Home Blog Page 92

Senja di Tamansari

0

Senja di Tamansari. Inilah saat-saat yang paling romantis di pesanggrahan yang dibangun Sri Sultan Hamengku Buwono I pada tahun 1758. Bangunan ini dulunya tempat untuk bercengkrama dan berekreasi, terlihat dari bangunan-bangunan yang ada seperti lorong-lorong dengan taman-taman bunga, kolam pemandian yang luas dengan hiasan pohon di sekelilingnya.

Peninggalan sejarah ini tidak terawat. Temboknya berlumut, mengelupas, hingga bata merahnya terlihat. Suasananya yang seperti terasing, kontras dengan kepadatan rumah penduduk yang menempel di sekitar bangunan. Melalui kamera saya berusaha menangkap sisa-sisa kejayaan masa lalu. Dan ini sangat pas sebagai latar belakang Puri, sang model, yang memancarkan eksotisme Jawa. Dengan kebaya merah serta kain batik yang juga dominan merah, Puri yang berkulit gelap justru terlihat menonjol.

Salah satu bagian Tamansari yang saya sukai adalah Pulo Cemethi – ada juga yang menyebut Sumur Gantung – yang dulu konon berfungsi untuk peninjauan Sultan bila ada musuh yang datang. Bangunan ini bentuknya mirip bangunan menara yang bertingkat. Di sekitarnya dulu konon laut buatan. Matahari hampir tenggelam, dan di atap tertinggi Pulo Cemethi itu saya mengabadikan Lana dan Puri. Waktunya sangat pendek, karena karena terlambat sedikit saja, langit biru dengan rona merah senja tidak bisa terekam kamera secara sempurna.

Dari suasana menjelang malam itu saya munculkan warna yang terang. Ketika mendekati gelap, saya ambil supaya warna langit birunya muncul. Untuk kondisi seperti ini saya membutuhkan pencahayaan berdaya besar, membuat pilihan jatuh pada Broncolor Para yang jangkauannya juga luas. Dan yang terakhir coba saya terangkan lagi, dengan twilite filter, supaya warna oranyenya keluar. Saya cukup puas karena ambient light-nya dapat. Pose dan ekspresi model sangat mengesankan, dengan latar belakang bangunan tua serta panorama alam di waktu senja yang sangat menawan. Saya mendapatkan golden moments.

Memotret di outdoor kuncinya satu, kita harus menyatu dengan alam. Sementara dengan model, seorang fotografer harus bisa berkomunikasi dengan baik, sehingga tidak ada jarak antara fotografer dan objeknya. Memotret tidak sekadar menekan tombol, seorang fotografer yang baik harus mengerti benar apa dan siapa objeknya. Ketika memotret kita harus menggauli si objek, seolah-olah kita bersanggama dengan objek itu. (Darwis Triadi/Photo HL by NordWood Themes on Unsplash)

Yogyakarta, 16 – 19 April 2005

Misteri Ratu Boko

0

Mengunjungi Ratu Boko yang terletak di dataran tinggi di Desa Bokoharjo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta, selalu membuat saya merinding. Candi yang bertenggaan dengan Candi Prambanan ini, berjarak dua kilometer arah selatan, tidak hanya magis, tapi bobot vibrasinya sangat kuat.

Kompleks kepurbakalaan Ratu Boko, yang juga dikenal dengan nama Kraton Boko, karena menurut legenda di situlah letak istana Ratu Boko, saudara Loro Jonggrang, terbuat dari batu putih dan batu andesit. Situs ini merupakan peninggalan sejarah yang menunjukkan unsur-unsur agama Budha dan Hindu dari abad 8 – 10 Masehi, yakni pada masa Kerajaan Mataram Kuno.

Candi Prambanan sebagai salah satu peninggalan terbesar dari Kerajaan Mataram Kuno, memiliki keterkaitan dengan kompleks Ratu Boko. Candi Prambanan terletak pada salah satu garis imajiner dengan Ratu Boko, sehingga para ahli memperkirakan bahwa Candi Prambanan sebagai daerah sakral, sedangkan kompleks Ratu Boko sebagai tempat pemukiman yang lebih profan.

Banyak elemen menarik di seputar Ratu Boko yang bisa dieksplorasi dalam sebuah karya fotografi, bahkan dalam survei sebelumnya seolah-olah ada yang menuntun ke tempat-tempat yang luar biasa magisnya. Lokasi di seputar kolam pemandian adalah pilihan yang luar biasa indahnya untuk mengabadikan Lana dan Melda dalam suasana yang dramatik.

