Home Blog Page 61

Populasi Gadget dan Iklan Digital

0

Tren digitalisasi bukan untuk dihindari, tapi harus diterima sebagai sebagai sebuah keniscayaan – kecuali Anda merasa nyaman hidup di “zaman batu”. Penetrasi perangkat-perangkat canggih juga makin tidak terbendung dalam kehidupan sehari-hari. Sebutlah ponsel, smartphone, tablet, phablet, dan kelak si pendatang baru “kacamata pintar”.  

Jangan salah, masyarakat Indonesia ternyata termasuk pasar yang atraktif bagi gadget-gadgetmasa kini tersebut. Ada yang memperkirkan, jumlah pemilik ponsel di Indonesia sudah menembus 200 juta – lebih tinggi dibandingkan populasi televisi dan radio. Sementara, penetrasi internet di Indonesia sekitar 40 persen.  

Sebuah penelitian yang lebih komprehensif mengungkapkan bahwa kebanyakan orang Indonesia memiliki perilaku konsumtif dalam pembelian smartphone dan tablet. Menurut perkiraan Cisco Visual Networking Index (VNI) Forecast, akan ada 370 juta pembelian ponsel atau tablet yang dilakukan oleh warga Indonesia pada 2017 mendatang.  

Penelitian itu mencatat bahwa pada 2011 tercatat sekitar 250 juta pembelian berbagai ponsel dan komputer tablet di Indonesia. Hanya dalam satu tahun, jumlah tersebut meningkat 50 juta menjadi 300 juta pengguna ponsel dan tablet — dan diperkirakan akan menembus angka 370 juta pada 2017.   Dirk Wolter, Director for Mobility Architecture for Asia Pacific, Japan, and Greater China, mengatakan peningkatan jumlah tersebut karenakan perilaku konsumtif warga Indonesia disertai gaya hidup yang berubah mengikuti perkembangan teknologi. “Seperti dapat kita lihat, satu orang di Indonesia sekarang bisa memiliki empat ponsel,” tutur Wolter, seperti dikutip Okezone.  

Ya, perilaku konsumtif membuat pertumbuhan pasar gadget di Indonesia melonjak karena hadirnya ponsel-ponsel atau tablet dengan harga miring, pasar gadget second pun berkembang. Meski ponsel-ponsel anyar ramai berdatangan, tapi pembelian ponsel dari tangan kedua pun marak karena harganya yang lebih murah. Di Indonesia hal ity sudah biasa, “Sementara di negara maju sebutlah AS dan Eropa, orang-orang tak ada yang membeli ponsel atau tablet bekas. Mereka semua membeli barang yang baru,” jelas Wolter.  

Besarnya populasi gadgetdi Indonesia ini tentunya juga diikuti oleh gaya hidup seseorang yang selalu membutuhkan internet dalam aktivitasnya. Kebutuhan akan koneksi internet ini makin tinggi dari waktu ke waktu, sebab tidak hanya bisnis, internet juga dibutuhkan untuk aktivitas sehari-hari. Selain digunakan untuk melakukan aktivitas pekerjaan dan bisnis, penggunaan internet data yang melonjak tersebut juga didominasi oleh aktivitas masyarakat dalam bersosial media.  

Cisco mencatat bahwa keuntungan paling banyak di dunia telekomunikasi bersumber dari data internet, diikuti oleh layanan SMS, serta layanan telepon. Pada 2011 tercatat keuntungan terbesar di dunia telekomunikasi Indonesia bersumber dari data internet, yakni 11 miliar dolar AS. Berikutnya adalah SMS sebesar 9 miliar dolar AS, dan layanan telepon sebesar 6 miliar dolar AS.  

VNI Forecast memprediksi angka tersebut akan terus meningkat, dan pada  2017 data internet akan mencapai 15 miliar dolar AS, SMS 12 miliar dolar AS, dan layanan suara 8 miliar dolar AS.  

Ketika populasi gadgetsemakin tinggi, dan penggunaan internet menjadi kebutuhan yang terus meningkat, maka periklanan digital pun adalah sebuah keniscayaan pula. Beriklan secara digital sekarang ini menjadi pilihan bukan hanya oleh perusahaan besar, tetapi juga usaha kecil dan menengah. “Dulu orang melihat digital itu sebagai komunikasi. Sekarang sebagai sarana untuk berkomunikasi, untuk berjualan,” ucap Danny Wirianto, CEO Merah Cipta Media.  

