Home Blog Page 62

Tren Iklan Digital

0

Tren digitalisasi membuat media digital makin hits – kata anak gaul sekarang. Mudahnya pengukuran serta penggunanya yang massif, beriklan di media digital, tentu saja, semakin menarik.  

Memang, berpindahnya iklan-iklan di media tradisional ke media digital memerlukan proses yang panjang. Sepanjang apa? Masing-masing pengamat mempunyai pandangan yang beragam. Di negara-negara maju proses digitalisasi pada umumnya lebih cepat ketimbang di negara-negara berkembang, ini berkaitan dengan tingkat kesadaran serta infrastruktur yang ada.  

Tapi khusus di Indonesia perkembangannya sering tak terduga. Tahun 2012, misalnya, iklan di internet mencapai pertumbuhan nomor dua di dunia, terlepas dari nilainya. Hal ini juga diperkuat dengan hasil survei Nielsen juga mengatakan bahwa 62% orang pengguna internet Indonesia mengklaim bahwa mereka melihat iklan di ranah digital atau ulasan di media sosial sebelum memutuskan membeli. Asal tahu saja, menurut data Weber Shandwick, Indonesia mempunyai sekitar 65 juta pengguna Facebook.  

Fenomena tersebut berdampak pada perkembangan media tradisional – cetak, TV, dan radio – yang mengalami penurunan. Memang, surat kabar dan majalah cetak mempunyai pembaca setia, sedangkan televisi adalah media tradisional yang masih memiliki audiens yang sangat besar, apalagi di Indonesia. Tapi yang tidak boleh dilupakan, semua publisher harus mempunyai persiapan untuk menuju ke era digital, kalau tidak ingin hanya menjadi kenangan kelak.  

Di masa transisi ini, demikian Hando Sinisalu, Pendiri dan Managing Partner Best-Marketing – perusahaan agensi periklanan asal Estonia, seperti dikutip marketing.co.id, perlu adanya integrasi antara media tradisional dan media digital.

Perkembangan yang menarik adalah akses internet melalui mobile semakin membesar, entah itu smartphone atau pun tablet, ketimbang via desktop. Penetrasi internet di Indonesia mencapai 12,5%, dan 22% penggunanya mengakses dari mobile.  

Menurut Hando, 85% pengguna yang mengakses internet dari perangkat mobile lebih menyukai aplikasi daripada mobile browser. Aplikasi memberikan kemudahan, kenyamanan, dan kecepatan lebih daripada mobile browser – seperti yang sudah Anda buktikan dengan MALE yang kalau Anda rajin mengikuti (http://male.detik.com).  

Tahun 2014 adalah tahun keemasan bagi bisnis iklan digital yang memanfaatkan sarana internet. Bahkan menurut Harris Thajeb, Ketua Umum Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (P3I), kenaikan belanja iklan digital yang tertinggi.  

Harris memperkirakan, belanja iklan nasional tahun ini bisa mencapai Rp 144 triliun, atau naik  16 persen ketimbang tahun 2013 yang sebesar Rp 124 triliun. Belanja iklan televisi mengambil porsi terbesar hingga 67 persen, sedang 30 persen iklan untuk media cetak, dan sisanya media lain seperti media digital dan outdoor. “Namun, belakangan kenaikan belanja iklan digital cukup signifikan, selalu di atas 100 persen, sedang iklan televisi hanya 25 persen,” ujarnya. (Burhan Abe)

MALE 77

Jakarta Kota Mahal

0

Sebagai ibukota negara Indonesia, Jakarta merupakan kota metropolitan yang menjadi pusat pemerintahan sekaligus pusat perekenomian. Dengan populasi lebih dari 10 juta penduduk, Jakarta dipenuhi oleh berbagai lapisan golongan masyarakat. Kita dengan mudah menemukan gedung pencakar langit bersandar diantara pemukiman kumuh dan kompleks perumahan elite berdampingan dengan kampung-kampung padat penduduk. Sebagai kota metropolitan yang dinamis, apakah Jakarta tergolong kota dengan standar hidup yang mahal dibandingkan dengan kota-kota lain?  

Domy Halim selaku Country Manager Ipsos Business Consulting Indonesia menyampaikan, survei yang diadakan Ipsos Business Consulting (BC) di minggu terakhir bulan Februari 2014 menyimpulkan bahwa secara umum Jakarta tergolong kota dengan standar hidup yang mahal, bahkan cenderung lebih mahal dari Bangkok, Hong Kong dan New York, berbanding relatif dengan gaji rata-rata masyarakat Indonesia.

