Home Blog Page 94

Titik Nol

0

Seorang teman protes, gara-gara membaca Appetite Journey ia bertandang ke sebuah restoran ala Timur Tengah. “Gambar-gambar makanan di majalah yang bikin ngiler, lengkap dengan atmosfer restoran yang menawan, ternyata tidak seindah dengan warna aslinya,” ujarnya bersungut-sungut.

Tidak bisa dimungkiri, ada review yang kadang-kadang berlebihan. Tapi percayalah, tidak ada unsur ‘penipuan’ apalagi pembohongan publik. Yang terjadi mungkin adalah perbedaan angle.

Bagi orang tertentu, candle light dinner akan menerbitkan efek yang romantis. Tapi bagi yang lain, makan yang hanya ditemani dengan nyala lilin tersebut tidak hanya temaram, tapi tidak memunculkan ‘kilau’ makanan tersebut. Tergantung sudut pandang masing-masing, dari mana melihatnya.

Soto betawi pinggir jalan yang sering kita temui sehari-hari di Jakarta, mungkin terasa biasa-biasa saja. Tapi di lidah Bondan Winarno yang jago mengapresiasi makanan menjadi luar biasa. Mak nyuss…

Memang, bagi sebagian orang, sebutlah orang-orang Surabaya, lebih suka soto ambengan ketimbang soto betawi, misalnya. Tapi ini adalah masalah selera dan kebiasaan. Teman saya dalam cerita di atas, selidik punya selidik, ternyata memang tidak atau belum akrab dengan makanan Timur Tengah.

Sementara seleranya, yang terbentuk sejak kecil di Yogyakarta dan sekitarnya, setengah menolak ‘makanan asing’, termasuk makanan dari Negeri Sheik itu.

Pengalaman teman saya tersebut mirip dengan pengalaman saya pada awal 1990-an (jadul banget ya). Ketika itu saya berkesempatan untuk meliput launching seri baru sebuah mobil bergengsi yang dipusatkan di Australia. Acaranya sih sangat exciting, tapi yang bikin sebel adalah makanannya.

Maklum, lidah saya yang ‘ndeso’ ini setiap hari harus berhadapan dengan makanan Negeri Kangguru yang notabene jarang memakai bahan nasi. Padahal kalau belum makan nasi kan belum makan, kata orang Melalyu.

Alhasil, selama di Aussie – yang tidak lebih dari dua minggu, ada sedikit perjuangan kalau ingin makan selayaknya. Kalau ingin makanan ala Indonesia, terpaksa saya pergi ke restoran chinese food yang jumlahnya bisa dihitung dengan jari, kecuali di China Town. Lumayan, kerinduan terhadap nasi dan sejenisnya bisa terpenuhi.

Tapi itu dulu. Kini, setelah lidah mencecap berbagai makanan – apalagi semuanya tersedia di Jakarta, “gap rasa” sudah tidak ada. Paling tidak, dengan sedikit empati kita pun bisa mencicipi berbagai menu makanan dari mana pun. Makanan Nusantara oke, menu dari negara lain pun, hayo! Tinggal di Eskimo pun, ibaratnya, no problemo!

Saya mengikuti tip seorang teman, yang suka berpetualang rasa. Jika ingin menikmati makanan baru, sebaiknya me-reset dulu lidah kita menjadi nol. Jangan mempunyai bayangan rasa dengan mindset yang sudah terbentuk lama.

Misalnya mencoba sup tom yam ala Thailad, tapi yang di otak adalah sayur asem. Menikmati nasi bryani tapi yang dibayangkan adalah nasi goreng kambing Kebon Sirih. Gak nyambung, dan mungkin berakhir dengan kekecewaan…. (Burhan Abe)

Appetite Journey, November 2007

Menu Asli Italia di Jakarta

0

Uno non puo pensar bene, amare bene, dormire bene, se nan ha mangiato bene!