Hanya saja, sekalipun kebutuhan beriklan digital semakin membesar, masih ada beberapa catatan. Pertama, pengetahuan terhadap iklan digital masih rendah. Kedua, kesadaran akan ranah digital sebagai medium komunikasi dan keperluan bisnis belum ada. “Anak daerah, kayak di Bali atau Yogyakarta, misalnya, pintar dalam hal tekno, tapi secara marketing belum comply,” kata Ketua Pengembangan Digital Advertising di Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia. (Burhan Abe

Sumber: MALE 83

Iklan Digital Lebih Seksi

0

KEBERADAAN media digital merupakan bagian dari perkembangan media massa. Dulu, media cetak hanya bersaing dengan sesama media cetak, yakni koran dan majalah, ditambah radio dan televisi. Tapi kini, media konvensional tersebut harus menghadapi revolusi media, yakni media digital.  

Tapi yang jelas, media digital, atau lebih luas online, adalah peluang bukan ancaman, kendati uang yang masuk ke new mediaitu di Indonesia relatif kecil. Juga, kue iklan untuk media digital di Indonesia yang pada tahun 2013 mencapai Rp 1,5 triliun, misalnya, 70 persen mengalir ke perusahaan media digital asing, seperti Google, Yahoo, Facebook, Tweeter, dan Facebook.  

Artinya, demikian Direktur Pengembangan Bisnis Kelompok Kompas Gramedia, Edi Taslim, hanya tersisa sekitar Rp 400-500 miliar yang diperebutkan oleh 25 lebih media digital Indonesia.   Sungguh, kondisi yang masih memprihatinkan, apalagi melihat jumlah pengguna internet di Indonesia yang sudah mencapai 70 juta, yang sungguh luar biasa. Lalu,  mengapa iklannya masih relatif kecil?  

Berikut analisis Handi Irawan D, CEO Frontier Consulting Group. Pertama, pengetahuan para pelaku bisnis dan pemilik merek di Indonesia relatif minim dalam hal teknologi digital. Akibatnya, mereka masih kurang yakin terhadap efektivitas dari media digital. Proses pengukuran efektivitas dari media digital ini masih sangat minim, dan mungkin hanya beberapa puluh perusahaan di Indonesia saja yang melakukannya.  

Kedua, kisah sukses dari merek-merek atau perusahaan di Indonesia yang berhasil meningkatkan penjualan atau meningkatkan ekuitas merek dengan hanya mengandalkan media digital masih minim. Yang sering menjadi contoh, biasanya hanya perusahaan dengan skala kecil dan umumnya banyak yang menggunakan media sosial.   Ketiga, tentu saja adalah dari medianya sendiri. Iklan internet di Indonesia yang terbanyak adalah dalam bentuk iklan banner dan display – di luar kedua jenis iklan itu nyaris nol.  

Keempat, karakter pengguna internet di Indonesia masih dominan dalam hal media sosial. Selain itu, pengguna internet di Indonesia didominasi oleh mereka yang berusia muda. Dalam hal ini, banyak perusahaan atau pemilik merek merasa bahwa iklan di media digital tidak mampu menjangkau sebagian besar dari target mereka.  

Walaupun demikian, semuanya ini tinggal menunggu waktu. Pandangan pesimis menganggap kondisi ini sangat mencemaskan, tapi padangan optimis ini justru merupakan tantangan bagi perusahaan penerbitan di Indonesia. Perusahaan-perusahaan penerbitan digital itu dituntut untuk lebih kreatif, dengan produk-produk yang kreatif pula, supaya bisa menarik pengiklan.  

Media digital interaktif merupakan sebuah produk teknologi informasi terbaru yang trendi saat ini. Kehadiran model bacaan baru dalam formal digital ini tentu sangat berpengaruh kepada cara masyarakat mengomsumsi media.  

Dulu, tak terbayangkan kita dapat membaca majalah berformat digital, yang bukan hanya dalam bentuk Web atau file PDF, Word, Photoshop atau sejenisnya, melainkan dalam berbagai format sesuai dengan keinginan. Majalah digital berformat folio, misalnya, mempunyai konten yang sama, desain grafis yang sama, serta tampilan yang sama, dengan majalah cetak, bahkan lebih dari itu; interaktif dan ada videonya.    