Survei Ipsos BC mendapati bahwa harga secangkir Hot Cappucino Grande Starbucks di Jakarta adalah USD 2,88 (Rp 34.000), lebih murah hampir separuhnya dari harga di HongKong (USD 4,38). Akan tetapi, secangkir kopi di Jakarta menghabiskan 1,12% gaji rata-rata penduduk Indonesia sedangkan di Hong Kong hanya menghabiskan 0,28% dari gaji rata-rata mereka (gaji rata-rata masyarakat Indonesia: USD 258 sedangkan gaji rata-rata masyarakat Hong Kong: USD 1.545).

Dengan demikian, setelah memperhitungkan faktor gaji, harga secangkir kopi di Jakarta relatif lebih mahal 75% dari pada harga secangkir kopi di Hong Kong. Dengan pendekatan yang sama, ketika dibandingkan dengan ibukota negara tetangga yakni Bangkok, harga kopi di Jakarta lebih mahal 35% (gaji rata-rata masyarakat Thailand: USD 489).    

Begitu pula dengan harga tiket bioskop standar pada malam Minggu di Jakarta berkisar USD 4,24 (Rp 50.000) sedangkan di New York harganya bisa mencapai USD 14,50. Namun posisi ini akan berbalik ketika mempertimbangkan faktor gaji rata-rata kota yang bersangkutan di mana gaji rata-rata masyarakat AS adalah USD 3.263. Menonton bioskop di New York akan tampak 73% lebih murah daripada menonton bioskop di Jakarta.  

Lain halnya dengan fasilitas internet broadband. Harga fasilitas ini di Jakarta jauh lebih mahal dibandingkan dengan harga di kota-kota lain. Paket internet broadband terbaik di Jakarta memiliki kapasitas kecepatan download 100 Mbps dengan harga USD 252,46 (Rp 2.979.000) sedangkan di Hong Kong dengan kemampuan 10 kali lipat lebih cepat (1.000 Mbps), harganya tiga kali lipat lebih murah USD 77,06.  

Standar hidup yang mahal di Jakarta bukan hanya terlihat dari produk-produk yang disebutkan di atas. Untuk mengkonsumsi produk-produk lain seperti harga 1 malam menginap di hotel Four Seasons, ayam goreng KFC, kemeja Zara Women, smart phone Samsung S4 atau harga 1 tahun gym membership, penghasilan masyarakat Jakarta relatif lebih kecil dibandingkan dengan penduduk di kota-kota besar di negara lain (Hong Kong, New York, London atau Sydney).  

“Namun perlu diingat bahwa produk-produk di atas pada umumnya dikonsumsi oleh masyarakat golongan menengah ke atas. Faktor tingkat sosial seseorang akan mempengaruhi persepsi tingkat mahal atau murahnya suatu produk,” jelas Domy Halim.  

Kunjungi: www.ipsosconsulting.com

Metodologi Survei

Survei yang diadakan Ipsos Business Consulting 21 Februari 2014 bertujuan untuk melihat standar hidup masyarakat Jakarta dibandingkan dengan kota-kota besar lain dari beragam benua seperti kota Hong Kong, New York, London, Bangkok, Shanghai, Mumbai, Tokyo, Paris, dan Sydney. Metode yang digunakan untuk perbandingan standar hidup masyarakat kota Jakarta dengan kota-kota lain tersebut adalah dengan membandingkan harga dari produk-produk konsumtif yang cenderung menjadi kebutuhan dan keinginan masyarakat masa kini.  

Fun Media Master Chef Competition @ Hotel Gran Mahakam

0

To highlight the holy month of Ramadan 1435H, Hotel Gran Mahakam will be hosting “The Casablanca” as this year’s theme of festivity. To support the event, we invite media friends to gather and share the happiness in Fun Media Master Chef Competition on Tuesday, April 8th 2014 at The Gardenia, Hotel Gran Mahakam.  

On this gathering, all participants were challenged to create a delightful Tajil (Ramadan’s fast breaking sweets) in 15 minutes and serve the dishes in front of the judges. The selected Tajil was judged according to their creativity, presentation, taste, tidiness and teamwork.  