Kalimat berbahasa Italia itu amat mencolok, terletak di salah satu dinding PURO Ristorante e Bar. Artinya kira-kira, “Seorang tidak bisa berpikir dengan baik, mecinta dengan baik, tidur dengan baik, kalau tidak makan dengan baik.”

Ya, makanan adalah kebutuhan dasar manusia, yang kalau tidak dipenuhi niscaya manusia tidak bisa berpikir dengan baik, apalagi melakukan segala aktivitas keseharian dengan normal. Yang dimaksud pomeo di atas tentu bukan sekadar makanan sebagai pengisi perut, tapi jenis makanan apa yang kita makan.

Puro menambah satu lagi restoran ala Italia. Berlokasi di City Plaza, Wisma Mulia, Jakarta, bersebelahan dengan Blowfish yang memang satu manajemen dalam Grup Ismaya, kreator sejumlah restoran dan venue-venue gaya hidup di Jakarta. Bedanya Puro dengan restoran Italia yang lain adalah terletak pada keasliannya – tanpa embel-embel “disesuaikan dengan lidah orang Indonesia”, misalnya. Puro sendiri dalam bahasa Italia berarti “Pure” alias asli, bo!

Puro adalah restoran yang menawarkan otentisitas makanan Italia. “Serving regional Italian specialties with emphasis on pure rustic Italian flavors featuring simple, yet creative, tasty dishes,” ujar Executive Chef Marco Medaglia.

Memang, di antara ragam makanan mancanegara, makanan Italia adalah salah satunya yang digemari masyarakat Indonesia. Restoran atau gerai yang menyajikan makanan Italia memang gampang ditemui. Orang pun menjadi akrab dengan pizza, spagheti, risotto, lasagna, atau bruchetta. Namun Puro, restoran yang dilengkapi dengan bar yang berkonsep “classic-meets-modern Roman” ini seakan menjanjikan sesuatu yang istimewa, pengalaman berwisata kuliner yang berbeda.

Puro bernuansa romantic, warna putih mendominasi, tapi tidak tejebak dalam kepucatan atau membuat bosan. Justru corak baroque menerbitkan keindahan tersendiri, mulai dari langit-langitnya hingga pilihan detil interiornya. I love the ambiance!

Menu makanannya, apa saja yang ditawarkan Puro? Pasti banyak, selain berbagai makanan Italia yang populer seperti yang ada dalam daftar buku menu, makanan-makanan yang lebih customized pun tersedia. Inilah yang beberapa yang direkomendasikan Chef Marco yang asli Italia itu.

Seperti halnya restoran Italia lainnya, Puro juga menyajikan pizza. Cara membuatya, seperti kata Marco, pizza dipanggang dalam tungku api tradisional ala Italia. Nyala apinya konstan. Kayu bakar yang digunakan untuk memanaskan tungku ini pun tidak sembarangan, sehingga tidak merusak cita rasa. Bahkan aroma yang keluar pun wangi.

Beberapa orang yang telah mencicipi mengatakan, pizza ala Puro ini pas di lidah dan juga dari segi ukurannya. Tidak tebal, lembut digigit, tidak lengket, sementara bagian pinggirnya terasa renyah. Mama Mia! (Abe)

Trendsetter in Fashion Industry

0

Senayan City, Jumat malam, pekan lalu. Para fashionista Jakarta tampak menyerbu gerai Massimo Dutti yang baru dibuka di plaza tersebut. Seru, karena gerai seluas 437,60 meter persegi itu buka hingga tengah malam hingga pukul 23.00 itu diikuti oleh para undangan VIP, public figure serta para relasi.

Bagi penggemar fashion, Massimo Dutti bukan merek asing. Produk yang berasal dari Spanyol ini sudah lama hadir di Singapura – yang pembelinya sebagian datang dari Indonesia. Merek ini kemudian dibawa ke Indonesia tidak lain oleh perusahaan ritel terkemuka saat ini, PT Mitra Adiperkasa (MAP), distributor dan pemegang franchise sejumlah merek internasional di Indonesia.