Selain memberi pengalaman membaca yang baru, lebih fleksibel, interaktif dan menyenangkan, juga memungkinkan Anda menyimpan puluhan majalah tanpa harus menenteng tumpukan kertas yang sangat tebal seperti di masa lalu, hanya dalam sebuah tablet.  

Hal inilah yang membuat orang seperti Chris Antonius, CEO sebuah perusahaan, merasa optimistis. Iklan di media digital peluangnya besar, juga lebih seksi. Selain bisa menyasar target yang lebih luas, hasil dari pemasangan iklan pun bisa terlihat lebih jelas.  

Menurut Chris,  iklan di media tradisional dianggap tidak lagi begitu efektif untuk menggaet konsumen, berbeda dengan iklan digital yang memanfaatkan akses internet di komputer dan perangkat mobile, sepert tablet dan smartphone. “Kebiasaan orang-orang sekarang yang kerap menggunakan waktu luang mereka di komputer dan perangkat mobile, adalah peluang manis bagi pengiklan,” tukasnya.  

Menurutnya, hasil dari iklan pun akan terlihat lebih jelas. Yang menarik, iklan digital bisa dilacak dan dilaporkan dengan jelas. Pengiklan bisa mengetahui  dengan tepat berapa banyak orang yang mengklik iklan atau melihat produk yang diiklankan tersebut – yang tidak didapatkan di media tradisional. (Burhan Abe)  

Sumber: MALE 82

Publishing Revolution

0

A picture tells a thousand words… Imagine what moving ones can do!

TIDAK ada salahnya kita bahas lagi soal media digital. Maklum, dalam beberapa tahun terakhir ini perkembangan media digital sangat luar biasa, dan hampir semua media cetak besar beralih ke media digital – paling tidak menambahkan versi digitalnya di samping yang konvensional. Inilah yang disebut publishing revolution, media cetak (Eric Schmidt, mantan CEO Google memprediksi 5 tahun lagi) akan berada pada titik nadir, dan tergantikan dengan digital.  

Tidak pelak, perkembangan teknologi yang pesat menuntut semua hal menjadi lebih praktis dan mudah. Dalam bidang penerbitan, media digital adalah jawabannya. Apalagi, faktanya, tablet sebagai medium baru mulai menjamur. Tidak hanya tablet sebetulnya, tapi smartphone yang berfungsi sebagai tablet (ada yang menyebut phablet), ikut menyemarakkan perkembangan ini. Produk-produk gadget yang masuk kategori mobile itu kian menggerus keberadaan majalah konvensional.  

Memang, tablet buatan Apple, yang lebih dikenal sebagai iPad, pada kuartal kedua 2014 ‘hanya’ mampu terjual sebanyak 16,3 juta unit, tidak sesuai target yang dipasang para analis Wall Street mencapai 19,36 juta.  

Hanya saja, menurut CEO Apple Tim Cook angka penjualan iPad tersebut sudah sesuai dengan target internal perusahaan, dan yang menarik dua dari tiga pengguna iPad pada pertengahan tahun pertama ini merupakan pengguna baru.  

Yang jelas, menurut perkiraan IDC, penjualan tablet secara global untuk bisnis tahun ini akan tumbuh 14%, bandingkan dengan tahun 2013 yang 11%, dan berlanjut hingga 18% pada 2018. Kalkulasi yang lebih simpel dikemukakan oleh TabTimes, bahwa penjualan tablet untuk bisnis tahun 2014 akan mencapai 36,5 juta unit, atau naik 52% ketimbang 2013. Perkiraan angka pasar bisnis tersebut adalah tiga kali lipat dibandingkan pasar konsumer (individual).  

Yang menarik, kepraktisan serta kecanggihan perangkat tentu saja, menjadi hal yang utama, maka penggunaan mobile cenderung makin membesar ketimbang desktop. Bahkan sebelum akhir 2015, The NPD Group memperkirakan penggunaan mobile broadband devicemencapai 34 juta unit – 66% di antaranya adalah tablet.  