All contestants were excited and eager to win the Media Master Chef title. After judging process, Mrs. Ditri Abdullatief, Managing Editor Bacarat Indonesia & Editorial Director Augustman Indonesia and Mrs. Mimi Hudoyo, Editor of TTG Asia was chosen as the Fun Media Master Chef Winner. As our appreciation, the winning Tajil will be served during the Ramadan celebrations at Le Gran Café and they are also entitled to experience Hotel Gran Mahakam’s Suite Room.

As seen on the picture, all participants are gathered to celebrate the coming Holy month of Ramadan 1435H.

Unleash The Chef in You

0

MANDARIN Oriental, Jakarta’s acclaimed chefs welcome guests to their kitchen to discover the art of cooking in various styles and techniques. The class will be led by Mandarin Oriental, Jakarta’s head chefs specialising in French, Cantonese and Szechuan cuisines, and Pastry. Each chef will skilfully demonstrate and guide the methods and steps to prepare dishes of the highest quality and flavour, from ingredients preparation to cooking.    

French Specialties with Executive Chef Thierry Le Queau

With more than 20 years of culinary experience and an illustrious record in Mandarin Oriental, Jakarta, Chef Thierry is a native of Brittany who has earned prestigious posts in France, the Caribbean, the United States and the Middle East. Known for his work ethic and passion for food, Thierry aims to deliver good, honest food using various cooking techniques and the best produce available in order to create a memorable dining experience.  

Cantonese and Szechuan Specialties with Executive Chinese Chef Jeff Lee

Chef Lee is the man behind the success of Mandarin Oriental, Jakarta’s famous Chinese restaurant, Xin Hwa. Chef Lee was born in Malaysia, before he embarked on his career working in top Chinese restaurants across China and Singapore. Participants can expect to learn how to create traditional Chinese recipe with a modern twist.  

Pastry with Chef Wita Girawati

Chef Wita’s exciting 10-year career has taken her from the Maldives to Jakarta, with experiences in some five star hotels. Chef Wita’s recent culinary training in LeNôtre in Paris includes working alongside some of the world’s most talented pastry mastermind such as Christophe Rhedon and Gaetan Paris, both of whom had won the Meilleur Ouvrier de France or Best Craftsmen of France. Chef Wita and team concoct an array of delicious treats offered at the famous Mandarin Oriental Cake Shop.   

Selfie

0

Dalam acara penganugerahan Piala Oscar 2014, Ellen DeGeneres bersama Meryl Streep, Julia Roberts, Kevin Spacey, Bradley Cooper, Angelina Jolie, dan sejumlah bintang tenar Hollywood lainnya berfoto ria. Bukan hal yang aneh sebenarnya, tapi foto tersebut pakai ponsel, dan diunggah ke Twitter, seluruh dunia langsung tahu. Dalam waktu 30 menit, gambar tersebut di-retweet sebanyak 779.295 kali. Bahkan angka retweet pun tersebut, kalau ditotal, menembus 2.070.132!

Di era digital dan maraknya media sosial, selfie seperti virus yang menjangkiti semua orang. Tidak hanya bintang-bintang Hollywood tersebut, tapi orang-orang kebanyakan keranjingan selfie. Pada akhir 2012, majalah Time memasukkan kata ini dalam Top 10 Buzzwords. Oleh kamus bahasa Inggris, Oxford, pada November 2013, selfie dinobatkan sebagai word of the year.

Selfie alias mengabadikan diri sendiri, sebenarnya sudah dikenal sejak dulu. Hanya saja, sejak kamera ponsel semakin bagus dan medium untuk menaruh foto tersebut di “album” dunia maya berkembang, kegiatan ini menjadi keseharian hampir semua orang.

Memang, kebanyakan aktivitas ini dilakukan oleh mereka yang berusia muda, dan begitu happening. Kendati demikian, umur tidak membatasi kegiatan itu. Belum lama ini Jimmy Kimmel melakukan selfie bersama keluarga Bill Clinton. Contoh lain, Barack Obama bersama Perdana Menteri David Cameron dan Perdana Menteri Denmark Helle Thorning-Schmidt pun pernah heboh dengan foto selfie yang mereka lakukan (MALE 76).

Yes, everybody is into selfie.