Di Kraton Boko ini saya berusaha semaksimal mungkin memanfaatkan elemen-elemen ruang luar (landscape) dan benda-benda sekitar lokasi yang mungkin sering luput dari mata awam. Secara teknis hampir tidak ada kendala. Ibaratnya, kalau kita sudah menemukan lorong tertentu, apa pun bisa diwujudkan.

Tinggal framing saja, mana yang mau dilebarkan, mana yang mau dipersempit. Pose Lana yang memanfaatkan pohon sebagai elemen utama, contohnya. Framing-nya bagus. Karena sinar matahari yang kuat, maka saya tambahkan filter polarisasi yang bisa meredam cahaya yang terlalu terang. Ada asap buatan, seperti suasana desa di pagi hari.

Menjelang sore cuaca agak mendung. Sewaktu pemotretan saya mengandalkan long flash berdaya kuat Broncolor Para. Sedangkan teknik yang saya gunakan adalah mix light, yakni memadukan dua sumber cahaya dengan suhu warna yang berbeda: cahaya matahari sore dan flash. Saya juga pakai filter, sehingga warna ungu bisa masuk, sehingga bisa lebih dramatik lagi. Dengan latar belakang candi yang artsitik, ini juga bisa disebut sebagai foto fashion arsitektur.

Matahari tenggelam di ufuk barat, sesi pemotretan diakhiri di salah satu pintu gerbang seputar Kraton Boko. Puri berpose bak Loro Jonggrang, diiringi sepuluh pengawal lelaki bertelanjang dada. Bangunan sebagai latar belakang mencerminkan bangunan yang sangat kokoh, masif. Tapi yang saya tonjolkan tetaplah sosok perempuan yang sangat eksotik, matching dengan latar belakang yang ada di sekitarnya.

Mood-nya saya dapat, saya cukup puas. Ada awan yang menutupi langit, tapi saya bisa adjust. Tadinya saya berharap ada lapisan-lapisan awan, tapi mendungnya bukan yang cloudy, tapi awan yang rata. Saya tidak bisa menampilkan lapisan-lapisan awan itu, jadi saya putuskan untuk menggelapkan semua back ground-nya. Saya hanya bermain dengan filter. Golden light saya tidak dapat, tapi golden moment bisa saya peroleh. (Darwis Triadi)

(Ilustrasi HL oleh William Bayreuther on Unsplash)

Yogyakarta, 16 – 19 April 2005

Digital Life Style

0

Dengan fasilitas hotspot yang penyebarannya makin merata membuat orang bisa melakukan aktivitas dan pekerjaan dari mana saja. Ngerumpi dan presentasi sekaligus, bisa dilakukan di kedai kopi. Gaya hidup di era digital yang semakin memanfaatkan teknologi nirkabel, mengubah paradigma lama tentang konsep meeting points.

Starbucks, Plaza Senayan Jakarta. Jam makan siang telah usai, tapi tidak ada tanda-tanda para pengunjung yang rata-rata para eksekutif muda itu bergegas-gegas kembali ke kantornya. Danny Wirianto, salah satunya, bahkan sibuk memelototi layar laptopnya. “Saya sedang menunggu email dari klien,” ujar lelaki 33 tahun itu sambil menyeruput Frappucino, variasi kopi yang disajikan dingin.

Pemilik Semut Api Colony, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang kehumasan (PR) dan event organizer itu, merasa tidak harus bekerja di kantor untuk menyelesaikan tugas-tugasnya. Di kedai kopi ber-AC di plaza itulah ia menghabiskan sebagian besar waktunya. “Di tempat yang mempunyai fasilitas hotspot ini saya gunakan untuk baca email, browsing untuk mengetahui informasi terkini, menyusun agenda, bahkan membuat proposal,”katanya.

Asal tahu saja, hotspot adalah salah satu layanan yang disediakan penyedia jasa Internet, di mana dengan menggunakan layanan tersebut, pengguna dapat menikmati akses Internet nirkabel (wireless) melalui laptop atau PDA yang telah dilengkapi dengan teknologi Wi-Fi (wireless fidelitiy), di lokasi-lokasi tertentu, seperti kafe, mal, maupun hotel.

Konsep kantor tradisional memang tidak berlaku bagi Danny. Pekerjaannya mengharuskan ia menjalani mobilitas yang tinggi, bertemu klien di sebuah kafe, atau bekerja di venue yang ada fasilitas hotspot-nya. Agenda hariannya, sebagai contoh, jam 10 pagi ia ketemu teman di Time Break Café, Plaza Semanggi, dilanjutkan dengan makan siang, jam 2 siang ia bertemu klien di Mister Bean Coffee, Cilandak Town Square. Malamnya, tidak jarang ia teruskan dengan mengikuti acara di sebuah hotel berbintang, terutama kalau ia yang menjadi event organizer-nya.