Ya, bisnis retail boleh melesu, tapi MAP agaknya tetap berjaya. Paling tidak, penjualan perusahaan publik ini pada kuartal pertama 2006 mencapai Rp 752 miliar atau naik 16 persen dibanding periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 650 miliar.

Menurut Group Head of Investor Relation Mitra Adi Perkasa Tbk, Ratih D. Gianda, tingkat penjualan tertinggi diperoleh dari gerai-gerai khusus. Kontribusi terbesar omzet MAP diperoleh dari pengelolaan department store yang menyumbang 46,3 persen dari total pendapatan.

Kontribusi terbesar kedua diperoleh dari pengelolaan usaha divisi specialty stores yang menyumbangkan penjualan sebesar 44,1 persen. “Kedua divisi itu merupakan penyumbang terbesar dari usaha kami,” ujarnya.

MAP tidak hanya dikenal di pasar modal, perusahaan ini juga identik dengan life style untuk kalangan menengah ke atas. Jaringan retailnya telah berekspansi hingga lebih dari 40 konsep bisnis, yang meliputi semua aspek, mulai dari sports ke fashion and lifestyle; dari department stores hingga ke trendy cafes.

Saat ini, MAP mengoperasikan lebih dari 500 toko dengan total area penjualan lebih dari 250.000 meter persegi di 22 kota besar di Indonesia. MAP merupakan perusahaan yang mengelola departemen store seperti Sogo, Debenhams dan JAVA, dan gerai-gerai khusus seperti Planets Sport, The Athlete’s Foot dan Mark & Spencer, sementara untuk gerai makanan minuman perusahaan ini mengelola gerai Starbucks Coffee Shop.

Selain sukses mengusung produk fesyen untuk kalangan atas melalui department store Debenhams, MAP juga mengambil mengusung tiga merek baru yang laris di Inggris kepada warga Jakarta. Ketiga produk fesyen yang dapat dilihat di pertokoan baru Senayan City, Jakarta itu adalah Topshop, Topman dan Miss Selfridge. “Sejak kita initial public offering November 2004 pertumbuhan usaha kami terus meningkat dengan pesat,” jelasnya.

Menurut Ratih, produk itu ditujukan untuk mereka yang ingin senantiasa memenuhi keinginannya memiliki koleksi busana, aksesori dan alas kaki yang inovatif. Di Inggris, ketiga merek itu di bawah payung perusahaan ritel Inggris Arcadia Group. Produk fesyen itu ditujukan untuk segmen pasar pria muda dan wanita muda usia 20-an tahun-30 tahunan. Selebritis dunia, seperti Madonna, Liz Jagger, Kelly Osbourne dan Claudia Schiffer disebut-sebut menjadi pelanggan produk tersebut.

Produk yang dikelola oleh perusahaan itu terdiri dari sepatu, pakaian, aksesoris, makanan, minuman hingga buku. Tidak ada perusahaan yang se-fashionable MAP, karena merek-merek fashion top ada dalam genggamannya. Sebutlah Calvin Klein, Energie, FCUK, Kipling, Lacoste, MEXX, Marks & Spencer, Miss Sixty, Morgan, NEXT, Nautica, Nine West, Liz Claiborne, Principles, Salvatore Ferragamo, Sole Effect, Women’Secret, dan ZARA.

Welcome to the Show!

0

A hotel is not merely a place where you can spend the night but is also a place to enjoy some entertainment. That’s why nearly all star-rated hotels provide entertainment, both for people staying the night and for outsiders seeking some merriment. These facilities may range from a music lounge, a cafe to a karaoke hall and even a club.

There are hotels that offer serenity, mostly those adopting the resort concept, and also those that sell entertainment. Hard Rock Hotel Bali, for example, has made itself a center for activities linked with entertainment.

This is indeed a positioning that this hotel, whose name is borrowed from that of a famous cafe established in London on June 14, 1971, wishes to feature. “The name Hard Rock itself is associated with a place of entertainment. We want to check out the most Rockin’ Hotels around,” said Dewi Endah Banowati, marketing communications manager of Hard Rock Hotel Bali.