Pangsa Pasar Iklan Digital Mulai Bergairah

0

The aim of marketing is to know and understand the customer so well the product or service fits him and sells itself. – Peter Drucker

Keberadaan media digital ternyata membuat dunia iklan bergeser perlahan tapi pasti ke dunia digital. Dengan adanya platform media digital yang banyak bertebaran, media cetak yang dulu menjadi andalan pengiklan perlahan mulai ditinggalkan. Di Amerika Serikat pun, media cetak telah mengalami kesulitan menghadirkan iklan sejak 2004. Dampak pertumbuhan media sosial tidak lain juga salah satu yang memberi pukulan berat bagi media cetak.  

Ken Doctor, penulis Newsonomics: Twelve New Trends that Will Shape the News You Get, mengatakan media cetak dulu merupakan tempat yang tepat untuk meraih perhatian publik. Namun, dengan ketersediaan target digital yang luas saat ini, para pengiklan sudah tidak membutuhkan brand dari media cetak untuk melakukan hal itu. Saat ini media cetak merupakan salah satu dari sekian banyak pilihan yang bisa digunakan untuk mencapai target yang sesuai dengan sasaran.  

Perjalanan MALE di tahun kedua ini cukup menggembirakan. Bukan saja karena secara kreatif kami semakin matang, seiring dengan perkembangan teknologi di media digital interaktif, tapi perusahaan-perusahaan besar, terutama perusahaan multinasional, sudah mulai memandang medium ini sebagai platform masa depan.  

Banyak yang meramalkan, belanja iklan digital secara global berkecenderungan semakin membesar jumlahnya. Ini, tak lain, karena didorong oleh banyaknya permintaan untuk melakukan pemasaran produk atau jasa di perangkat mobile, seperti ponsel pintar dan tablet.

ZenithOptimedia, misalnya, mencatat belanja iklan global pada tahun 2013 meningkat sebesar 3,6 persen. Perusahaan periklanan terbesar ketiga di dunia ini memprediksi belanja iklan akan meningkat 5,3 persen sampai dua tahun mendatang, lalu terus meningkat jadi 5,8 persen pada 2016. Prediksi belanja iklan tersebut berdasarkan data dari pemilik media dan biro iklan di 80 negara.  

Smartphone (dan tablet) agaknya telah merevolusi cara kita berinteraksi dengan web. Di AS setidaknya, eMarketer memperkirakan waktu yang dihabiskan masyarakat untuk kegiatan seluler non voice (data) telah melampaui waktu yang dihabiskan online di komputer: desktop dan laptop.  

Tetap Bersinergi dan Up To Date

Fenomena di atas menjadi tantangan tersendiri bagi segenap team MALE dalam rangka merebut kue iklan digital demi pencapaian sales yang agresif. Hal ini tentu dibutuhkan effort yang besar dan sinergi dengan semua divisi, terutama dengan Divisi Marketing dan Sales. Team produksi MALE selalu berusaha mengakomodir keinginan dari calon pengiklan untuk menyampaikan pesan kampanye iklannya tepat sasaran.  

Beberapa Sampel Iklan Interaktif

Memang dalam perjalanannya tidak selalu mudah. Selain keterbatasan sumber daya manusia dan ketatnya deadline, output iklan digital kreatif juga dituntut level kesempurnaan yang tinggi. Namun demikian, seiring perjalanan waktu, berbagai brand-brand besar sudah mulai melirik kampanye berbasis digital interaktif di MALE. Sebut saja AXE, Marlboro, A Mild, dan lainnya yang kini mulai intensif berkampanye digital di MALE.  

Dari sisi produk, MALE juga selalu didukung oleh segenap team Product Management Detikcom yang secara komperehensif melakukan berbagai riset untuk ke depannya. Sebagai catatan, sejak awal Maret lalu, aplikasi MALE telah di-update ke versi terbaru. Untuk versi iOS (iPad), aplikasi MALE sudah dioptimisasi untuk iOS 7, dengan layout dan tampilan library yang baru.  

Sementara itu, update aplikasi MALE terasa sangat signifikan pada pengguna Android. Pasalnya, MALE sudah tidak lagi menggunakan versi AIR dari aplikasi Android (codename: Android Legacy), kini MALE pindah full ke versi Native Android (codename: Android Genesis). Perbedaannnya cukup signifikan dari sisi performa, karena sudah tidak lagi menggunakan AIR, aplikasi jadi jauh lebih ringan, lebih powerful dan tidak boros baterai.  