“Jadi, tidak perlu ke kantor lagi, lebih efisien. Apalagi jalanan Jakarta kan makin macet saja. Yang penting, komunikasi saya dengan staf di kantor lancar-lancar saja,” ungkap jebolan Kendall College of Art & Design, yang mempunyai beberapa klien, seperti Bank Danamon, Bank Mandiri, LG, dan Paparon’s Pizza itu.

Danny memang tidak sendiri, banyak profesional muda, sebutlah marketing manager, konsultan, creative director, event organizer, pemilik perusahaan, bahkan freelancer yang tidak perlu berkantor, tapi memanfaatkan kafe-kafe yang dilengkapi dengan fasilitas hotspot sebagai meeting points. Di era multimedia saat ini, berkomunikasi dengan mudahnya dilakukan oleh siapa saja, dengan siapa saja, via ponsel, atau perangkat nirkabel lainnya, seperti notebook, PC tablet, PDA, ‘komputer terbang’, dan seterusnya, sebagai communication tools.

Orang-orang dengan gaya hidup seperti Danny itulah agaknya merupakan peluang tersediri bagi sejumlah kafe atau coffee shop. Starbucks, misalnya, yang jumlah gerainya di Jakarta kini sudah 25 atau total 32 di seluruh Indonesia, menciptakan apa yang disebut sebagai the third place atau tempat ketiga sesudah rumah dan kantor bagi semua orang.

Photo by Ben Kolde on Unsplash

“Keberadaan Starbucks yang terletak di tempat-tempat yang strategis memudahkan orang untuk datang menikmati sajian minuman kopi berkualitas,“ jelas Kiki Soewarso, Public Relations Manager Starbucks Indonesia, PT Sari Coffee Indonesia.

Dengan fasilitas hotspot, demikian Kiki, pengunjung tidak hanya bisa berkomunikasi via dunia maya. Suasana yang nyaman membuat minum kopi di Starbucks membuat pengunjung betah berlama-lama menikmati suasana, menikmati kopi sendirian, berdua atau beramai-ramai, bahkan untuk informal meeting dengan kolega. “Ada yang datang pagi hari, siang, sore, atau malam,’’ ujarnya.

Berpetualang Rasa ke Negeri Kangguru

0

Selama 10 hari, 14 – 24 Maret 2002, enam wartawan dari pelbagai negara mendapat undangan Australian Tourist Commission untuk program Epicurean Experiences Theme Tour, merasakan kelezatan makanan dan minuman terbaik di restoran-restoran terkemuka di Brisbane (Queensland), Canberra (Australian Capital Territory), dan Melbourne (Victoria). Mereka adalah Diego Bigongiari (Argentina), Anneli Dierks (Jerman), Sarenda Eloff-Voster (Afrika Selatan), Eta Kroon (Swedia), Tamara Rubanowski (Selandia Baru), dan Burhan Abe (Majalah ME – Indonesia). Berikut catatan pengalamannya.

Australia mempunyai banyak sisi. Berbagai tema bisa dijual sebagai komoditi wisata. Menjajal makanan enak, dan mencicipi wine terbaik merupakan pengalaman yang mempunyai kesan tersendiri.

Undangan ke Australia dari ATC (Australian Tourist Commission) memang bukan yang pertama bagi Majalah ME. Tapi kali ini dengan tema Epicurean Experiences – Food & Wine Theme Tour, tetap saja menarik perhatian. Yang terbayang adalah tur ke pelbagai tempat sambil mencicipi makanan dan minuman yang paling enak di wilayah tersebut. Maklum, Epicurean sendiri berarti “the enjoyment of good food and drink”. “Habis dari tur, berat badan pasti naik beberapa kilo,” komentar Yovita Poerwadi dari ATC Jakarta.

Sambil mengantongi jadwal acara yang sudah tersusun rapi saya sudah membayangkan hal-hal yang menyenangkan, termasuk soal mencicipi makanan dan merasakan nikmatnya anggur Australia. Saya hitung, ada sekitar 18 restoran – yang pastinya kelas satu, atau memiliki keistimewaan tertentu – yang harus kami kunjungi, belum termasuk makan siang dan acara wine tasting di vineyard (perkebunan anggur) dan winery (pembuatan wine).