Praktis, mudah, murah dan efisien. Hal ini nampaknya yang membuat orang keranjingan memakai perangkat mobile, dan kembali ke soal media, versi digital yang bisa mewakili.  Tidak seperti media konvensional yang statis, majalah digital (interaktif) tampil lebih atraktif dan komunikatif, serta kaya akan konten yang membuat pembaca bisa tidak sekadar membaca tapi mempunyai pengalaman yang lebih seru di dunia digital.  

Majalah digital tidak hanya tren baru, tapi juga sekaligus challenge baru bagi penerbit untuk mengembang tiga unsur yang ada di platform ini: cetak, video, dan web, yang bisa memanjakan pembacanya. Selain memanfaatkan interaktif dan efek video, beberapa media sudah mengembangkan e-commerce yang lebih atraktif, yang menjadikan bertransaksi bisnis di dunia internet (via mobile) lebih menarik ketimbang duduk di meja komputer. Majalah The Church memberi catatan menarik, “A picture tells a thousand words… Imagine what moving ones can do!(Burhan Abe)

Sumber: MALE Edisi 81

Think Digitally

0

Digitalisasi bukan sekadar mantra, tapi memang sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Kita semakin tergantung kepada berbagai teknologi yang memudahkan hidup, sebutlah komputer, notebook, smartphone, tablet, phablet dan seterusnya. Perangkat tersebut memudahkan kita untuk melakukan apa saja, mulai dari berkomunikasi, bersosialiasi, hingga bekerja.  

Salah satu produk digital adalah MALE. Digitalisasi media adalah sebuah keniscayaan, upaya memanfaatkan laju teknologi agar tidak ketinggalan zaman. Format digital juga lebih fleksibel, kapasitas distribusinya jauh melebihi media kertas yang terbatas. Majalah digital mempunyai konten yang lebih menarik, karena bisa diperkaya dengan video, suara, dan tautan web. Unik dan interaktif.  

Memang, ada pendapat minor bahwa animo pembaca majalah digital interaktif mulai menurun. Dibandingkan dengan majalah konvensional, khususnya di Indenesia, jumlah pen-download majalah digital masih tergolong kecil. “Tidak banyak yang tahu, kami mem-published versi digital di iPad,” ujar seorang pemimpin redaksi sebuah majalah gaya hidup.

Keluhan tersebut ternyata tidak hanya berlaku di Indonesia. Beberapa penerbitan majalah digital di AS juga pernah mengeluhkan hal yang sama, bahkan lebih ekstrem mengatakan bahwa “The app is dead”. Benarkah?

Banyak yang tidak setuju. Salah satunya adalah Josh Klenert, Direktur Eksekutif di Digital Customer Experience untuk JPMorgan Chase. Mengapa majalah digital tidak menarik perhatian? Menurut kreator majalah Huffington dan HuffPost untuk iOS7 dan Android ini, tak lain karena penerbitnya belum berpikir secara digital. Majalah-majalah digital yang ada saat ini kebanyakan perpanjangan dari majalah cetak. Isinya hanya memindahkan dari cetak ke digital saja. 

Sudah begitu, periode terbitnya rata-rata sebulan sekali, yang bagi pembaca online dan komunitas digital, terlalu lama. David Jacobs,  CEO 29th Street Publishing, menambahkan bahwa replika tidak akan pernah berhasil.

Makanya, jangan heran kalau ada majalah digital yang pelanggannya hanya 3% dari pembaca secara keseluruhan. “There is a challenge (and an opportunity) since the mainstream conception of a magazine app is what amounts to a photo gallery of pages of a magazine, with the occasional widget or animation. But that’s not a transformation that is going to happen overnight,” tambahnya.

Tentu, majalah digital tidak mati, tetapi membutuhkan pembenahan di berbagai lini, mulai dari kreativitas, desain, termasuk pembenahan di luar konten – sebutlah periodisasi terbit (Esquire, misalnya, sudah meluncurkan edisi mingguannya di iPad),  sosialisasi produk dan strategi pemasaran. Apalagi, faktanya, tidak ada yang bisa menghentikan proliferasi tablet. Pasar tablet semakin besar, banyak aplikasi yang dibuat dan dikembangkan untuk perangkat ini.  