Hard Rock Hotel Bali is not only located next to Hard Rock Cafe, which presents live music shows every night, but also has its own music stage, which is located in the lobby above the bar and is called Centerstage. It rocks from 11 a.m. to 1 a.m.

In addition, nearly every space of the hotel is named after something to do with music and connotes entertainment. Each type of room is named on the basis of a music genre, as is Lil’ Rock Kids Club, a playground for children. The area of the main swimming pool, for example, presents music and has a bar that serves Tequila, Reggae and Limbo.

This hotel, which is filled with decorative memorabilia of the world’s top musicians, treats guests like music superstars. Guests staying at Hard Rock Hotel are called “stars” while hotel staffers are “band members”. Children are nicknamed “lil’ rockers”. Every guest is given a room key that they can wear around their necks just like a stage pass. Welcome to the Show!

Hard Rock Hotel, which uses “rest, relax and rock” as its motto for service, is a top example of how a hotel treats entertainment as the most important part in the concept of a hotel.

Other star-rated hotels also make an effort to make entertainment a major part of their services. If you have ever stayed at Hotel Mulia, Jakarta, for example, you are surely familiar with CJ’s. The bar, which was renovated in December 2006, opens from 5 p.m. to 2 a.m. on weekdays and is open until 3 a.m. on weekends.

What better way to end the day than with a well-deserved cocktail and rocking live music? A hit among guests and locals alike, CJ’s is the place to see and be seen. “So let your hair down, hit the dance floor and get set for a wild night of non-stop partying!” said Romy Herlambang, director of communications of Hotel Mulia Jakarta.

According to Romy, entertainment is indeed an important part of a hotel. Many people visit the hotel not to stay but to eat at one of its restaurants or to hang out with friends. That’s why The Kafe has enjoyed particular attention from the management, as is evident from the expansion of its space so that it can now accommodate 361 people instead of the original 298.

Simple, Unique, Friendly

0

Dengan konsep modern, muda, dan trendy, Harris Resort Kuta menawarkan cara unik menikmati liburan. Bergaya minimalis, tapi tidak mengurangi fasilitasnya yang maksimalis. Spacious bedroom, spa, gym, kid’s club, dan cozy cafe. Aha, meski tidak menginap di hotel, Anda pun bisa menikmati sarapan ala Harris. (Burhan Abe)

Banyak tempat penginapan betebaran di Bali, tapi Harris Resorts, yang berlokasi di Kuta menawarkan keunikan tersendiri. Resor ini mempunyai konsep yang berbeda dengan yang lain, yakni modern, muda dan trendy. Yang menarik, harganya pun cukup terjangkau, karena ditargetkan kepada pasar menengah ke atas, khususnya pasar Asia. Saat ini sedang berlangsung program “Harris Simple Deal” dengan harga cuma Rp 488.000 nett per malam.

Tinggal di Harris adalah pengalamanan yang paling menyenangkan. Terletak di kawasan pantai paling populer — surganya para peselancar dan “dugemania” di pulau Bali, hotel yang mempunyai color image orange dan hijau ini dapat ditempuh hanya dalam waktu 10 menit dari bandara internasional Ngurah Rai.

Hotel dari kelompok usaha Tauzia Hotel Management, ini adalah tempat yang sangat tepat untuk menghabiskan masa liburan. Harris Resort Kuta yang beroperasi sejak 2004 ini mempunyai motto ‘simple – unique – friendly’. Simpel diwakili oleh desain bangunan dan interior yang sederhana dan minimalis.

Unik dengan menjadi inovatif dalam bentuk komunikasi (pemasaran), pendekatan pelayanan kepada tamu serta desain. Friendly (ramah) yang ditunjukkan dengan penggunaan warna, suasana hotel yang hangat, serta sikap karyawannya. Keramahan itu bahkan sudah dimulai dari pintu masuk hotel.