Rabu 13 Maret jam 20.05, pesawat Qantas Airways dengan nomer penerbangan QF 042 membawa saya ke Sydney. Sekitar tujuh jam perjalanan terasa menyenangkan dan jauh dari membosankan. Sampai di bandara internasional Sydney jam menunjukkan pukul 06.45 waktu setempat – terdapat perbedaan lima jam dengan Jakarta.

Saya kagum melihat sarana di bandara yang begitu modern dan berfasilitas lengkap. Informasi apa pun rasanya tersedia, bahkan ada fasilitas warnet yang bisa dipakai sepuasnya tanpa beaya sepeser pun – untuk penerbangan domestik harus pakai koin 2 dolar Australia untuk setiap pemakaian 20 menit.

Fasilitas itu saya gunakan untuk berkirim email ke beberapa rekan, termasuk ke contact persons yang mengatur perjalanan ini, sambil menunggu jadwal penerbangan berikutnya ke Brisbane pada pukul 13.10.

Di Sydney saya mempunyai jadwal wawancara dengan Paul Curtis, Qantas Chef Executive di Qantas Flight Catering Limited (QFCL) Building yang lokasinya tak jauh dari bandara – hanya 10 menit dengan taksi. Saya menggali informasi seputar Snap Fresh, program baru yang diluncurkan Qantas pada Februari lalu.

Wineries and Vineyard

0

Australia dikenal sebagai salah satu negara penting yang menghasilkan buah anggur dan minuman anggur (wine). Beruntung kami mendapat kesempatan untuk berkunjung ke Sunshine Coast, salah satu wilayah penting di Queensland yang memproduksi wine, sekitar 112 km dari Brisbane. Wilayah pantai sekaligus pegunungan dengan iklim yang sejuk, sangat cocok bagi tumbuhnya tanaman anggur. Ada 10 perkebunan anggur sekaligus tempat produksi wine. Kami mengunjungi Settlers Rise Vineyard & Winery yang berlokasi di Montville.

Perkebunan dan pembuatan anggur ini dikelola seperti perusahaan keluarga. Pemiliknya adalah Peter Scudamore-Smith, ahli wine yang pandai mencampur berbagai jenis anggur sehingga bisa menghasilkan blended wines premium. Sebelum mendirikan perusahaan sendiri dan malang melintang di dunia wine selama 23 tahun, Peter adalah seorang Bachelor of Wine Science dan juga Master of Wine pada Institute of Masters of Wine di Inggris.

Agenda kami hari itu adalah mencicipi wine seperti yang dilakukan para sommelier (ahli wine). Sebelumnya kami juga disuruh mencicipi aneka keju dari Coolabine Farmstead Goat Cheeses, cracker, serta kopi organik yang juga produksi Montville. Untuk acara wine testing sendiri, kami dipandu oleh Heidi Bracko, Manajer Settlers Rise yang juga istri Peter.

Sebanyak 9 jenis wine telah disiapkan, mulai dari yang ringan (sparkling wine, white wine, sweet wine) hingga yang berat (red wine). Tidak seperti cara minum biasa, karena hanya sedikit saja wine yang kami cicipi setelah dicium terlebih dahulu aroma melalui bibir gelasnya. Sedikit dikumur-kumur lalu dibuang ke tempat yang telah disediakan.

Ini memang pengalaman unik. Rupanya wine tasting juga dijual sebagai paket wisata di wilayah ini, dengan harga 10 hingga 15 dolar Australia per kepala, tergantung dari jenis tur serta sedikit banyaknya jenis wine yang dicicipi.

Yang baru pertama kali mencoba mungkin tidak bisa membedakan rasa antara satu wine dengan wine yang lain. Tapi yang sudah terbiasa akan bisa menikmati wine yang masing-masing memiliki rasa dan aroma yang unik itu. Misalnya Verdelho, jenis white wine tahun 2001 mempunyai aroma seperti pisang.

Sedangkan jenis merah Lake Baroon Cabernet/Merlot tahun 2000 terasa lebih pekat dengan rasa yang rada sepet. Yang terkesan dengan jenis wine tertentu bisa membelinya, dengan harga antara 11,5 hingga 26,50 dolar Australia per botol.

Selain wine di pegunungan, wilayah ini lautnya juga terkenal sebagai penghasil ikan, mulai dari salmon hingga baramundi. Kami berkesempatan mencoba menimati “seafood extragavanza” untuk makan siang di salah satu restoran terkenal, Terrace Seafood Restaurant.

Pilihan yang sangat tepat karena restoran yang berlokasi di tepi pantai sekaligus pegunungan ini sering memperoleh berbagai penghargaan, mulai dari The Best Torism Restaurant in Queensland & Sunshine Coast Award (1998, 1999, dan 2000), hingga The Best Torism Restaurant in Australia Award (2000).

