah. Dalam pernikahan tersebut, digambarkan Jackson sebagai pria yang suka menyiksa wanita. Cemburu atau kesal sedikit, Jackson menampar Memey hingga cedera. Sifat ringan tangan itulah yang membuat Memey memutuskan minta cerai.

Lain Memey, lain versi Jackson. Pengusaha asal Medan itu mengaku rela merogoh kocek sampai miliaran rupiah, karena pengaruh guna-guna Memey. Waduh!

Suci Hati, istri Jackson, pertama kali mengungkapkan kepada salah satu infotainment, bahwa gara-gara menafkahi Memey selama empat tahun terakhir ini, perusahaan suaminya bangkrut. Setiap bulan Jackson harus merogoh Rp 35 juta dari koceknya. Pria yang berprofesi sebagai pengusaha itu juga memberikan sejumlah barang yang jika ditaksir jumlahnya mencapai Rp 1,5 miliar. Karena guna-guna? “Memang begitu adanya,” tutur Minola Sebayang, kuasa hukum Jackson.

Bagaimana detilnya guna-guna tersebut, Minola – juga Jackson – memang tidak bercerita secara rinci. Pengacara yang juga menangani kasus bintang sinetron ‘Cinta SMU’ Faisal itu hanya menambahkan, sejumlah saksi seperti kerabat dekat Jackson membenarkan pernyataan soal guna-guna. “Diguna-gunanya sejak awal kenal,” kata Minola lagi.

Bukan Fenomena Baru

Bagaimana akhir dari kasus ini agaknya tidak terlalu menarik. Setelah munculnya sinetron Selebriti juga Manusia, mungkin ada lanjutannya, tapi versi Jackson. Tapi yang menarik adalah bagaimana guna-guna masuk ke wilayah hukum. Dan lebih jauh adalah kenyataan bahwa guna-guna sudah menjadi bagian dari kehidupan bawah tetapi juga di kelas atas. Keberadaan paranormal tidak lepas dari budaya Indonesia yang masih percaya pada mistik,” komentar Henny E. Wirawan, M.Hum, Psi, Pudek I Fakultas Psikologi Universitas Tarumanegara, Jakarta.

Jackson memang tidak sendiri, Agung – sebut saja demikian, mengaku terpikat wanita idaman lain (WIL) karena merasa dipelet. “Karena sekadar tertarik mungkin kejadiannya tidak seperti ini. Tapi wanita ini seperti `mengisap’ materi yang saya miliki,” ujar Direktur Operasional perusahaan kargo ternama ini.

Photo by Julius Drost on Unsplash

Pria 35 tahun ini sampai kini belum mengerti mengapa ia bersedia menikahi Inge, mojang cantik berambut lurus sebahu, berkulit putih, dan bertubuh seksi, sebagai istri simpanannya. Bak kerbau yang dicocok hidungnya, Agung yang sudah beristri ini mengaku tak mampu menolak wanita berusia 25 tahun itu mengajak menikah siri, yang bukan didasari rasa cinta. Yang kerap bikin keki, Inge kerap membuatnya lupa daratan, bahkan segala permintaannya ia turuti, mulai dari tinggal di apartemen, mobil Mercedes A-100, dan juga seluruh biava hidupnya yang tergolong tinggi.

Agung mengaku sangat rasional, tapi menghadapi Inge is seolah tak bekutik. “Semua ini apalagi kalau bukan karena guna-guna,” katanya menyimpulkan, setelah terlebih dahulu ia meminta bantuan paranormal.

Kebebasan atau Kebablasan

0

Banyak eksekutif muda yang menjalani hidupnya secara bebas. Mereka sangat lekat dengan kehidupan yang glamour dan akrab dengan dunia malam. Bukan sekedar dugem dan alkohol, keseharian mereka pun lekat dengan para perempuan, mulai dari one night stand hingga menjalin hubungan yang lebih serius yang bukan sekadar TTM. Modernisasi atau salah mengartikan kebebasan?