Tidak hanya welcome drink berupa teh hangat, tapi juga kehadiran Harris Clown yang mewakili keramahan, keunikan, serta kegembiraan di hotel ini.

Sementara itu Harris Man/Girl yang bertindak sebagai concierge, doorman, dan guest relation officer, selalu siap membantu tamu hotel dan relasinya. Harris Resort Kuta memiliki 191 kamar dan suite, terbagi atas beberapa kategori, yaitu Harris Room (Standard Room), Harris Room Pool Access, Family Room, serta Suite Room.

Sambungan akses internet dengan kecepatan tinggi broadband tersedia di semua tipe kamar serta sambungan jaringan internet Wi Fi di seluruh areal lingkungan hotel, tak terkecuali lobi, restoran, dan area umum lainnya.

Pada Januari 2007, bersama Surfer Girl, Harris meluncurkan tipe kamar terbaru yaitu Surfer Grl Room, yang merupakan hasil penggabungan desain sederhana kamar dengan pernak-pernik dekoratif dari Surfer Girl.

Dengan teras pribadi dan sundeck yang menghadap langsung ke kolam renang, kamar yang unik ini ditargetkan secara khusus kepada kaum remaja putri, meski tidak menutup kemungkinan kelak untuk keluarga atau pasangan muda. Seperti halnya ciri khas kamar Harris dengan dekoratif hitam putih di setiap kamarnya, kamar ini dilengkapi juga dengan poster koleksi Surfer Girl yang berbeda di setiap kamarnya, menampilkan tiga karakter utama dalam bentuk komik yang sering didapati dalam setiap iklan ataupun materi promosi merek ini.

Hatten Wines, The Indonesian Wine

0

Wine adalah minuman dunia. Produsennya tidak terbatas pada negara-negara tetentu saja, Indonesia pun ternyata juga memproduksi wine. Merek yang paling dikenal adalah Hatten. Wine asal Bali ini berdiri sejak 1994. Semula adalah sebuah perusahaan penghasil “brem”, atau yang juga dikenal sebagai “arak beras” di Sanur, tapi kemudian merambah ke wine.

Hatten Wines dikelola dan dimiliki oleh Ida Bagus Rai Budarsa, seorang sarjana agrikultural yang terlibat sepenuhnya pada seluruh aspek operasional perusahaan. Sementara spesialis pembuat wine dipegang oleh Vincent Desplat, seorang pria berkebangsaan Prancis. Lulusan salah satu pembuat wine bergengsi di Montpellier Prancis ini sempat meniti kariernya di Perth Australia selama 12 tahun sebelum akhirnya bergabung dan ikut mendirikan Hatten.

Hatten yang memiliki arti “progress” dalam bahasa Jepang, sampai saat ini telah memiliki 40-an karyawan, yang bekerja tersebar di tiga lokasi, yakni di perkebunan anggur di Singaraja, Bali Utara, dengan areal seluas 14,5 hektar, pabarik di Sanur, serta kantor distribusi dan tasting shop di areal Simpang Siur, Kuta, yang diberi nama“Celladoor”.

Buah anggur yang dipakai Hatten adalah jenis Alphonse-Lavallee yang merupakan anggur merah dan Musacat, serta Probolinggo Biru – eit, jangan salah, meski bernama “biru”, ini sebenarnya anggur putih. Yang menarik, anggur yang dipakai Hatten adalah table grapes, seperti umumnya buah angur di Indonesia, yang bisa dimakan langsung, bukan anggur yang khusus untuk pembuatan wine yang umumnya tidak bisa dimakan.

Pabrik Hatten yang berlokasi di areal Sanur, juga merupakan saah satu areal pusat bisnis, di mana telah dilengkapi dengan peralatan baja tahan karat untuk memelihara kebersihan. Pabrik anggurnya mempunyai mesin tekan horisontal, 16 tangki angur besar, fermenters, ruang pebotolan, dan sebuah laboratorium. Pabrik Hatten berkapasitas pembotolan 3.000 per hari.