Pilihan entre-nya bermacam-macam, mulai dari salad, sup tom yum, hingga fresh oyster (tiram segar). Yang terakhir ini disajikan dalam piring besar, sementara tiramnya ditaruh dalam rangka yang berbentuk seperti miniatur tangga memutar. Untuk menu utamanya saya memilih The Terrace Platters, yang terdiri dari Moreton Bay bugs (sejenis udang), prawns (udang besar), kepiting, cumi, dan oyster, dimasak dengan santan dan cabai, disajikan dengan buah-buahan tropis. Hmm… (Burhan Abe)

ME 2002

Noosa Cuisine

0

Perjalanan selanjutnya adalah ke Noosa, kawasan pantai di Sunshine Coast dan menginap di The Sebel Resort Noosa. Pantai selalu menarik perhatian orang Australia. Menjadi area untuk berjemur atau sekadar menikmati hangatnya matahari, yang merupakan kemewahan tersendiri bagi penduduk yang berdiam di wilayah empat musim.

Itu sebabnya Noosa yang beriklim subtropis menjadi sangat hidup. Padanannya mungkin Kuta di Bali, tapi dalam versi yang lain, lebih tertata rapi. Pembangunan secara modern di wilayah ini dimulai sejak 1940. Dan kini, kota dengan 40.000 penduduk ini berkembang pesat, berbagai tempat pelesiran didirikan, hotel-hotel mewah bermunculan.

Resto dan kafe juga berkembang pesat di Noosa. Masing-masing tidak hanya unik, tapi juga stylish. Lebih dari 200 fine dining restaurant, belum termasuk fast food outlet. Ada yang berlokasi di tepi pantai, di tebing, juga di pinggir sungai. Jenis makanannya terdiri dari daging-dagingan hingga seafood, dimasak ala makanan Barat.

Belakangan bahan makanan organik menjadi tren dengan pengaruh masakan ala Asia dan Mediteranean. Yang menarik, “rahasia dapur” masing-masing resto itu sering dipublikasikan dalam koran lokal, juga diterbitkan dalam bentuk buku. Di antaranya adalah Noosa – The Cook Book (1999) yang memuat lebih dari 30 resep resto ternama di kawasan Noosa. Dengan berbagai keunikannya, pantas saja kalau Jane Robinson, Marketing Co-Ordinator Tourism Noosa Limited, menyebut Noosa sebagai salah satu melting pot yang penting di Australia.

Di Noosa kami berkesempatan menikmati makan malam di dua restoran ternama. Ricky Ricardo’s dan Berardo’s Restaurant. Resto yang pertama berlokasi di tepi sungai. Ricky yang pernah memenangkan American Express Award 2001 dan Best Sunshine Coast Restaurant itu menyajikan makanan ala Mediteranean.

Sementara Berardo’s dengan pemilik yang juga sekaligus chef David Rayner menyuguhkan sajian khas Australia, mewakili salah satu gaya Noosa Cuisine. Meski masuk melalui pintu kecil di tengah-tengah keramaian Noosa, di dalamnya ternyata lega. Dengan dekorasi etnik-modern yang serba putih, serta alunan piano, suasana menjadi romantis. Selama makan kami ditemani langsung oleh David yang kelahiran Inggris sambil menjelaskan satu per satu makanan yang datang ke meja kami. Makanan pembukanya terdiri dari tiga jenis, yakni sepotong ikan tuna yang dimasak ala sashimi, dada burung, dan kemudian salad yang terdiri dari tomat dan sayur-sayuran organik.

Menu utama banyak pilihan, dan saya memilih lobster yang dimasak dengan white wine, chili, basil dan vanila. Pilihan teman-teman yang lain beraneka, tapi semuanya memuji kelezatannya, dan saya mengamininya. Restoran yang masuk “the big five” di Noosa itu mengklaim makanan yang disajikan hampir 95% terbebas dari bahan kimia. Oleh koran lokal, The Courier Mail, Berardo’s juga dipuji sebagai resto yang mempunyai makanan yang enak, suasana yang mengasyikkan, serta mempunyai wine list yang sempurna.

Ke Noosa kurang lengkap kalau tidak mengetahui rahasia makanannya. Maka, kami pun pergi Villa Alba House of Sunshine untuk ikut cooking class – salah satu item yang dijual sebagai daya tarik pariwisata. Vila tersebut terletak di Noosa Valley, dekorasinya bergaya Eropa modern yang dipengaruhi gaya Bali, mempunyai kolam renang, serta berhalaman luas dengan pemandangan kebun dan pepohonan besar.