Inilah salah satu ritme dari kehidupan malam Jakarta. Di sebuah klub di bilangan Jakarta Pusat menawarkan suasana cozy untuk melepas penat para eksekutif. Venue yang baru dibuka tahun ini bisa menjadi alternatif yang cool. Begitu masuk ke sana hawa pesta segera menyambut Anda. Hentakan musik dari’ DJ sepertinya sesuai uai dengan suasana malam para kaum yuppies Ibu Kota.

Setelah seharian bekerja, clubbing dan bersenang-senang adalah pilihan yang masuk akal untuk melepaskan penat. Dengan menenggak beberapa gelas alkohol badan terasa lebih rileks. Lampu-lampu disko pun secara dinamis bergantian menyapu tubuh-tubuh mereka. Sebagai bagian dari gaya hidup, para eksekutif mode melarutkan diri di klub dengan musik ingar bingar yang beritme cepat.

Di situlah Hengky, sebutlah demikian, menghabiskan malam-malamnya. Tidak hanya di akhir pekan, bahkan di hari biasa pun, ketika tuntutan mencari hiburan tinggi, tak segan-segan ia menyatroni klub-klub Jakarta. Maklum, pria 33 tahun yang terkenal sebagai pekerja keras ini ingin mengimbangi ketegangannya dengan suasana rileks.

Hengky tercatat sebagai direktur di beberapa perusahaan milik sang ayah. Garis keturunan sulung dari empat bersaudara ini memang cukup beruntung. Pasalnya, pria satu-satunya di keluarganya itu dipercaya sang ayah mengurus beberapa perusahaannya. “Tapi tetap saja ayah yang monitor, saya dan tim yang jalankan roda perusahaan,” katanya.

Hengky mengaku menjalani hidupnya secara bebas. Kehidupannya yang glamour dan akrab dengan dunia malam seakan melekat di nadinya. Bukan sekadar dugem dan alkohol, keseharian bapak seorang anak ini pun lekat dengan perempuan. Mulai dari sekadar berkencan semalam hingga menjalin hubungan yang lebih serius dengan perempuan lain di luar pernikahan.

“Pernikahan saya cukup baik, saya punya isteri yang nyaris sempurna dan telah dianugerahi keturunan. Tapi saya juga butuh variasi dalam hidup saya. Toh saya tetap bertanggung jawab penuh terhadap keluarga saya,” tandasnya.

Mendengarkan lagu, menikmati makanan dan minuman memang berfungsi untuk melepaskan stres. Di satu sisi, sebagai eksekutif yang mobilitasnya tinggi, tempat- tempat hiburan malam itu sangat cocok untuk bersantai, bergaul, dan bersosialisasi. Boleh jadi, bertemu relasi untuk prospek bisnis atau menambah teman. Tapi, lebih dari itu, sosialisasi, globalisasi atau entah apa namanya tersebut, di suatu kalangan, telah menjurus pada hubungan yang mengabaikan tatanan nilai dan etika yang bukan hanya salah menurut norma lama, tapi juga mengejutkan untuk ukuran awam.

Dugem bagi sejumlah para eksekutif muda memang biasa. Merebaknya kafe, pub, dan klub di Jakarta dan kota-kota besar lain, juga seperti menjelaskan bahwa masyarakat kita memang sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam arus globalisasi dunia. Tapi yang istimewa (atau justru masih tergolong biasa?) adalah sebagian di antara mereka sengaja mengumbar perilaku purba sebagai bagian dari pergaulan modern. Proyek atau peluang bisnis pun dibarter dengan kenikmatan `surga dunia’.

Clubbing memang sudah menjadi gaya hidup yang sedang in. Seorang yang ingin disebut `gaul’ dianggap ketinggalan zaman jika tidak pernah berkunjung ke tempat-tempat perdugeman. Bahwa kemudian mereka mencari hiburan dimiringkan artinya sebagai mencari teman kencan, melampiaskan nafsu syahwati, tampaknya soal lain. Kita juga tidak menutup mata bahwa ada diskotek tertentu yang menyediakan tempat kamar-kamar khusus di ruangan yang lain untuk menampung ketika nafsu sahwati tak terbendung. Bahkan sejumlah karaoke mewah di Jakarta, mempunyai fasilitas kamar mandi sekaligus kamar tidur mewah.