Proses pembuatan Hatten memang tidak main-main. Seluruh mata rantai pembuatan winenya tidak berbeda dengan yang ada di negara-negara penghasil lainnya. Yang membedakan dengan wine negara lain adalah jenis anggurnya saja. Karakter anggur yang dipakai Hatten cenderung fruity dan kadar tanin-nya rendah, sehingga cocok untuk paduan makanan Indonesia.

Hatten mempunyai beberapa jenis wine, yakni rose, sparkling rose, spakling white, fry red wine, semi sweet, dry white wine, dan fortified wine. Produk Hatten tidak kalah dengan wine-wine dunia lainnya, terbukti salah satu produknya, semi sweet wine, pernah mendapat medali perunggu di International Wine & Spirit Competition di London tahun 2003. Sementara sparkling wine-nya memenangkan berbagai penghargaan – di antaranya Winner of 2002 “Best of Bali” oleh ex-sommelier La Tour D’Argent, Paris. Salut!

(Burhan Abe/Source: hattenwines.com)

Sonia Wibisono: Starting with curiosity

0

One afternoon in a cafe, Sonia Wibisono heard the indistinct crooning of a female singer. Sipping a cup of tea, Sonia, a celebrity doctor, was mesmerized and found it was a cure for the boredom she felt waiting for a client. After inquiring, she was told that the singer was Norah Jones, a jazz singer who has gained popularity around the world.

After that, Sonia, who as a university student loved disco music, became interested in jazz as she found it pleasant to the ear and enjoyable. “People say this music is difficult to enjoy, but some songs are sentimental and easy to listen to,” said Sonia, who loves the wind instrument music played by Dave Koz. She was already familiar with the music of romantic tenor saxophonist Kenny G and the late Embong Rahardjo.

Indeed, it is not jazz of the early periods that Sonia, the presenter of O Clinic, a program on O Channel, likes listening to but jazzy pop. Among the jazz singers she likes are Ermy Kulit, Iga Mawarni, Ruth Sahanaya, Harvey Malaiholo and Glenn Fedly. Although they are all well-known in the pop music world, they are all rooted in jazz.

As for instrumental music, she prefers the easy listening type such as GRP albums, ranging from Lee Ritenour, Dave Valentine, David Benoit, etc. “I’m married, so perhaps my choice of music is the slow type. I believe this kind of music can give you peace of mind and is suitable for relaxation,” said Sonia, a mother of two.

Although she is fond of slow music, Sonia, formerly a finalist of “Abang and None Jakarta”, does not mind other jazz genres as long there is harmony. Al Jarreau, she said, is one of her favorite singers. When this African-American singer came to Jakarta, she excitedly attended his concert. She likes not only energetic songs like Spain and Take Five but also Jarreau’s slow and melodious songs. “His voice is excellent. He is all heart and soul when he sings. Who could resist that?” said Sonia, who also does the “Kuku Bima” commercial.

She is not that into the musicians performing at this year’s Java Jazz, but hopes she can see the performance of Sergio Mendez, who reminds her of one of Indonesia’s leading jazz musicians, Elfa Seciora. (Burhan Abe)

The Jakarta Post, February 26, 2007

Nungki Soetrisno: Complementary Improvisation

0

Some people say they can’t live without music, but Nungki Soetrisno goes one step farther and says he can’t live without jazz! It may sound extreme, but just take a look at what Nungki, born in Yogyakarta on Sept. 18, 1963, does every day of his life.

When he gets up in the morning, he listens to one or two jazz pieces. On his way to the office, he again listens to a few jazz numbers in his car. In his comfortable office, Nungki, managing partner of Neo Indonesia advertising company, also listens to this “black music”. When he is in a good mood, he enjoys mainstream jazz, ranging from Bebop to Swing. He prefers pieces played by Big Bands, such as the Count Basie Orchestra, Charli Parker and Duke Ellington. When he is stressed out because he can’t think of a spiel that he can offer to a client, for example, he prefers to listen to Fusion Jazz.