Jadi, kalau ada penerbit yang mengeluh kekurangan pembaca, jangan salahkan teknologinya – apalagi menyalahkan masyarakat yang kurang aware terhadap produk digital. Buktinya, MALE, sampai edisi yang ke 80, masih mendapat animo yang luar biasa, dengan downloader sekitar 300-350 ribu per edisi di tiga platform (PDF, IOS, dan Android). Secara keseluruhan, sampai April 2014, MALE sudah diunduh dalam bentuk PDF 25.230.846 dan Folio 843.188 (iPad dan Android Gadget), sementara Aplikasi iPadnya sudah mencapai 49.057, dan  aplikasi Android 84.824. (Burhan Abe)

Satanic Secrets of Hollywood

0

Tema hantu-hantuan ternyata bukan monopoli film Indonesia, Hollywood pun keranjingan hal yang sama — yang bahkan menjadi kiblat sineas perfilman dunia. Berbagai genre mengacu ke sana, khususnya horor dan thriller. Beragam cara dilakukan untuk meracik konsep cerita yang tidak hanya membuat penontonnya berteriak ketakutan, tapi juga mencekam. Termasuk pula memberi pemahaman tentang kejadian di luar batas pemikiran manusia pada umumnya.

Hantu, monster, pembunuh berantai, dan psikopat menjadi menu pilihan konsep cerita dalam industri film. Tapi, di antara berbagai macam sosok yang menakutkan, iblis atau setan menjadi tokoh langganan.   

Iblis atau setan adalah simbol dan karakter antagonis yang kental mewarnai film horor serta thriller. Sama sekali tidak ada kesan positif ketika menyebut kata ’iblis’, selain sifat menghancurkan, merusak, dan menjauhkan manusia dari kebaikan. Bagai dua sisi mata uang, sosok iblis, yang identik dengan keburukan, selalu menjadi ide menarik untuk diangkat ke layar film. Pertarungan kebaikan dan kejahatan selalu mengedepankan sosok iblis, yang menjadi pihak yang bertanggung jawab atas kemalangan yang menimpa tokoh utama.   

Seperti disebut dalam artikel Satanic Secrets of Hollywood di situs Hollywoodilluminati, kehadiran iblis tidak pernah terduga. Tokoh ini bahkan tampak pada simbol-simbol yang sering keluar dalam frame film yang konon dipakai oleh penganut agama setan memperlihatkan komunitasnya. (Burhan Abe)  

Source: MALE 79

Konvergensi

0
Digitalisasi memang tak terelakkan lagi. Generasi kiwari cenderung menaruh apa saja ke dalam perangkat mobile dalam bentuk digital – mulai dari catatan, gambar, musik, hingga video.   

Di ranah industri penerbitan, platform majalah digital mulai menjadi tren, dan para publisher yang sadar dengan perkembangan zaman, berlomba-lomba untuk menangkap peluang ini. Apalagi smartphone dan tablet sudah mulai menjadi populer dewasa ini.  

Salah satu fenomena yang paling menonjol dari dinamika komunitas digital di dunia – dan di Indonesia tentu saja – saat ini adalah mulai tumbuhnya kecenderungan positif pada penggunaan tablet. Berdasarkan data yang dirangkum oleh Philip Elmer DeWitt selaku pengelola blog Apple 2.0 Fortune dari 34 analis, angka penjualan iPad untuk kuartal kedua tahun 2014 diperkirakan akan mencapai 19,3 juta unit.

Memang, angka penjualan tersebut turun 0,7% dibanding tahun lalu, apalagi dibanding periode 2012 – 2013 yang pertumbuhannya sempat mencapai 55%, tapi 19,3 juta masih tergolong besar. Penurunan kecil ini konon berkaitan dengan akan hadirnya dua varian iPad Air dan iPad Mini Retina Display versi terbaru. Pasar memang belum kondusif, wait and see, yang sebenarnya wajar saja untuk produk yang perkembangan teknologinya selalu dinamis.  

Rumornya, Apple tengah menyiapkan sebuah versi iPad terbaru berlayar jumbo dengan layar 12,9 inci, yang diberi nama iPad Air Pro, tapi kemudian belum terdengar kabar lanjutannya. Tapi yang jelas, bentuk tablet di masa depan, akan terus berubah sesuai dengan tuntutan zaman. Ada yang meramalkan, kelak ada tablet yang transparan, atau bahkan yang bisa digulung seperti kertas toilet.  