Selain para wartawan ada beberapa ibu yang ikut bergabung. Pemandu kursus tersebut sekaligus pemilik vila adalah sepasang suami istri, Sebastian dan Fiona Falzon. Dari namanya mereka memang berasal dari Italia. Siang itu kami membuat makanan Italia, terdiri dari agnello (seperti gule kambing dengan kentang), tortellini (pastel kecil yang berisi daging), serta Italian Easter.

Fiona yang pengacara tapi mempunyai hobi memasak itu menerangkan resep sambil mempraktekannya. Para peserta tidak hanya menyimak, tapi juga ikut membantu. Acara masak-memasak memakan waktu sekitar dua jam, kemudian diakhiri dengan makan siang bersama dari hasil masakan tersebut. Tidak lupa, selama makan berlangsung tersedia berbagai wine Australia. (Burhan Abe)

ME 2002

Daging Kangguru

0

Kembali ke kota Brisbane acaranya juga tak jauh dari makan dan minum. Ada restoran fine dining yang kami coba. Pier Nine Seafood dan River Canteen. Yang pertama, seperti namanya, kami mencoba berbagai jenis seafood. Sementara di River Canteen kami berkesempatan mencicipi daging Kangguru.

Kedua restoran ini berlokasi di tepi sungai Sungai Brisbane, yang menjadi arus transportasi penting selain jalan raya. Pada hari-hari tertentu di sungai tersebut biasanya ada berbagai atraksi, misalnya kayaking, yang hari itu diperlombakan. Taman di sekeliling sungai itu, South Bank Parkland, benar-benar dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan, dari BBQ, berolah raga bersama keluarga, hingga sekadar duduk-duduk bersantai. Sambil bersepeda ria kami menikmati suasana sekeliling sungai tersebut.

Brisbane Powerhouse terdapat di tepi sungai ini pula, yang disebut sebagai New Farm. Inilah gedung teater atau tepatnya pusat kesenian, yang selalu menampilkan berbagai acara kesenian, mulai dari drama hingga pameran lukisan Bentuknya sangat artistik, menyisakan beberapa ornamen gedung lama yang dibangun sejak tahun 1926, tapi mempunyai fasilitas yang sangat modern. Di dalam serta di luar Powerhouse terdapat kafe. Kebetulan kami mampir ke salah satunya Watt, Modern Dining Restaurant yang berlokasi di tepi sungai.

Pada kesempatan yang lain kami mengunjugi pabrik roti Jocelyn’s Provisions dan pembuat kopi Merlo Fresh Expresso yang berlokasi di tengah-tengah kota. Sebenarnya bukan pabrik, tapi lebih tepat disebut home industry. Meski industri rumahan, produk mereka ternyata sangat dikenal seantero Australia, bahkan Jocelyn’s yang membuat bread, cakes dan tart, masuk dalam salah satu coffee table book yang berisi profil para jawara pembuat roti Australia dan New Zaeland.

Sementara di Black Pearl Epicure, masih di Brisbane, kami mempelajari tentang good food & good drink, yang dipandu langsung oleh sang maestro. Kami memperoleh pengetahauan baru tentang wine, cara mengenali makanan berkualitas, mulai dari keju, garam, ikan salmon, termasuk telurnya, caviar, serta olive oil (minyak zaitun). Bahan-bahan tersebutlah yang sering menjadi campuran makanan Barat. (Burhan Abe)

ME 2002

Sejarah Australia di Canberra

0

“Petulangan rasa” di Canberra tidak kalah serunya. Ibu kota negara yang mempunyai hutan dan dataran tinggi (571 meter dari permukaan laut) itu terlihat sangat lengang. Maklum, penduduknya hanya 314.000 jiwa – 60 persen di antaranya pegawai negeri. Karena ibu kota, di sini terdapat 70 kedutaan besar dari berbagai negara.

Kota yang dirancang oleh arsitek asal Amerika, Walter Burley Griffin pada 1911 itu mempunyai pemandangan yang sangat asri. Beberapa gedung tua menjadi objek wisata tersendiri, antara lain National Gallery yang menampilkan lebih dari 110 artefak dan Old Parliament House yang dibangun pada 1927.

Saya sendiri terkesan dengan National Museum of Australia. Museum yang dibuka Maret 2001 dan menelan biaya 155 juta dolar Australia ini mempunyai bangunan yang sangat funky. Meski yang dipamerkan adalah benda-benda kuno, tapi pengemasannya sangat modern. Memasuki museum seperti membaca sejarah Australia. Di pintu gerbang kita terlebih dulu dipersilakan duduk di ruang teater. Tidak seperti bioskop biasa, karena layarnya tidak tunggal dan bisa dinaikturunkan, sesuai dengan efek yang ingin dicapai. Tempat duduknya pun bisa berputar, seolah-olah ingin mempertunjukkan kecanggihan multimedia tiga dimensi yang sedang ngetren belakangan ini.