“After listening to one or two songs, my head clears and I get fresh ideas,” said Nungki, a graduate of the School of Economics, Gadjah Mada University (UGM), with over 15 years’ experience in the advertising world.

Before he goes to bed, at about 10 p.m., he still finds time to enjoy some jazz, either on CD or DVD. “My wife knows not to disturb me if I’m listening to jazz,” he chuckled.

Nungki has hardly missed a single jazz concert in Jakarta. He has attended, for example, JakJazz, Java Jazz, concerts by George Benson, Al Jarreau, Tania Maria, Diana Schuur, Lee Ritenour and David Benoit. And he plans to catch the performances of jazz musicians at this year’s Java Jazz, for instance those of Chaka Kahn and Sergio Mendez. “Neither of them must be missed,” he said.

Nungki’s love of jazz began when he attended senior high school in Yogyakarta. Back then a friend from Jakarta gave him a cassette of jazz songs. “I found the songs nice to listen to,” he said, reminiscing, adding that Autumn Leaves, one of the songs on the cassette, appealed to him the most. After that he always kept an eye out for jazz cassettes, which could easily be found in Yogyakarta. Ever since then he has got pleasure out of listening to jazz of various genres and generations.

When he was a student at UGM, he joined a marching band and played the trumpet. Playing the trumpet deepened his love for music, particularly jazz. Knowing how difficult it is to play the trumpet, he greatly admires Miles Davis, Louis Armstrong and a number of jazz musicians who play the trumpet or other wind instruments. “Jazz is highly inspiring. It helps me in my work. I set up an office with two friends of mine. We are free to create anything that is compatible with our own capabilities and areas and we all complement each other. It is like jazz, where there is a lot of improvisation, but all the musicians complement one another,” said Nungki, who has over 100 cassettes/CDs/VCDs/DVDs, with 90 percent of this collection being jazz. (Burhan Abe)

The Jakarta Post, February 26, 2007

Naratama: Mesmerizing jazz

0

“Improvisation, that is the soul of jazz that permeates deep in our hearts,” says Naratama, producer/director of Voice of America (VOA), Indonesian Service, Washington DC, the U.S.

It seems that jazz is inseparable from the life of Naratama, formerly a lecturer at the Jakarta Arts Institute’s (IKJ) Film and TV Department. Jazz is part of his daily diet.

He listens to the strains of jazz every chance he gets, either at home or in his car, from his collections of CDs or on a jazz radio station. He likes mainstream jazz as well as jazz fusion, which has a heavier beat. He feels mesmerized by the tinkling sound of the piano played by Ahmad Djamal and the unexpected guitar chords played by Lee Ritenour. This is one of the genres to have developed after the jazz rock era was spearheaded by Yellow Jacket, Level 42 and AL Di Meola.

Naratama is not just a jazz lover as he can also talk eloquently about the genres of jazz and the musicians that play them. It would be more appropriate to call him a jazz fanatic. When the Jakarta Jazz Festival, or JakJazz, was held in 1996, he was very happy to be given the opportunity to be a producer/director for a special JakJazz television production for four stages. “I had to stay awake for three days as I had to stay in our OB van to record the live shows,” he said.

Indeed, during the three days he could enjoy the live shows to his heart’s content. In 1998, braving everything, he made a TV program called Jazzy in SCTV together with Chico Hindarto and Eri Prabowo, two figures who deserve mention for their efforts in trying to popularize jazz in Indonesia.

Unfortunately, this program did not last long as it is difficult to make a TV jazz program that attracts advertisers. A lot of people did seem to be interested in this program, and people still ask Naratama when he will produce a TV jazz program.

Naratama handled various music programs on TV before he went to work for VOA in Washington. Many things make him long for Indonesia, including Java Jazz. “It’s a pity I can’t attend this great event in Jakarta. News about this event has even spread to Washington, DC,” he said. Many Indonesians living in the U.S., particularly jazz lovers, talk about Java Jazz, he said. Some have decided to return to Indonesia just to attend this international event.