Meski perjalanannya tidak selalu mulus, tablet adalah pilihan masa kini dan masa depan – dan tidak bakalan set back ke era cetak, misalnya. Tablet tidak hanya menggantikan semua yang ada di cetak, tapi aplikasinya memberikan pengalaman baru di era digital.

MALE, misalnya, tidak hanya memberikan artikel yang informatif, tapi juga konten khas multimedia – meliputi foto-foto yang artistik, video yang keren dan menghibur untuk beberapa rubrik andalan, video behind the scene yang ekskulif untuk cover dan Lights On. Halaman demi halaman juga, tidak tampil monoton, termasuk bisa dilihat dalam format landskap dan potret, sesuai selera. Ada pun daftar isinya sangat interaktif, yang jika di-tap bisa langsung masuk ke halaman yang dimaksud.  

Majalah cetak adalah masa lalu, meski platform digital memang bukan jawaban tunggal atas kebutuhan saat ini. Bicara soal konsistensi jangka panjang, sebenarnya tidak ada faktor yang membatasi secara kaku antara majalah cetak dan majalah digital untuk mengembangkan bisnisnya. Tapi yang jelas, dunia teknologi saat ini tidak bisa menafikan lagi realitas konvergensi.  

Jika dihubungkan dengan sisi komersial, menurut Janoe Arijanto dari Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia, pemasaran dengan medium digital yang kini digandrungi pengiklan adalah media baru yang mengandung unsur interaktivitas produsen, intermediari pasar, dan konsumen sebagai hasil penggabungan faktor psikologis, humanis, antropologi, dan teknologi multimedia. “Periklanan Indonesia makin kaya dengan media-media non-konvensional dan sangat cepat mengadopsi pola komunikasi kontemporer, khususnya di digital dan mobile,” ujarnya. (Burhan Abe)

Source: MALE 78

125 Tahun Glenfiddich

0

The World’s Most Awarded Single Malt Scotch

“Come Join Us for An Exclusive Tasting of The World’s Most Awarded Single Malt Scotch.”

Undangan dari Glenfiddich itu cukup menggoda, apalagi acara dengan beberapa media secara terbatas itu dipandu langsung oleh Matthew Fergusson-Stewart, Brand Ambassador untuk William Grant & Sons di Asia Tenggara dan veteran di industri wiski. Suatu kehormatan, bersama beberapa teman media, saya bisa mencicipi minuman mahal itu di Artoz Bar, Energy Building 2nd Floor, Jakarta, 23 April 2014. Apa sih Glenfiddich itu?

Tidak lain adalah wiski Scotch single malt yang paling banyak memperoleh penghargaan di dunia dan tahun ini merayakan 125 tahun sebagai penggagas pembuatan wiski, menampilkan berbagai pilihan wiski mulai dari malt yang paling favorit – Glenfiddich 12 Year Old – sampai dengan yang paling langka Glenfiddich 50 Year Old. Glenfiddich bangga untuk terus melanjutkan inovasi dari penemunya, William Grant, untuk menciptakan minuman terbaik.

Glenfiddich 12 Year Old

Glenfiddich 12 Year Old merupakan pionir dari kategori single malt Scotch wiski yang terkenal dan paling banyak disukai dibandingkan dengan single malt Scotch wiski lainnya. Didiamkan selama 12 tahun di dalam drum kayu ek dari Amerika dan Spanyol, peraih berbagai penghargaan dan pengakuan global, wiski ini merayakan sensasi petualangan dari Glenfiddich.  

Glenfiddich 12 Year Old memiliki aroma yang lembut dengan khas kesegaran buah dan sedikit aroma buah pir. Rasanya manis dengan aroma buah, yang kemudian berkembang menjadi butterscotch, cream, malt dan rasa ek halus. Di bagian akhirnya terasa lebih lama dan lembut.  

Glenfiddich 15 Year Old

Dibuat dengan menggunakan proses distilasi yang unik, Glenfiddich 15 Year Old merupakan ekspresi sejati dari sebuah merek yang penuh petulangan dan berpikir maju ke depan dalam pembuatan wiski. Setelah tersimpan cukup lama di dalam tiga tipe drum kayu ek; sherry, bourbon dan new oak, wiski dibiarkan menyatu dengan Solera Vat hingga menciptakan aroma berbeda yang kaya akan rasa buah, rempah-rempah dan madu bersatu hingga menjadikannya wiski yang original.  