Selain itu, kelebihan dari Android Genesis antara lain; sudah support Android Smartphone dan Phablet, bisa progressive download & resume (background download), dan sederet kelebihan lainnya. Dan, yang terpenting adalah Android Genesis mampu men-support 3.691 tipe device, sementara versi sebelumnya (baca: Android Legacy) “hanya” mampu men-support sebanyak 1.182 tipe device.  

Dengan dilakukannya aktualisasi aplikasi MALE ini, diharapkan mampu menumbuhkan jumlah downloader (pembaca) setia MALE. Selain itu, diharapkan aplikasi yang terbaru ini mampu menjawab semua kekurangan dan keluhan pembaca terkait tidak support-nya device yang digunakan. (Iwan Suci Jatmiko)

Sumber: Surat Sahabat – Media Internal Trans Corp

Mobile Advertising

0

Perjalanan majalah digital interaktif di tablet cukup mengejutkan. Bukan saja karena secara kreatif media ini semakin matang, seiring dengan perkembangan teknologi, tapi perusahaan-perusahaan besar, terutama perusahaan multinasional, sudah mulai memandang medium ini sebagai platformmasa depan.  

Memang, peralihan dari media cetak ke digital, tidak bergerak secara serentak, tapi dimulai dari negara maju lalu menyebar ke seluruh penjuru dunia, dipicu oleh para trendsetter lalu diikuti para follower.  

Animo mobile advertising di Indonesia dengan 120 juta penduduk yang telah menggunakan ponsel, masih memang belum tergarap dengan baik. Para advertiser masih ragu-ragu untuk menginvestasikan iklannya di media ini dibandingkan dengan di media iklan konvensional, seperti media cetak, juga televisi yang belanja iklannya paling besar.  

Padahal, banyak yang meramalkan, belanja iklan digital secara global berkecenderungan semakin membesar jumlahnya. Ini, tak lain, karena didorong oleh banyaknya permintaan untuk melakukan pemasaran produk atau jasa di perangkat mobile, seperti ponsel pintar dan tablet.  

ZenithOptimedia, misalnya, mencatat belanja iklan global pada tahun 2013 meningkat sebesar 3,6 persen. Perusahaan periklanan terbesar ketiga di dunia ini memprediksi belanja iklan akan meningkat 5,3 persen sampai dua tahun mendatang, lalu terus meningkat jadi 5,8 persen pada 2016. Prediksi belanja iklan tersebut berdasarkan data dari pemilik media dan biro iklan di 80 negara.  

Peningkatan belanja iklan tidak lain didorong oleh semakin maraknya pemakaian penggunaan mobile. Asal tahun saja, pengguna smartphone dan tablet di seluruh dunia mencapai 4,6 miliar. Bandingkan dengan pengguna internet yang jumlahnya baru mencapai 1,9 miliar. “Teknologi mobilemenciptakan peluang baru bagi pengiklan untuk berhubungan dengan konsumen,” kata Steve King, CEO ZenithOptimedia.  

Smartphone (dan tablet) agaknya telah merevolusi cara kita berinteraksi dengan web. Di AS setidaknya, eMarketer memperkirakan waktu yang dihabiskan masyarakat untuk kegiatan seluler non voice (data) telah melampaui waktu yang dihabiskan online di komputer: desktop dan laptop.   Mobile tidak lagi tantangan di masa depan, melainkan di sini dan saat ini. Memang, setelah era flash dan GIF pengiklan dituntut untuk berkreasi di platform dengan teknologi baru. Format iklan mau tidak mau perlu penyesuaian, baik secara kreatif konten maupun teknologi, agar terlihat atraktif, dan menarik pembaca.  

Hal yang sama juga menjadi tantangan penerbit, yang harus selalu berkreasi dan melakukan inovasi dengan teknologi terkini. (Burhan Abe)

E-Commerce

0

Pemanfaatan teknologi mampu memacu pertumbuhan usaha kecil menengah (UKM). Asal tahu saja, Indonesia memiliki potensi yang baik dalam menumbuhkan UKM mengingat pangsa pasar usaha kecil menengah di Tanah Air yang terbilang besar. Dari total pangsa pasar UKM di ASEAN yang mencapai US$ 2,5 miliar, Indonesia berkontribusi sekitar US$ 663 juta atau Rp 7,7 triliun pada 2013.  