However, there is some consolation for Naratama with a Norah Jones & the Handsome Band concert being held on April 23 at the Constitution Hall, Washington. “Hopefully, I can still get tickets,” he said, while also hoping that he can keep abreast of the progress of Java Jazz through Youtube, a video website. (Burhan Abe)

The Jakarta Post, February 26, 2007

Sensualitas Jazz Sergio Mendes

0

Sergio Mendes, seniman jazz Brasil itu, tampil di Dji Sam Soe Super Premium Jakarta International Java Jazz Festival 2007. Ia membawakan Mas Que Nada lagu “wajib” yang ia ramu dalam jazz samba. “Samba Brasil itu sensual,” kata Mendes.

Mas que nada
Sai da minha frente
Eu quero passar
Pois o samba está animado

Itu lirik awal lagu Mas Que Nada yang berbicara tentang asyiknya bergoyang samba. Arti lirik kurang lebih seperti ini: Mas que nada, oh come on, ayolah/ beri aku jalan/ aku mau lewat/ karena samba sangat mengasyikkan/ yang kumau hanyalah bergoyang, bergoyang.

“Mas Que Nada itu lagu yang magis. Lagu itu populer tahun 1966, dan tahun lalu (2006) meledak lagi bersama Black Eyed Peas,” ujar Sergio Mendes (66) yang ditemui sesaat setelah acara jumpa pers di Lagoon Tower, Hotel Soultan, 28 Februari 2007 siang.

Mas Que Nada termuat dalam album Mendes, Brazil 66. Angka 66 itu menunjuk pada tahun pembuatan album 1966. “Kekuatan lagu itu ada pada melodi. Lagu itu dibawakan Jorge Ben (tahun 1963). Saya merekam dan menggarap musiknya tahun 1966. Wonderful melody, dan rhythm yang mengasyikkan,” tutur Mendes yang siang itu tampil santai dengan celana pendek dan kaus warna hijau.

Mendes, pria kelahiran Niterói, Rio de Janeiro, Brasil, 11 Februari 1941 itu adalah anak seorang dokter. Ia masuk Konservatori Musik Brasil dengan harapan akan menjadi pianis klasik. Telinganya lebih tertarik untuk menyerap realitas musik di Brasil yang menurut dia begitu beragam dan menggairahkan. Kontributor dari keragaman musik itu, kata Mendes, adalah orang-orang dari Afrika yang dipekerjakan di perkebunan- perkebunan di Brasil.

“Mereka membawa rhythm yang indah dan mengasyikkan, dan juga instrumen musik,” papar Mendes.

Era akhir 1950-an, seniman Brasil Antônio Carlos Jobim, Vinicius de Moraes, dan João Gilberto bereksplorasi dengan samba dan elemen musik yang tumbuh di Brasil lainnya. Mereka meramunya dengan cool jazz. Lahirlah kemudian bossanova, artinya gaya (rasa) baru. Saat bossanova populer itulah Mendes mulai menapak pentas musik. Ia bermain jazz di kafe-kafe. Ia tumbuh dalam lingkungan musik Brasil dengan mentor para eksponen bossanova, khususnya Jobim.

Awal 1960-an, Mendes hijrah ke New York. Bersama grupnya, ia bermain di pentas jazz berwibawa, termasuk di Birdland, klub jazz tempat mangkal jazzer top. Pertengahan era 1960-an ia teken kontrak dengan perusahaan rekaman A&M Records. Saat itu tergagas olehnya untuk menggali musik dari kampung halamannya, Brasil.

Hasilnya memang bisa disebut sejarah. Mas Que Nada versi Mendes meledak di Amerika. Itu merupakan lagu berbahasa Portugis pertama yang menduduki puncak tangga American Billboard. “Kami di Brasil mempunyai jenis musik yang beragam. Samba, bossanova, hanyalah bagian dari lanskap musik di Brasil. Seperti halnya jazz, akar dari musik Brasil adalah musik dari Afrika. Itulah akar kami,” katanya.