Glenfiddich 15 Year Old cukup kompleks dengan rasa manisnya madu dan vanilla dikombinasikan dengan buah-buahan berwarna gelap. Rasanya yang lembut, dengan paduan aroma ek sherry, marzipan, kayu manis dan jahe – mengingatkan pada kue natal. Glenfiddich 15 Year Old memiliki cita rasa yang sangat kaya dengan rasa manis yang tahan lama.  

Glenfiddich 18 Year Old

Glenfiddich 18 Year Old merupakan bukti keterampilan, rasa petualangan dan semangat kepeloporan pengrajin penyulingan. Diproduksi dalam jumlah sedikit, dengan nomor batch individual, Glenfiddich 18 Year Old mengombinasikan sentuhan manis buah dari kayu Oloroso Spanyol dan aroma ek dari drum tradisional Amerika. Setelah kurang lebih 3 bulan tersimpan, Glenfiddich 18 Year Old menjadi kaya akan kelezatan rasa yang menciptakan single malt Scoth wiski dengan tekstur yang sangat halus dan mendalam. Tiap batch adalah unik dengan kualitas yang terbaik.  

Glenfiddich 18 Year Old sangat kaya dengan kematangan orchard fruit, yang ditambahkan dengan rasa buah apel dan aroma ek. Rasanya kaya akan kemewahan aroma buah kering, permen dan kurma yang dilapisi oleh aroma kayu ek yang elegan. Dengan rasa hangat pada bagian akhir, Glenfiddich 18 Year Old merupakan wiski yang berharga dan berbeda untuk dinikmati.  

Are Magazine Apps Dead?

0

A State of the Art Roundtable

Just a little under four years ago I headed down to St. Petersburg, Florida for an iPad conference at the Poynter Institute hosted and organized by Mario Garcia. A small but very engaged group of newspaper, magazine, and digital designers gathered to see and hear reports on the very first wave of app creations.

My iPad had just arrived from Apple the day before and was still fresh in its box, and I spent a lot of the conference busily downloading apps from a wide array of publications (remember how long those downloads used to take?). It was a heady and exciting moment, and almost everyone at that conference left to go home and launch new, groundbreaking app projects across a wide variety of styles and platforms.  

I used the experience of Mario’s conference to talk my way into a job at Reader’s Digest, helping to launch their magazine app, and later another for Best Health, a related magazine published in Toronto. There were iPad conferences, workshops, case studies that were published in design magazines and websites, and it seemed like everybody was working on an app project.  

Not anymore. We’ve come a long way since a top creative director breathlessly told me that “the iPad is the biggest thing to happen to magazines since the printing press.” And while some magazines continue to publish exciting, engaging iPad editions — National Geographic, Esquire, Popular Mechanics, and Bon Appetit are doing top-notch work — for many the rich, textural digital versions filled with original content and experiences have devolved into what are essentially flat replicas.  

Readers and especially magazine makers have failed to embrace the new magazine apps in large (or even medium) numbers. I was recently with a roomful of top magazine editors and creative directors at the National Magazine Awards and it was apparent that none of them had a passion or sense of engagement with apps; iPad magazines simply were not an essential part of their world.  

What went wrong? Are iPad apps dead, or do they still have a bright future? I reached out for answers to some of the smartest magazine makers I know, folks who have been active in creating dynamic editorial products on multiple platforms, from print magazines to daily newspapers to websites. And of course, they’ve all been integral in the development of some memorable magazine app projects. I asked them about the lack of enthusiasm for apps, how the production system has affected app creation, and whether there’s a future for digital magazines on the tablet platform.  

Monkey Shoulder, Brings Scotch to Younger Generation

0

Lupakan semua yang dikatakan orang tentang Scotch – sekarang semua aturan dan tradisi yang membatasi orang menikmati whisky sudah tidak berlaku dengan hadirnya Monkey Shoulder, pendobrak tradisi dari Skotlandia.

Monkey Shoulder, sebuah nama yang didapatkan dari legenda mengenai pekerja penyulingan, adalah Scotch yang otentik sebagaimana mustinya yang mampu mengubah segala macam pandangan, pendapat dan persepsi orang mengenai Scotch.