Adapun total pelaku UKM di Indonesia mencapai 55 juta. “Namun yang sudah menggunakan teknologi, khususnya internet baru 75.000,” ujar Managing Director ASEAN Enterprise and SMB Cisco Budi Santoso di Jakarta.  

Penggunaan internet memang seharusnya sejalan dengan adopsi internet oleh konsumen di Indonesia. Data lembaga Internet Data Corporation (IDC) menyebutkan adopsi internet terhadap jual-beli online alias e-commerce di Indonesia mencapai 4,6 juta, adopsi tersebut diprediksi naik dua kali lipat pada 2016.E-commerce masih tergolong baru di Indonesia. Namun empat pria ini mengerti betul masa depan adalah online. Mereka adalah Natali Ardianto (Co-Founder & CTO Tiket.com), Hendrik Tio (CEO Bhinneka.com), William Tanuwijaya (CEO Tokopedia.com), dan Ferry Tenka (CEO Bilna.com), yang menyejajarkan brandmereka dengan keberadaan brandinternasional yang sudah masuk ke Indonesia.  

Mereka melihat peluang mengembangkan bisnis e-commerce di Indonesia masih terbuka lebar. Tak mengherankan bila kemudian sejumlah brand asing masuk ke Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Ferry Tenka, kondisi di Jakarta yang tidak ramah memungkinkan berkembangnya bisnis ini. “Waktu kuliah di Amerika, saya terbiasa belanja online, dan begitu pulang ke Indonesia pada 2010, saya lihat di sini belum seperti itu. Padahal, seperti di Jakarta terutama, sudah semakin macet. Bepergian pun sudah tidak nyaman, terutama kalau pergi ke mal, harus parkir, cari parkir susah. Jadi saya pikir, ada big opportunity untuk e-commerce di sini,” ujarnya.  

Adapun William membandingkannya dengan Cina. “Pada 2013, market size C2C (consumer to consumer) di Cina sudah US$ 88 miliar. Indonesia dengan penduduk seperlima Cina hanya tinggal masalah waktu, hingga suatu hari nanti perkembangan infrastruktur, tren gaya hidup, berubah ke online. Yang pasti, market size kita akan terus berkembang.”  

Keberadaan e-commercelokal tentunya lebih dapat memahami kebutuhan pasar. “Indonesia itu unik, dan keuntungan kita sebagai orang Indonesia adalah kita lebih memahami kultur perilaku orang Indonesia. Kami tahu pasarnya seperti apa. Misal, kompetitor asing memakai metode pembayaran hanya dengan kartu kredit. Kami menggunakan 14 metode pembayaran karena tidak semua orang Indonesia menggunakan kartu kredit,” Natali, lulusan Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia ini memaparkan.  

“Walaupun saat ini e-commercedi Indonesia masih early, baru berkembang pada 2009-2010, kita invest for the future! Jadi goal-nya, 3-5 tahun ke depan e-commerce bakal benar-benar bertumbuh cepat. Bisa dilihat dari trennya, sekarang banyak investor luar negeri yang sudah melihat besarnya potensi di Indonesia,” Ferry menimpali. Sungguh potensi yang luar biasa.  

MALE Zone, MALE 72

Why You Should Publish for Android and iOS

0

Yesterday we spoke about how the Apple App Store had its best year yet in terms of apps sold, with over $10 billion in sales for 2013 and a record $1 billion of those sales taking place in December in the run up to the holiday season. Let’s not beat around the bush here, apps are absolutely huge business. In May of the same year the App Store recorded their 50th billion download, those figures are gargantuan, so vast that you have to take a moment to actually digest the enormity of the zero’s involved! Apps are such big business because smartphone usage has risen at such an exponential rate that it has become an absolute necessity for businesses to have, and maintain, an online presence through an app.  

Research carried out by Business Insider has shed light on some very interesting and informative facts and figures which correlates with the ever expanding and extremely lucrative app world. 6% of the world now own a tablet and over 22% of the world’s population now own a smartphone, the research also points out that it was mid 2012 that personal computers fell by the wayside to the new kids on the block, the smartphone and the tablet. It was during this period that the global per-capita rate of smartphones outperformed personal computers for the first time. The same report highlights the following:  

  • In 2009 global smartphone penetration was 5%; in 2014 it is around 22%, an increase of nearly 1.3 billion smartphones in four years.
  • Tablets are showing even quicker adoption rates than smartphones, whereas smartphones took nearly four years to reach 6% penetration from when the devices first started to register on a global scale, it took tablets just two years to achieve the same results.