Di ruang museum pun merupakan rekreasi tersendiri. Gambar-gambar pahlawan, misalnya, tidak sekadar diam, tapi ada tombol-tombol komputer interaktif untuk mengekplorasi informasi lebih jauh.

Lalu, bagaimana dengan rekreasi makanannya? Ternyata ada 300 restoran di Canberra. Kami kebetulan mengunjungi tiga restoran yang direkomendasikan, yakni Axis yang terletak di museum dan dioperasikan oleh Hyatt Hotel, tempat kami menginap, Anise Restaurant yang menyajikan makanan Australia dengan sentuhan Mediteranean dan Asia, serta Aubergine yang sangat cozy.

Photo by Anton Mislawsky on Unsplash

Canberra juga dikenal sebagai penghasil wine, tak kurang dari 24 perkebunan anggur dan industri wine yang terdapat di sini. Kami mengunjungi salah satunya, Lark Hill Winery. Pemiliknya adalah Dr David Carpenter, yang mengelola winery ini secara personal dengan beberapa tenaga kerja. Meski kelas rumahan, toh banyak penghargaan yang diberikan kepada merek wine ini. (Burhan Abe)

ME 2002

Makan Siang Terpanjang

0

Melbourne adalah kota terakhir yang kami kunjungi dalam program ini. Dengan penduduk 3 juta juta jiwa, kota tersibuk kedua di Australia setelah Sydney ini konon merupakan salah satu kota yang paling baik dihuni di dunia. Kota yang dibangun sejak 1835 ini mirip dengan kota-kota besar lainnya di Eropa, campuran antara modern dan klasik. Anda tidak akan bosan menyusuri jalanan melewati bangunan-bangunan kuno maupun mal-mal mewah.

Hari pertama, setelah check in Grand Hyatt Melbourne, kami lewatkan dengan makan siang di Pearl Restaurant yang berlokasi di Chuch Street, Richmond. Restoran ini berkonsep minimalis, tapi makanannya sangat variatif. Dalam Good Food Guide 2002 terbitan The Edge Melbourne, resto yang juga menjual pearl yang ditaruh dalam show case ini dipuji sebagai pendatang baru terbaik.

Sehabis makan dan mengobrol, kami tak sabar mengikuti tur yang diberi tajuk “Chocolate Indulgence Walk” – melihat dan menikmati coklat dari dekat. Saya tidak menyangka kalau tur tersebut ternyata hanya berjalan-jalan di kawasan pertokoan.

Dengan dipandu oleh Suzie Wharton dari Talkabout Tours kami menyusuri kawasan kawasan CBD (Central Business District) Melbourne, rutenya dimulai dari es krim dari Chairmaine’s Ice Cream di Southgate, kemudian pembuat gulali di Toko Suga, pembuat coklat tertua Haigh’s Chocolat, dan berakhir di The Pancake Parlour sambil menikmati panekuk yang lezat.

Yang surprise justru di akhir acara, sambil minum teh di Hanzelmann’s di sisi Hotel Grand Hyatt, Suzie yang berusia setengah baya itu menunjukkan kelasnya sebagai ahli coklat. Ia merencanakan akan menyusun buku dengan kemasan mewah yang berjudul “A Chocoholic Guide to Melbourne”.

Restoran fine dining yang kami jajal di Melbourne adalah Circa, Ezard di Adhelpi Hotel, dan Flower Drum – restoran Cina di China Town. Restoran yang disebut terakhir inilah yang bisa menebus kerinduan saya akan nasi dan makanan Asia, setelah hampir dua minggu selalu ketemu dengan makanan Barat.

Warga Melbourne adalah pemuja makanan dan wine, maka pada setiap jamuan makan selalu tersedia wine. Uniknya, ada beberapa restoran yang mengizinkan tamunya untuk membawa wine sendiri dari rumah, sehingga tidak harus membeli dari restoran, cukup membayar biaya service saja. Restoran seperti ini biasanya mencantumkan BYO (bring your own) di outlet dan di daftar menunya, selain kata “licensed” (mempunyai izin menjual minuman beralkohol, termasuk wine).

Perkebunan anggur dan pembuatan wine di Melbourne tergolong lebih modern, paling tidak dibandingkan dengan tempat serupa di Brisbane dan Canberra. Kami mengunjungi dua winery, Yering Station dan Domain Chandon. Keduanya berlokasi di dataran tinggi Yarra Valley, jaraknya sekitar 1,5 jam perjalanan dengan mobil dari kota Melbourne.