Monkey Shoulder adalah minuman bagi mereka yang berjiwa bebas, pecinta whisky triple malt yang lembut, kaya dan penuh dengan kelezatan rasa vanilla menjadikannya dapat dinikmati langsung, dengan es batu, dicampur dengan yang lain, ataupun dibuat sebagai cocktail. Para penggemar lama yang sangat mengenal Scotch akan mengatakan bahwa tidak seharusnya minum whisky dengan es atau dicampur dengan cocktail, namun aturan kuno tersebut tidak berlaku ketika Anda menikmati Monkey Shoulder.  

Itulah mengapa para bartender mencintai Monkey Shoulder – minuman Scotch yang mudah beradaptasi dan tidak akan ditinggalkan di atas rak minuman hingga berdebu layaknya minuman malt tradisional yang hanya dapat disajikan dalam porsi kecil.

Monkey Shoulder diluncurkan oleh William Grant & Sons, keluarga pemilik penyulingan independen yang terkenal. Monkey Shoulder dibuat dengan kombinasi dari tiga single malt Scotch whisky (yang disebut dengan triple malt) yang semuanya sudah tersimpan lama di dalam drum kayu ek yang sebelumnya dipakai untuk menyimpan Bourbon (dari sinilah rasa vanila yang halus di dalam minuman ini berasal).

Pemberian nama Monkey Shoulder ditujukan untuk menghormati para pekerja penyulingan yang telah menyekop berton-ton malting barley dengan tangan mereka selama berjam-jam beberapa tahun yang lalu. Pekerjaan ini mengakibatkan rasa sakit di bagian bahu para pekerja yang membuat mereka harus menggantungkan tangan di bawah layaknya simpanse.  

Bacaan Wajib 007: Shaken, Not Stirred: The Martini Manifesto

Monkey Shoulder triple malt Scotch whisky disuling, dimatangkan dan dikemas dalam botol di Dufftown, Speyside, pusat pembuatan Scotch whisky. Produksi diawasi oleh guru rasa kami (atau lebih dikenal dengan istilah “Malt Master”) Brian Kinsman mengatakan, “Monkey Shoulder merupakan Scotch yang otentik dengan semua kualitas yang luar biasa yang bisa Anda harapkan dari whisky malt tanpa ada stereotip apapun.”

“Dengan menggunakan drum yang sebelumnya dipakai untuk menyimpan Bourbon ini menjadikan Monkey Shoulder memiliki tekstur halus dan kaya akan rasa vanilla yang lembut yang disukai semua orang, terlepas seberapa banyak pengetahuan mereka tentang Scotch malt whisky. Kami ingin mendobrak batasan dan memberikan kesempatan bagi tiap orang untuk menemukan cara baru dalam menikmati malt whisky tanpa khawatir dengan sejarah dan tradisi.”  

Inilah waktunya untuk keluar dari tradisi lama whisky dan memperkenalkan Scotch kepada generasi muda – dan Monkey Shoulder adalah pemimpinnya.  

Shah Dillon

0

William Grant & Sons Regional Brand Champion, Southeast Asia & Third Party Markets

Shah Dillon joined William Grant & Sons (WGS) as its Regional Brand Champion in 2013. Founder and owner of Elite Bar Solutions, a Singapore-based company that provides cocktail and bar solutions for events, Shah oversees and leads his team in bartending and cocktail curation for William Grant & Sons’ brand activations across the region.  

Only 17 then, Shah discovered his love for bartending while working part-time at bars and decided to pursue this passion by making it a full-time career.  

With over 8 years of experience at some of the best bars in Singapore, Shanghai and Sydney, as well as the title of The Singapore National Cocktail Competition Champion in flair bartending under his belt, Shah is definitely no novice to the industry. The real buzz he gets from bartending however is not from these accolades but the interaction with the guests and the sense of satisfaction as he observes them savouring his cocktail creations.

Rum is this cocktail mixing enthusiast’s spirit of choice, and some of his favourites are Sailor Jerry and Santa Teresa. He also favours Scotch such as Monkey Shoulder, Lagavulin and Talisker when mixing cocktails.

Shah likes to keep his cocktails real without the fluff and pretense, something that also translates to his personality when he is not behind the bar. Coupled with the same genuine personality and insatiable thirst for living life to its fullest, Shah is often seen at the beaches mastering the complex techniques of surfing when he is not working his magic behind the bar.