These figures reinforce the undoubted fact that smartphones and tablet adoption has been both widespread and expeditious, and this growth is not isolated to the devices themselves. With such a dramatic and unheralded rise in usage of these connected devices, apps for use in conjunction with them have risen in a similarly impressive trajectory.

But why do I need an app?

In a nutshell; convenience, convenience for the consumer. You are placing yourself in the handbags and pockets of consumers worldwide through their smartphone with your app. You only have to glance at some of the figures above to realize the numbers this approach can entail. They will be able to access your information and content where and when they want, mobile apps make your content more accessible, engaging and crucially houses it all in one place rather than expecting the consumer to surf all over the web locating it. Many apps include the option for reading offline which is especially beneficial for magazines and newspapers, apps really can reach that far.  

Much the same as having a website was once the essential part of your business plan, the app has now risen to the fore, the world has gone mobile and for your business grow and prosper with it, you need an app. Over 50% of your web traffic is now mobile, can you afford to miss out on this volume of traffic?  

Transformation form Within

0

The market is disorganizing, iGen is replacing the gen C, new regulations are launched all the time. It’s the formula of life, the only constant is change. And as corporate leaders, we understand that it’s not the big that eat the small, it’s the fast that eat the slow! Corporations need to transform quickly to adapt to changes. They need to lead the change and inspire others and win the competition.  

In order to make transformation happen, leaders need to build the support from the organization and ensure that all employees support the transformation before they announce to the world that they have changed into something better. There’s no point campaigning about “rebranding” or “corporate transformation” when the employees are still stuck with the old attitude and values.  

One very interesting example of transformation is the transformation that a multinational fresh drink company did. When this company had a decline in sales and earnings growth for several years in a row, they held a “Manifesto for Growth” which spawned the transformation campaign “Blog Blast 2006.” It’s really interesting to see how the transformation was done from the bottom to the top of the organization. Let’s learn from this campaign and see how we can.  

Insights 

“Global Insight Survey” revealed that various external changes caused many challenges within the company. The company decided several transformation priorities based on the analysis of the survey. Blog was then chosen because it’s very democratic. Everyone, from office boy to CEO, could create their own blog. The objective of Blog Blast 2006 was:  

  • To accelerate the transformation of the business by improving inspiration, commitment and passion of the employees
  • To involve employees in business strategy development and build understanding of the importance of each employee’s role in establishing the corporate success
  • To organize collaboration with all employees to establish the values that make the company unique and competitive

Campaign preparation 

To build support and participation from the whole organization, the global campaign committee conducted:  

  • Intensive education about the problems faced by the company and how each employee can contribute to become “agent of change” in facing these problems.
  • Education about blogging and the personal benefits for employees and company
  • Intensive promotional campaign conducted by a global campaign team whose members are spread throughout the coverage area of the company to localize the language and build support from local employees.

Execution

By the time Blog Blast began, all employees received an email indicating the opening of the blog blast, and inviting all employees to write about business values and behaviors needed to win and grow rapidly. The Blog Blast was moderated by two executives who commented on every blog created and sent questions every day to initiate conversation. Polling was held every day to dig in employees’ perception on various discussion topics regarding the business culture that had been prepared beforehand.  

Result 

The result was very satisfactory. The Blog Blast successfully triggered 29 discussion themes of 41 types of unique behavior associated with the business values. The input was internalized in the SOP (Standard Operating Procedures) and performance management processes. 2,409 employees in 45 countries participated, producing 136,862 web pages.  

The post- campaign research showed that the company successfully worked on the priority transformation areas previously taken as challenges with higher scores. It has successfully made the top management understand the employees’ needs and views on sustainable business growth. Value stocks also rose higher than what Wall Street prediction for 8 consecutive quarters at the time.  

Well, are you ready to do transformation from within? Market and industry changes occur very rapidly nowadays. In today’s era of “People Power”, there is no other way but to empower all parties in our efforts to contribute to the progress of the company.

In case of franchise companies, it is becoming more important because the internal parties involve not only the employees but also independent business owners who need to jointly uphold the vision, mission, business culture and values as the major factors of the employees’ uniqueness and excellence. There is no other way but to empower all of them to be “change agents” who are well aware of the importance of their involvement in the transformation process to achieve a collective victory. (Fortune PR)