Yering Station berdiri sejak 1838, dan sekarang menjelma menjadi winery modern. Selain terdapat restoran dengan pemadangan pegunungan yang indah, mereka menjual paket wisata testing wine. Mirip dengan Domaine Chandon yang sebetulnya spesialisasinya pada French Champagne atau sparkling wine. Tapi pada saat itu kami berkesempatan mencicipi berbagai wine yang anggurnya dipanen dari tempat tersebut dengan bermacam-macam varietas, mulai dari Chardonnay, Pinot, Noir, Cabernet hingga Shiraz.

Yarra Valley sebenarnya tidak hanya wine-nya yang terkenal, keju terbaik juga dihasilkan dari tempat ini. Kami mengunjungi Yarra Valley Dairy menikmati aneka keju buatan tangan serta secangkir cappucino yang hangat di tengah-tengah peternakan sapi. Santai di sebelah kandang sapi, bo! Suasana seperti ini rasanya hanya bisa dinikmati oleh orang-orang bule saja, yang setiap hari makan keju tanpa tahu tempat pembuatannya dari dekat.

Snap Fresh from Qantas

0

Di tengah kompetisi yang makin ketat, maskapai-maskapai penerbangan saling meningkatkan pelayanannya. Tak terkecuali Qantas Airways, perusahaan penerbangan kedua tertua di dunia yang melayani 134 tujuan penerbangan di 37 negara yang tersebar di Afrika, Asia, Eropa, Amerika, Kepulauan Pasifik, dan Australia. Sejak 6 Februari 2002, perusahaan penerbangan asal Australia dengan maskot binatang kangguru itu memperkenalkan program Snap Fresh. Inilah fasilitas pertama layanan sajian hidangan sentralisasi untuk industri dirgantara.

Snap Fresh sepenuhnya dimiliki oleh Qantas dan akan menghasilkan berbagai konsep menu baru yang akan dihidangkan pada para penumpang rute domestik dan internasional. Menurut Chairman Qantas Ms Margaret Jackson, fasilitas Snap Fresh di Crestmead, Brisbane, merupakan salah satu pusat produksi sajian hidangan makanan termodern di dunia dan merupakan bagian dari tren internasional dalam industri jasa boga dalam memberikan kualitas terbaik dan konsistensi.

Kemajuan teknologi canggih telah membantu mempertahankan kualitas sambil berusaha terus memenuhi permintaan layanan jasa boga dalam penerbangan hingga ribuan hidangan setiap harinya. “Snap Fresh adalah kombinasi antara gairah dan sains,” tandasnya.

Photo by Josh Withers on Unsplash

Sebagian besar hidangan yang diproduksi di Snap Fresh disajikan untuk Qantas, meski kelak tidak tertutup untuk mitra maskapai penerbangan lainnya, termasuk industri lain seperti hotel, kesehatan dan pertambangan.

Snap Fresh memang bukan hal baru, telah dimulai di Eropa beberapa waktu yang lalu. Perbedaan utama antara hidangan kabin tradisional dan hidangan Snap Fresh adalah makanan setelah dimasak, langsung dibekukan, bukan didinginkan. “Sajian dan tampilan hidangan kami tampak seperti hidangan di restoran sebelum dan sesudah dibekukan dengan ‘cepat’, karena kami menggunakan produk segar,” tambah Paul Curtis, Qantas Chef Executive di Sydney.

Boleh dibilang bandara di Sydney merupakan bandara tersibuk bagi Qantas. Sementara untuk urusan makanan ternyata tidaklah sederhana. Dengan 260 penerbangan setiap minggunya, Qantas (Sydney) yang siaga 24 jam itu harus menyajikan hidangan sekitar 110.000 – 155.000 per minggu kepada para penumpangnya. Memerlukan biaya sekitar US$ 27,5 juta per tahun.

Semua itu dikonsentrasikan dari Qantas Flight Catering Limited (QFCL) Building yang luas totalnya sekitar 19.300 meter persegi yang mempekerjakan 764 karyawan – yang terdiri dari staf administrasi, food production, catering operation, store, dan lain-lain. Mereka menyiapkan berbagai jenis hidangan, mulai dari yang umum hingga yang khusus, misalnya hidangan untuk vegetarian, makanan anak-anak, makanan bayi, makanan untuk penderita diabetes, makanan Hindu, termasuk makanan halal untuk Muslim. (Burhan Abe)

ME 2002